Kekerasan dan Nasionalisme

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
23 Agustus 2023 9:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia dengan penuh semangat. Foto: Gratsias Adhi Hermawan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia dengan penuh semangat. Foto: Gratsias Adhi Hermawan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kekerasan pelajar melalui aksi klitih akhir-akhir ini tak saja menakutkan para orang tua, tapi juga masyarakat. Anak-anak muda itu tanpa takut menyakiti orang lain atas nama ego dan kebanggaan semu.
ADVERTISEMENT
Suara-suara kemuakan telah mengemuka dalam masyarakat. Masyarakat menyuarakan agar mereka dihukum sesuai aturan orang dewasa, karena selama ini anak-anak muda itu seakan diberi angin dengan hukuman yang tidak setimpal dengan perilaku mereka di jalanan.
Kekerasan jalanan dalam kultur anak muda Indonesia tidaklah muncul seketika. Ia lahir dari “nasionalisme agresif” di awal 1940an, ketika Jepang menduduki Indonesia dalam Perang Dunia II (1942-1945).

Peran Jepang

Potret para pemuda Indonesia dengan Pejabat Jepang tahun 1942. Foto Commons Wikimedia
Keberadaan Jepang di Indonesia dalam jangka waktu 3,5 tahun memberi kesan mendalam dalam kejiwaan anak-anak muda Indonesia. Mereka mulai tampil berani, beringas, dan merdeka dalam menggelorakan hasrat di dada mereka yang berdentum-dentum perasaan marah, gelisah, dan naik darah.
Hasrat itu bedol karena kekangan selama kolonial Belanda. Selama periode itu para pemuda Indonesia terbenam pada ketakutan terhadap Marsose yang terkenal kejam serta sadis. Jepang memberi peluang pada anak-anak muda gelisah itu dengan mendirikan organisasi semi-militer.
ADVERTISEMENT
Organisasi semi-militer yang didirikan Jepang merekrut anak-anak muda yang banyak berkeliaran di kota-kota karena tidak sekolah lagi. Mereka rerata berumur belasan sampai pertengahan 20an.
Jepang mendirikan Seinendan atau Barisan Pemuda, Keibodan atau pembantu polisi, Fujinkai atau Barisan Wanita, dan Seinentai-Gakutotai yang berisi anak-anak usia belasan tahun. Semua mereka yang masuk dalam organisasi semi-militer itu disiapkan sebagai pasukan cadangan dalam perang menghadapi tentara sekutu.
Ketika Jepang mengalami kemunduran dalam perang di awal 1945, anak-anak muda itu tak lagi dapat dikontrol tentara. Mereka seperti “anak ayam kehilangan induk”. Pada kondisi seperti itulah beberapa pemimpin anti-fasis Jepang menggunakan mereka menekan Sukarno-Hatta cs agar agresif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Nasionalisme Agresif

