Berhala (Baru) Itu Bernama Wiji Thukul

Setyo A. Saputro
www.setyoasaputro.com
Konten dari Pengguna
27 Januari 2017 14:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Setyo A. Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi Wiji Thukul dan puisinya. (Foto: Mateus Situmorang/kumparan)
“Kau benci Soeharto?!” tangan berbulu itu menempeleng kepala saya. Segalanya mendadak gelap. Ada ribuan kunang-kunang beterbangan. Sebelum mata sempat membuka, saya merasakan tangan itu menjambak rambut saya.
ADVERTISEMENT
Muka Sersan Kepala Suparno tiba-tiba ada di hadapan saya, sangat dekat. “Siapa yang mengajarimu?” mulutnya mendesis.
Saya hanya bisa menahan air mata sambil menggigil ketakutan. Bukan, saya bukan tak mau menjawab. Namun, saya tahu, seperti yang sudah-sudah, jawaban apapun yang saya berikan hanya akan berbuah tamparan dan jambakan dan tempelengan.
Saya masih ingat benar, ketika itu sebuah Sabtu di pertengahan Januari 1998. Hari terakhir ujian Catur Wulan II. Saya masih duduk di kelas tiga SMP: kurus, dekil, dan berambut sedikit lebih panjang di antara kawan-kawan seumuran.
Usai menyelesaikan soal, saya dan tiga orang kawan memutuskan untuk jalan-jalan ke Grojogan Sewu, sebuah objek wisata yang terletak di Tawangmangu, sekitar 13 kilometer dari sekolah saya di Karanganyar.
ADVERTISEMENT
Sesuatu yang awalnya kami rencanakan sebagai sebuah bentuk perayaan kecil-kecilan, tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk. Kami ditangkap petugas penjaga objek wisata karena menorehkan grafiti di sebuah kursi gazebo: sebuah kejahatan kecil khas berandalan ingusan.
Kami diseret ke pos jaga, untuk kemudian diinterogasi. Tas kami digeledah. Dan, kartu ujian milik saya menjadi awal petaka.
Kartu ujian itu berwarna biru muda, seukuran dengan kartu-kartu semacamnya. Di sana tertera kolom nama, kelas, nomor induk, dan sebuah kolom yang seharusnya ditempeli foto saya.
Mungkin kartu itu tak akan menjadi masalah, andai saja saya benar-benar memasang foto saya di situ dan tidak menempelinya dengan perangko kilat seharga Rp700 bergambar Presiden Soeharto yang sedang tersenyum manis dengan latar belakang warna putih.
ADVERTISEMENT
Seakan tindakan itu masih belum terlalu kurang ajar, saya menorehkan tinta warna merah di bibir Sang Presiden dan melapisi kartu itu dengan plastik laminating.
Dan, inilah yang kemudian terjadi: kami berempat dibawa ke kantor Koramil setempat, kasus grafiti ditutup, kartu ujian milik saya diperiksa para serdadu, kemudian saya menjadi bulan-bulanan Sersan Kepala Suparno.
Tuduhan yang ditempelkan ke jidat saya tak main-main: Menghina Kepala Negara.
Sementara kawan-kawan saya duduk ketakutan di sudut ruangan, saya diinterogasi dan dihajar habis-habisan. Saya nyaris digunduli ketika itu. Saya ditanya macam-macam, mulai dari latar belakang kehidupan, hingga siapa orang yang mengajari saya melakukan tindakan seperti itu.
Subversif (Foto: Pixabay)
Berkali-kali kata subversif dilontarkan Sang Sersan. Tentu saja saya tak paham. Apa yang saya lakukan murni sebuah bentuk keisengan. Saya sudah mencoba menjelaskan sebaik yang saya bisa, tapi tentara-tentara itu tak percaya. Mereka menuduh saya terlibat dalam organisasi antipemerintah.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, di satu titik saya menyerah.
Saya menyebut nama-nama fiktif. Saya mengatakan bahwa saya hanya ikut-ikutan seorang kawan. Saya katakan bahwa kami tidak satu sekolah. Saya bilang kalau dia kawan mengaji di rumah. Lalu saya ditanya siapa guru mengaji saya. Kemudian saya terpaksa menyebut satu lagi nama rekaan.
