Preferensi Negosiasi Budaya Kolektivis di Indonesia: Kelompok atau Individu?

Noor Shabrina Hidayat
Master student of Industrial and Organizational Psychology at Universitas Indonesia. Chronically online, feel free to talk!
Konten dari Pengguna
28 April 2024 9:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noor Shabrina Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai negara yang memiliki budaya yang cenderung kolektivis, warga Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negosiator yang efektif dalam kerangka kerjasama dan keharmonisan antar pihak. Indonesia telah menunjukkan kemampuannya sebagai negosiator ulung melalui beberapa kasus penting. Misalnya penyelesaian konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia melalui Farid Husain dan Jusuf Kalla, berhasil mencapai kesepakatan damai pada tahun 2005. Selain itu, kasus Freeport-McMoRan pada tahun 2018 dimana Presiden Joko Widodo terlibat dalam negosiasi dengan perusahaan tambang raksasa tersebut terkait perpanjangan kontrak tambang di Papua dan berhasil memperoleh kepemilikan saham mayoritas dalam tambang Grasberg. Ada juga alm. B.J. Habibie yang berhasil negosiasi dengan PBB dan pemerintah Australia terkait referendum kemerdekaan Timor Timur pada tahun 1999 secara damai dan berhasil mengamankan dukungan internasional untuk kemerdekaan Timor Timur.
ADVERTISEMENT
Terakhir, ada keberhasilan Anies Baswedan saat menjadi Gubernur DKI Jakarta yang berhasil membebaskan lahan pembangunan MRT pada tahun 2017 melalui negosiasi dengan pemilik lahan dan proses negosiasi untuk menjadikan Jakarta sebagai tuan rumah balap mobil bergengsi Formula E pada tahun 2020. Semua keberhasilan ini menunjukkan fungsi negosiasi yang dilakukan secara kelompok maupun individu. Dalam budaya yang kolektivis, tampaknya negosiasi secara individu lebih berhasil ketimbang kelompok di Indonesia.
Negosiasi sendiri adalah proses mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda. Hal ini melibatkan upaya untuk menyelesaikan konflik dan membuat keputusan bersama yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam konteks lintas budaya, budaya masing-masing individu dapat memengaruhi pemahaman efektif antara mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep budaya yang dapat dipahami oleh pihak dari budaya tertentu.
ADVERTISEMENT
Dari penelitian oleh Gelfand et al (2013) dalam budaya kolektivis seperti Taiwan sendiri membuktikan bagaimana budaya dapat mempengaruhi keefektifan negosisasi individu dan negosiasi kelompok. Hal ini terjadi karena norma harmoni yang kuat di Taiwan membuat tim cenderung memilih solusi yang memuaskan untuk menghindari konflik. Di Amerika Serikat yang individualistik, tim cenderung lebih baik dalam mencapai solusi karena mereka tidak terlalu fokus pada kepentingan individu.
Di Indonesia, kebanyakan orang lebih mengutamakan kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Setiap anggota kelompok diharapkan untuk peduli dan saling merawat dalam lingkup kelompoknya. Budaya ini juga tercermin dalam pentingnya memberikan pelatihan dan kondisi kerja yang baik bagi semua orang. Harmoni dianggap sangat penting, sehingga perilaku yang tidak konfrontatif lebih dihargai daripada konfrontasi. Budaya ini juga menekankan rasa memiliki dan pentingnya kerja sama tim.
ADVERTISEMENT
Banyak organisasi di Indonesia menganggap kerja tim sebagai kunci dalam memberdayakan anggota kelompok. Masyarakat individualis cenderung fokus pada diri sendiri dan keluarga inti, sementara masyarakat kolektivis lebih memperhatikan kelompok di dalamnya. Sebagai hasilnya, sebagian besar penduduk Indonesia diasumsikan memahami dan menerapkan nilai-nilai kolektivisme dalam interaksi sosial mereka. Dalam budaya ini, terdapat ketergantungan antarindividu, di mana setiap anggota berusaha untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah atau konflik. Sebaliknya, budaya individualisme menekankan kemandirian dan kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas sendiri. Sementara dalam konteks negosiasi, ini berarti bahwa orang Indonesia cenderung mempertimbangkan kepentingan kelompok atau organisasi secara keseluruhan daripada kepentingan pribadi.
Diagram batang menunjukkan perbandingan skor dimensi budaya Hofstede oleh The Culture Factor Group (2023)
Dilihat dari gambar diatas menunjukkan perbandingan skor enam dimensi budaya Hofstede yang diambil oleh The Culture Factor Group (2023), dimana Indonesia, dibanding tiga negara tetangganya, memiliki skor paling rendah sebanyak 5 pada dimensi Individualism yang artinya sebagian besar masyarakat. Indonesia hidup dalam budaya Collectivism, sebagai masyarakat kolektivis, menekankan pentingnya struktur sosial yang ketat di mana individu diharapkan menyesuaikan diri dengan nilai dan kelompok dalamnya. Individualisme berarti seberapa jauh seseorang memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan kelompok, sementara kolektivisme menunjukkan kecenderungan melihat diri sebagai bagian dari kelompok dan memprioritaskan kepentingan bersama.
ADVERTISEMENT
Hofstede (2005) menemukan bahwa masyarakat dengan nilai kolektivisme cenderung memiliki individu yang loyal. Pada dimensi Individualism, Individualisme lebih menekankan kepada sejauh mana tingkat saling ketergantungan di dalam suatu masyarakat atau organisasi terhadap satu sama lain. Hal ini berkaitan erat dengan cara seseorang melihat citra diri masing-masing pribadi sebagai “saya” atau “kami”.
Dalam konteks budaya kolektivis Indonesia, terdapat dilema antara negosiasi sebagai individu atau dalam kelompok. Meskipun negosiasi kelompok mencerminkan nilai-nilai solidaritas yang dihargai dalam budaya tersebut, negosiasi individu mungkin lebih efektif dalam mencapai kesepakatan yang menguntungkan secara pribadi. Di satu sisi, negosiasi kelompok dapat menciptakan kebersamaan yang kuat, sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, di sisi lain, negosiasi individu dapat memberikan kebebasan dan fleksibilitas yang lebih besar untuk mengejar kepentingan pribadi tanpa harus mengorbankan kebutuhan kelompok. Dalam situasi ini, penting untuk menimbang antara mencapai kesepakatan yang menguntungkan secara pribadi dengan mempertahankan harmoni dan keutuhan kelompok.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, bernegosiasi secara individu lebih baik dalam budaya kolektivis, sementara bernegosiasi dalam tim lebih baik dalam budaya individualis.