Gambar aksi dukungan terhadap Republik Indonesia tahun 1946. Foto Commons Wikimedia.
Pada titik ini nasionalisme Indonesia memasuki fase kekerasan. Kemerdekaan sebagai tujuan nasionalisme tak akan didapat tanpa adanya aksi-aksi kekerasan.
ADVERTISEMENT
Demikian yang dipercayai sebagian besar kalangan pemuda Indonesia. Kekerasan pertama yang terjadi adalah Aksi Supriyadi di Blitar pada 14 Februari 1945, yang kala itu menjadi salah seorang komandan PETA.
Aksi kekerasan yang hampir fatal dilakukan para pemuda di bawah pimpinan Soekarni cs pada tanggal 16 Agustus 1946. Penculikan mereka terhadap dua pimpinan PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia), Sukarno-Hatta, nyaris berhadapan dengan kekerasan balasan tentara Jepang.
Bung Hatta sendiri sangat menyesalkan tindakan para pemuda yang hampir saja memancing reaksi tentara Jepang untuk membubarkan PPKI, bahkan bisa menangkapi para pemimpinnya kala itu. Bila hal itu terjadi, bisa dipastikan tak ada lagi proklamasi, dan Indonesia tak akan pernah diumumkan sebagai entitas kebangsaan baru pasca Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Ketika Bung Hatta dan Bung Karno diculik dan ditahan, Soekarni, Wikana, dan utusan pemuda memaksa keduanya memproklamasikan kemerdekaan tanpa PPKI. Keduanya pun tegas menolak. Bung Hatta menceritakan kondisi tegang kala itu.
Soekarni berkata, "Saya minta Bung ikut pergi bersama kami."
"Ke mana?" kata saya (Bung Hatta).
"Keluar kota," katanya lagi.
"Apa gunanya keluar kota," kata saya lagi.
Jawab Soekarni, "ya kami akan memerdekakan Indonesia dan meneruskan pemerintahan dari sana, di luar kota".
"Pemerintahan apa, kan belum dibentuk, kemerdekaan belum diucapkan, baru besok pagi. Pemerintah apa yang Saudara maksud," kata saya.
"Ya, begitulah. Ini keputusan kami pemuda-pemuda. Bung Karno sama Bung dibawa ke luar kota. Di sana diucapkan kemerdekaan," kata Soekarni.
ADVERTISEMENT
Dia pergi. Lama kami tunggu. Kira-kira pukul 2 siang baru dia datang, mengatakan bahwa telah dicoba kontak dengan Jakarta, mulanya sulit sekali, akhirnya dapat juga, katanya.
"Apa yang terjadi? Adakah rakyat menyerbu ke Jakarta?"
"Tidak ada," katanya.
"Ya, tadi pagi kamu katakan, bahwa rakyat akan menyerbu dan melucuti Jepang, karena itu kamu bawa kami ke sini. Sekarang ternyata tidak terjadi apa-apa. Bagi kami sudah tentu kamu orang gagal!” (Baca: Bung Hatta Menjawab, 1979; 137-138).

Ekspresi Kekerasan

Gambar grafiti yang dibuat pemuda ketika Revolusi. Foto Commons Wikimedia.
Masa Jepang meski sangat singkat namun berbekas di kalangan pemuda Indonesia. Era ini memberi ruang ekspresi kekerasan paling kuat bagi pemuda menyalurkan kegelisahan mereka.
Kegelisahan itu mendapatkan penyalurannya melalui berbagai mobilisasi, demonstrasi, pembakaran, corat-coret dinding dengan grafiti kebangsaan, dan sebagainya. Mereka tampil beringas meski dengan nyawa taruhannya menghadapi bedil tentara Jepang yang terkenal sadis.
ADVERTISEMENT
Revolusi Indonesia sepanjang 1945-1949 menjadi ajang kekerasan di kalangan pemuda. Mereka tanpa rasa takut maju ke front terdepan berhadapan dengan tentara Sekutu. Meski tanpa pengalaman perang dan baru belajar memegang bedil, anak-anak muda itu dengan teriakan “Merdeka” menerjang dan banyak kehilangan nyawa.
Sementara saat bersamaan, pemuda oportunis mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka petatang-petenteng membawa senjata sembari menakuti warga. Para pemuda sok aksi itu berlagak di jalanan, bahkan tanpa malu merampok, memperkosa, dan membunuh rakyat tak berdosa atas nama perjuangan.
Hari ini para pemuda-pemuda usia belasan tahun itu merasa merdeka melagak-lagakkan klewang mereka di jalanan. Mereka dengan beringas membacok, mengejar orang dengan samurai, dan merusak fasilitas umum demi menampilkan eksistensi mereka.
ADVERTISEMENT
Pemuda Indonesia merupakan kunci penerus peradaban. Semangat nasionalisme mereka menghamparkan potensi masa depan, karena dengan aspirasi kebangsaan mereka, hal itu dapat menjadi benih inspirasi yang dapat dijadikan semangat untuk maju, ketimbang lampiasan kesombongan atau pembuktian kejawaraan yang semu.