Kedaulatan Anak Pejabat

Yudhi Andoni
Sejarawan. Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2023 15:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Andoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi garis kejahatan. Foto oleh Mark D'aiuto/Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi garis kejahatan. Foto oleh Mark D'aiuto/Pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah lumrah di negeri kita kalau seorang anak, bapak atau ibunya berpangkat, maka ia pun naik tingkat. Secara seloroh, bila orang tua seorang kepala desa, maka sifat anak berperilaku jadi camat. Kalau bapak atau emaknya jadi camat, maka anak otomatis naik jadi bupati.
ADVERTISEMENT
Fenomena anak-anak pejabat atau orang berpangkat yang melebihi jabatan orang tua mereka telah meresahkan. Kasus-kasus mereka menganiaya, membunuh, dan bertindak kriminal akan hilang ditelan laci oknum aparat bila tak kadung viral dulu.
Syukur-syukur orang atau korban anak-anak “orang terhormat” itu “bagak” pula, atau setidaknya punya kenalan “orang berpangkat” pula. Tentu persoalan akan berlanjut. Tapi bila korban adalah anak-anak orang miskin dan papah, sudah bisa dipastikan persoalan dihilangkan dengan uang dan permintaan Maaf.
Kasus Mario Dandy Satrio yang menganiaya David Ozora merupakan salah satu puncak gunung es perilaku anak pejabat naik tingkat ini. Si penganiaya, Mario Dandy Satrio adalah anak mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan RI, Rafael Alun Trisambodo. Jabatan bapaknya yang bergelimang uang dipikir Mario Dandy sebagai tameng dan payung berlaku seenaknya pada orang lain, bahkan pada anak belum cukup umur, David Ozora.
ADVERTISEMENT
David sendiri mengalami penganiayaan berat yang membuat dirinya tergolek koma selama beberapa hari di rumah sakit. Sampai saat ini orang tua David mengatakan anaknya belum sembuh total dan banyak merugikan masa depannya.
Kasus penganiayaan David dapat naik ke publik berkat pengaruh orang tuanya yang juga berpengaruh. Tanpa itu mungkin David mengalami dua kali penderitaan, luka fisik dan hinaan kemanusiaan karena kemiskinan atau kepapahan orang tuanya. Syukur akhirnya publik tahu soal kekerasan Mario ini sehingga negara pun menjatuhkan hukuman setimpal pada si pelaku.
Kasus terakhir soal kepongahan anak pejabat adalah penganiayaan seperti dikutip dari kumparanNEWS (6/10) yang dilakukan Ronald Tanur, anak seorang anggota DPR RI terhadap pacarnya hingga tewas. Ronald diberitakan mengajak pacarnya Dini ke Blackhole KTV di Jalan Mayjend Jonosewojo, Surabaya, pada Selasa malam (3/10). Mereka cekcok yang menyebabkan Dini akhirnya meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Ronald diduga melakukan penganiayaan berat hingga Dini tak sadarkan diri awalnya. Dini kemudian dibiarkan Ronald tergeletak menyedihkan di area basement sekitar diskotek. Sadisnya Ronald sempat-sempatnya merekam tubuh Dini yang tergeletak lemah.
Selain anak pejabat dari kalangan politisi dan pemerintahan, kasus melibatkan anak-anak oknum aparat juga tak kalah marak. Satu hal pasti yang bisa ditebak, anak-anak pejabat itu ringan tangan cepat kaki menganiaya karena yakin bapak atau ibunya akan menggunakan pengaruhnya (uang dan jabatan) untuk melindungi mereka. Orang tua mana yang tak akan melindungi anaknya dari kenakalan?
Bila kita menengok ke belakang, ke sejarah para pembesar di masa lalu, kisah anak Umar ibn Khattab adalah tamsil yang patut menjadi teladan para anak pejabat di negeri ini, yakni Abdullah ibn Umar.
ADVERTISEMENT
Ketika Umar naik jadi khalifah, jabatan setingkat presiden, dengan wewenang seperti raja dengan wilayah kekuasaan sangat luas. Dan tentu saja dengan kelimpahan materi pada keluarganya. Namun sayang Umar tidak mau anak-anaknya menikmati jerih paya ayahnya sebagai khalifah. Ia memastikan anak-anaknya tidak menikmati berbagai fasilitas negara, apalagi ambil keuntungan oleh statusnya.
Pernah satu kali Umar meminta anaknya, Abdullah, agar menjual kembali kambingnya yang gemuk-gemuk. Ia membolehkan Abdullah mengambil kembali modalnya, namun keuntungan penjualan mesti disetor ke kas negara. Awalnya Abdullah protes.
Ilustrasi kambing. Foto oleh Trinity Kubassek: https://www.pexels.com/id-id/foto/domba-288621/
Abdullah ibn Umar mengutarakan kalau ia membeli kambing-kambing itu dengan uangnya sendiri. Ia meminta orang menggembalakannya dengan upah, dan kini kambing-kambing itu sudah saatnya dijual. Adapun keuntungannya tentu halal untuk ia nikmati bersama anak-anaknya. Umar tersenyum.
ADVERTISEMENT
Umar pun menjawab kalau Abdullah tidak salah. Namun kambing gemuknya dibanding yang lain itu yang jadi masalah. Kegemukan kambing Abdullah jelas karena pengaruh tidak langsung dari ayahnya yang khalifah.
Si pemotong rumput, jelas Umar, akan mendapatkan banyak prioritas karena tengah menggembalakan kambing miliknya Abdullah ibn Umar yang notabene anak khalifah. Siapa mau bersaing mendapat rumput segar dengan kambing milik anak khalifah?
Abullah ibn Umar pun paham dan malu pada ayahnya. Ia yang terkenal sebagai alim dan tawaduk itu pun membenarkan pandangan ayahnya, Umar ibn Khattab. Abdullah akhirnya menjual kambing-kambingnya, dan menyetorkan hasil keuntungan penjualan kambing-kambing gemuknya ke kas negara, Baitul Mal, kala itu.
Kisah Abdullah ibn Umar adalah refleksi bahwa tak ada salahnya menjadi anak pejabat. Namun seorang anak pejabat bukanlah pemilik wewenang yang diamanahkan. Ia tak ubahnya dengan anak-anak lain yang bukan pejabat. Jadi pada hakikatnya semua fasilitas negara yang diberikan ke seorang pejabat guna mendukung kinerjanya tak semestinya bisa pula dimanfaatkan anak atau istrinya.
ADVERTISEMENT
Tapi entah kenapa kita kadang di jalan, terkaget-kaget juga kita melihat banyak mobil mewah pelat merah. Meraung ganas dan seenaknya saja di jalanan yang di dalamnya ada anak sekolah duduk di kursi belakang kusir, ditemani seorang perempuan cantik tengah berbedak. Sementara pak pejabat tengah meeting dengan demonstran sambari bicara soal keadilan di negeri ini.