Hingga ketika semua informasi dirasa lengkap, saya dipaksa menandatangani kertas bertuliskan Bukti Acara Pemeriksaan. Sore hari, kami dilepaskan. Saya dan kawan-kawan pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan takut yang mencekam. Kami merasa terancam.
Beruntung, keesokan harinya, seorang tetangga yang kebetulan adalah seorang tentara di Koramil Karangpandan berhasil mencabut berkas yang sudah saya tandatangani sebelum lembaran-lembaran itu dikirim ke Kodim Karanganyar.
ADVERTISEMENT
Jika tidak, mungkin saya sudah menjadi tahanan politik termuda (sekaligus terkonyol) di Indonesia.
Kelak, di kemudian hari, ketika saya mengenal dan berbincang dengan beberapa aktivis 98, saya baru menyadari betapa dungunya tindakan saya ketika itu: bermain-main dengan foto Sang Presiden di saat gerakan rakyat dan mahasiswa sedang panas-panasnya untuk menurunkan pemerintahan.
Ingatan tentang insiden itu melintas di kepala ketika saya menonton adegan pembuka di film Istirahatlah Kata-Kata karya sutradara Yosep Anggi Noen. "Bapak kapan mulih?" seorang intel berjaket kulit bertanya ke tokoh Fitri Nganthi Wani. Gadis kecil itu hanya berdiri diam di sebelah Sipon, sang ibu.
Film Wiji Thukul 'Istirahatlah Kata-Kata' (Foto: Dok. Twitter @FilmWijiThukul)
Film ini mengisahkan tentang pelarian tokoh penyair cum aktivis Wiji Thukul di Pontianak. Thukul diburu tentara Orde Baru karena puisi-puisinya yang galak dan keterlibatannya di Partai Rakyat Demokratik (PRD).
ADVERTISEMENT
Tokoh Thukul diperankan dengan cukup apik oleh Gunawan Maryanto: ekspresi, mimik muka, suara cadel. Sepanjang film, penonton disuguhi gambar-gambar yang sarat metafora. Suasana sunyi yang ditampilkan membuat saya terkadang bergidik.
Entah kenapa, saya seperti turut larut dalam ketakutan dan kecemasan yang dialami Thukul (bagaimanapun, saya pernah dihajar tentara!). Namun, apakah film ini bisa dibilang sebagai film yang luar biasa? Sayang sekali, sepertinya tidak.
Kok Thukul di film ini malah kaya Bang Toyib, ya? Rindu rumah karena ga pulang-pulang?” komentar seorang kawan usai menonton film itu. Saya hanya bisa tertawa (sambil diam-diam mengiyakan). Memang seperti itulah yang saya rasakan.
Di film ini, kita tak akan menemukan sosok Thukul yang meledak-ledak. Kita sama sekali tak akan menemukan sisa kegarangan Thukul saat memimpin aksi demonstrasi sekitar 14 ribu buruh PT. Sritex.
Wiji Thukul bersama istri dan anaknya. (Foto: Dokumentasi pribadi Wahyu Susilo)
Thukul di film ini tampak sebagai seorang lelaki biasa, seorang suami sekaligus ayah yang tampak lemah dan lelah. Thukul di sini adalah Thukul yang rindu anak istri, yang ketakutan dikejar-kejar tentara.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah itu sesuatu yang salah? Tentu saja tidak. Bagaimanapun juga, Thukul adalah seorang manusia biasa: punya cinta, punya rindu, punya rasa takut.
Namun, masalahnya, apa pentingnya mengangkat itu semua ke dalam sebuah karya film (sementara sampai sekarang Wiji Thukul yang asli masih hilang tak tentu rimbanya)?
Pemerintah yang berkuasa saat ini hanya bisa berjanji untuk menemukan Wiji Thukul, entah dalam keadaan hidup atau mati. Aktor-aktor kunci yang berada di belakang aksi penculikan itu juga tak pernah tersentuh oleh tangan hukum.
Melawan lupa, demikian sang sutradara menjelaskan spirit dari film ini di sebuah media. Film ini dibuat untuk mengenalkan sosok Wiji Thukul yang dihilangkan oleh negara ke generasi yang lebih muda. Baiklah, jika memang semangat yang dikobarkan memang (sekadar) itu.
