Larangan Ekspor Bijih Nikel, Akankah Mengancam Hubungan Indonesia dengan EU?

Sekarsari Sugihartono
Mahasiswi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Studi Hubungan Internasional
Konten dari Pengguna
19 Juni 2022 22:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sekarsari Sugihartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bersama dengan Canada, Cina, Rusia, India, Ukraina, Jepang, Amerika Serikat, Turki, Taiwan, Britania Raya, Singapura, Brazil, Uni Emirat Arab yang berpartisipasi sebagai pihak ketiga dalam kasus gugatan ini, Uni Eropa menggugat Indonesia atas kebijakan larangan ekspor produk bijih nikel mentah oleh Indonesia dengan kasus nomor DS 592. Pada gugatan yang diajukan oleh Uni Eropa, mereka berpendapat bahwa Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk diantaranya produk nikel mentah yang secara nyata melanggar Pasal XI:1 dari GATT 1994. Uni Eropa mengatakan langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari kebijakan yang diterapkan oleh Indonesia yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas industrinya untuk tahap menengah produksi baja nirkarat dan meningkatkan ekspor baja.
ADVERTISEMENT
Indonesia mengatakan bahwa pihaknya memberikan tanggapan yang komprehensif dan terlibat secara konstruktif dengan UE dalam proses konsultasi dan menggambarkan permintaan Uni Eropa sebagai prematur. Akibatnya, Indonesia menyatakan tidak bisa menyetujui permintaan Uni Eropa dan menyatakan siap untuk terlibat lebih jauh dengan Uni Eropa mengenai masalah ini. Semua proses tersebut mengarah pada tanggal 22 Februari 2021, dimana anggota WTO menyepakati pada pertemuan Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) untuk membentuk panel dalam menyelesaikan perselisihan ini.
Sumber Daya Mentah Nikel. Sumber: Shutterstock.com
Perlu kita ketahui bahwa pendapatan pemerintah juga berasal dari pajak dan royalti yang dibayarkan perusahaan tambang secara berkala, apabila perusahaan-perusahaan tersebut mengurangi kegiatan atau menghentikan produksi, tentu pendapatan negara akan berkurang. Dengan aturan divestasi yang diterapkan pemerintah terhadap pelaku sektor pertambangan, lumayan dapat mencegah isu permasalahan ini terjadi. Namun selain dampak negatif yang telah disebutkan, terdapat juga sisi positif yang bisa diambil. Dengan adanya kebijakan larangan ekspor, walaupun bukan dalam jangka waktu yang dekat, namun perlahan nilai bahan mentah nikel tentu akan meningkat. Hal ini akan menaikkan kegiatan ekspor Indonesia dan menimbulkan inklusi dalam sumber daya mentah yang negara kita miliki.
ADVERTISEMENT
Dengan mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri untuk memberikan edukasi terhadap pengolahan bahan mentah atau raw materials yang kita miliki, walaupun secara bertahap, tentu akan menimbulkan dampak positif bagi sektor pertambangan Indonesia. Sejauh ini, negara kita belum menjadi aktor utama dalam perdagangan internasional terutama dalam sektor pertambangan, padahal jumlah raw materials yang kita miliki merupakan salah satu yang terbanyak dari semua negara-negara di dunia. Fenomena ini sangat ironis dan perlu dilakukannya beberapa strategi dalam memajukan sektor ekspor Indonesia.
Pengadilan WTO. Sumber: igj.or.id
Lalu bagaimana dengan masa depan hubungan antara Indonesia dengan Uni Eropa? Kasus sengketa dagang merupakan hal yang wajar di dunia politik apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Hubungan kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa tidak hanya menyangkut tentang ekspor bijih nikel, namun di banyak sektor lain nya. Untuk sekarang ini, Indonesia dan Uni Eropa berada dalam taraf hubungan yang normal dan tidak ada ketegangan diantara kedua nya. Apalagi, dengan persetujuan kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Negara-Negara EFTA (Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement/IE-CEPA) yang resmi berlaku pada 1 November 2021, kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa semakin menguat.
ADVERTISEMENT