Ratap si Padang

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
23 September 2023 11:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Rumah Gadang, Sumatera Barat Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rumah Gadang, Sumatera Barat Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Orang Nias keturunan di Kota Padang bak ratap si Air Bangis. Atau kue bika si Mariana. Kue bika si Mariana dari Padang ini beda bentuk dan jenis dengan bika Ambon.
ADVERTISEMENT
Bika si Mariana terbuat adonan tepung beras yang dibungkus daun jati dan dibakar di atas arang yang membuatnya hitam atas bawah. Jadi ibaratnya para keturunan Nias di kota Padang secara sosial, atas bawah, berada dalam situasi dilematik dan beriba hati.
Mereka telah menjadi warga kota sejak Padang menjadi hunian pembesar kolonial. Artinya orang Nias telah datang menetap sejak abad ke-18.
Mereka awalnya didatangkan sebagai “ART” (asisten rumah tangga) keluarga kolonial, dan sebagian orang kaya Padang. Meskipun mereka ART dalam istilah hari ini, namun perlakukan terhadap mereka tak jauh lebih baik dari perbudakan di negeri kolonial lain di muka bumi ini.
Abad ke-18 merupakan era yang sarat dengan perbudakan di Nusantara. Para budak umumnya berasal dari suku-suku yang kalah perang dari suku kuat lainnya, dan kemudian dijual di pasar budak. Salah satu etnis yang menjadi komoditas perdagangan di kepulauan Nusantara adalah orang Nias.
ADVERTISEMENT
Orang Nias di Padang sesuai ordonansi yang dikeluarkan Parlemen Belanda di Eropa mulai merasakan kebebasan atau kemerdekaannya kembali terhitung 1 Januari 1860. Meskipun pemerintah kolonial Belanda mulai menjalankan praktik pembebasan, namun pelaksanaannya seperti melepas ayam dari kandang.
Para eks-budak yang dimiliki pembesar Belanda dan orang kaya di Padang tidak memberi konsesi yang memadai pada mantan “ART” mereka. Para mantan ART itu dilepas tanpa tahu mesti ke mana dan melakukan apa.
Akhirnya sebagian besar dari turunan Nias-Padang mengambil tempat tinggal di tanah-tanah sekitar pekuburan Tionghoa, atau tepian laut yang penuh rawa-rawa serta penuh nyamuk malaria.
Perlahan para turunan Nias-Padang memulai kehidupan baru mereka. Mereka beranak pinak di Padang, dan mencoba dapat diterima sebagai bagian dari warga kota.
ADVERTISEMENT
Sayang, perlakukan terhadap mereka relatif diskriminatif dari penduduk asli. Cemoohan dan kekerasan rasial cenderung mereka dapatkan pada awal-awal kemerdekaan.
Mereka yang dulu menjadi abdi keluarga Belanda menjadi sasaran kekerasan para Republiken yang sering melakukan penyisiran terhadap orang-orang yang dianggap pendukung penjajah.

Menjadi Urang Awak

Ilustrasi Kota Padang di awal Abad ke-20. Foto Commons Wikimedia.
Menjadi Urang Awak merupakan konstruksi negosiasi Nias turunan ini pasca kemerdekaan di Kota Padang. Bagaimanapun mereka tak mungkin lagi kembali ke Pulau Nias. Banyak dari mereka yang tak memiliki pertalian keluarga di sana, bahkan tak tahu lagi darimana kawasan Nias mana mereka berasal.
Orang-orang Nias turunan di Padang memulai perjalanan panjang mereka menjadi Urang Awak. Urang Awak merupakan entitas unik wargakota yang memadukan berbagai etnis turunan di Kota Padang, seperti Nias, Tionghoa, Keling (India), dan Minangkabau sendiri. Mereka menggunakan Bahasa Minangkabau yang unik, perpaduan kosakata para turunan tersebut.
ADVERTISEMENT
Orang Nias di Padang menggunakan kata “awak”, yang berarti “saya” untuk menunjuk dirinya. Sementara orang Minangkabau sendiri mengidentikkan dirinya dengan panggilan “ambo”, “denai”, “waden”. Jadi “awak” lebih cenderung merupakan “milik” orang Padang. Demikianlah turunan Nias di kota ini menunjuk dirinya agar dapat diterima sebagai bagian dari orang Minangkabau.
Orang Minangkabau sendiri bukannya tak menerima etnis turunan Nias sebagai bagian dari mereka. Namun posisi turunan Nias ini terkait erat dengan persoalan agama. Para turunan Nias yang non-Muslim sulit diterima dalam “lingkup keminangkabauan”. Sementara turunan Nias yang mualaf diakui sebagai kemenakan di bawah lutuik (lutut).
Kemenakan di bawah lutut ini artinya mereka diakui sebagai kemenakan karena meminta perlindungan pada kaum atau satu suku di Minangkabau yang berada di Kota Padang.
ADVERTISEMENT
Padang sendiri merupakan sebagian dari ulayat 12 Suku. Tersebab menjadi kemenakan di bawah lutut, maka mereka kemudian diikutkan dalam berbagai alek suku tersebut, seperti pernikahan, rapat adat, namun tidak dalam hal pengelolaan harta pusaka kaum.
Walau telah diakui sebagai kemenakan di bawah lutut, dan dianggap “Urang Awak” oleh kaum angkatnya. Tapi turunan Nias ini merasa mereka tetap seperti air di atas keladi, di bawah tak berakar dan ke atas tak pula berpucuk, sementara di tengah-tengah dikirik kumbang. Tak ubahnya dengan Bika Si Mariana.

Gamad Saja yang Menyampaikan

Ilustrasi pemain Gamad Padang. Foto dokumen pribadi penulis.
Orang Nias di Padang tumbuh sebagai entitas yang paibo hati, beriba hati. Apapun telah mereka lakukan demi sebuah pengakuan. Tapi yang dapat cuma anggukkan di kepala, bukan paiyoan di hati, “iya di hati”. Gamad sebagai musik khas dari mereka menjadi pelampiasan kecamuk perasaan mereka yang hidup terbuang dari negeri asal, dan tak pula diakui orang.
ADVERTISEMENT
Judul lagu Gamad dari lirik di atas adalah Ratok Aia Bangih (Ratap Air Bangis). Air Bangis salah satu kawasan utara Sumatera Bara yang dekat dengan Pulau Nias.
ADVERTISEMENT
Konon para eks-budak dari Nias dibawa dari Air Bangis sebelum ke Padang. Mereka direnggut dari hidupnya menjadi budak, tanpa ibu (Nias) yang mati dan ayah (pelindung) yang tak pula jelas. Kondisi tak beribu-berayah itulah mereka terdampar ke Kota Padang dulunya.
Ratok Aia Bangih merupakan salah satu lagu legend dari maestro Gamad, Yan Juned. Yan Juned merupakan seorang seniman turunan Nias Padang terkenal. Suaranya yang berat, kedalaman lirik lagunya yang beriba-iba, serta alunan musiknya yang mendayu-dayu membuat banyak orang tersentuh.
Biasanya Gamad dibawakan kala pesta pernikahan di Padang. Sering orang menyindir kalau Urang Awak di Padang menikah pasti dirayakan dengan sedih, karena iringan pesta mereka tak lain adalah lagu-lagu Gamad, seperti Ratok Aia Bangih di atas. Konon filosofisnya adalah lebih baik beriba hati di awal, daripada menangis di akhir (perkawinan), kata mereka. Entahlah.
ADVERTISEMENT