ADVERTISEMENT
Tak mengherankan, judul yang dipilih adalah Istirahatlah Kata-Kata, dan bukan idiom yang lebih lekat dari sosok Thukul: Lawan! Puisi Istirahatlah Kata-Kata ditulis oleh Thukul pada 12 Agustus 1988. Bunyi lengkap puisi itu seperti ini:
ISTIRAHATLAH KATA-KATA
istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu
kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri
tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan
tak bisa lagi ditahan-tahan
ADVERTISEMENT
Thukul menulis puisi untuk melawan. Bagi Thukul, kata-kata di puisinya adalah bahasa perlawanan. Dalam salah satu bait di sajaknya yang berjudul Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa, Thukul menjelaskan tentang puisi-puisinya:
Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
Dari dua puisi di atas, bisa disimpulkan bahwa bagi Thukul, kata-kata adalah senjata untuk melawan penindasan. Puisi Istirahatlah Kata-Kata menjelaskan sebuah kondisi di mana kata-kata (baca: perlawanan) sebaiknya tidur sejenak, untuk kemudian kita bangkit nanti.
ADVERTISEMENT
Lalu, pertanyaannya, apakah sang kreator film Istirahatlah Kata-Kata tak paham arti puisi ini? Atau, memang pesan yang ingin ditampilkan seperti itu: Istirahatlah, perlawanan. Kita bangkit lagi nanti
“Hidup tanpa harapan adalah hidup yang kosong”, begitu tulis Pramoedya Ananta Toer di Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Begitulah. Pada hakikatnya, (kebanyakan) manusia memang hanya bisa bertahan karena harapan. Tak terkecuali, kita yang hidup di tengah kondisi sosial politik yang acakadut seperti di Indonesia ini.
Untuk itulah, kita yang sama-sama lelah dan tak yakin akan keberhasilan sebuah perjuangan membutuhkan harapan. Kira beramai-ramai menciptakan pahlawan, melahirkan berhala-berhala yang kemudian kita letakkan di altar sesembahan.
Kita butuh sebuah alasan, bahwa perjuangan masih tetap layak untuk dilanjutkan (sekecil apapun kemungkinan perjuangan itu bisa berhasil).
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, budaya populer kita dipenuhi sosok-sosok yang menghabiskan hidupnya dalam usaha perlawanan: Che Guevara, Subcomandante Marcos, Munir, Mahatma Gandhi, dan tentu saja, Wiji Thukul.
Mereka adalah berhala-berhala yang kita puja-puji di tengah keruwetan hidup. Merekalah berhala yang membuat kita terus sama-sama kuat dan percaya: bahwa perjuangan dan perlawanan harus tetap dilakukan.
Seperti yang diucapkan Sipon di akhir film, "Aku tak ingin kau pergi. Aku juga tak ingin kau pulang. Aku hanya ingin kau ada."
Dan, memang benar. Kini Wiji Thukul memang ada, di mana-mana, sebagai berhala. Kini kita bisa dengan mudah menemuinya di kaos-kaos, di buku-buku, di sudut-sudut tembok kota, dan (juga) di bioskop-bioskop.
ADVERTISEMENT
“Aku awalnya ga tahu Wiji Thukul, lho. Tapi setelah film ini ramai di bioskop, aku jadi penasaran,” seorang kawan yang lain berkata kepada saya. Komentar ini membuktikan bahwa, bagaimanapun juga, keberadaan film semacam ini memang penting.
Masih banyak generasi muda kita yang abai dan tak tahu menahu dengan sejarah bangsanya sendiri. Banyak di antara mereka yang lebih tertarik untuk melihat video klip terbaru Young Lex ketimbang membaca buku sejarah.
Paling tidak, usaha untuk melawan lupa yang disuarakan sang kreator memang tercapai. Namun, apakah itu sudah cukup? Tentu saja tidak.
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa, begitu kata Chairil Anwar di sajak Karawang Bekasi. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh negara ini: salah satunya adalah menyingkap tabir gelap tentang beragam aksi pelanggaran HAM di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Film ini hanyalah langkah awal, tapak kecil yang menjadi pembuka untuk tindakan-tindakan yang lebih konkret di masa depan. Bagaimanapun, film ini memang berhasil membuat Wiji Thukul menjadi peluru, meski hanya peluru hampa: nyaring suaranya, tapi tak pernah melukai siapa-siapa.
*Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/berhala-baru-itu-bernama-wiji-thukul