Ramainya Jepang di Musim Gugur

Satwika Gemala Movementi
Communications Specialist. Alumni Universitas Indonesia dan School of Government and Public Policy Indonesia.
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2023 13:26 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Satwika Gemala Movementi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wisatawan di Jepang. Foto: noina/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wisatawan di Jepang. Foto: noina/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak pertengahan 2022, Jepang kembali membuka perbatasan untuk menarik turis asing paca pandemi. Saya sempat membaca di beberapa artikel bahwa negara ini sedang gencar mendorong sektor pariwisata. Salah satu alasannya akibat anjloknya nilai Yen terhadap Dolar Amerika. Tak heran, turis asing pun menyerbu Negeri Sakura.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini berisi pengalaman saya selama enam hari di Negeri Sakura (18-24 September 2023) atau di awal musim gugur. Beberapa negara menjadi pilihan berlibur. Setelah berbagai pertimbangan, Jepang akhirnya menjadi tujuan. Salah satu alasan utamanya adalah kemudahan dokumen keberangkatan.
Setelah riset sekitar seminggu, saya memutuskan ikut open trip. Lagi-lagi karena alasan kemudahan. Jadi, tidak harus memikirkan soal transportasi dan akomodasi.

Persiapan Keberangkatan

Terkait kebijakan bebas visa ke Jepang, calon pendatang tetap harus mendaftar visa waiver dengan dua pilihan, yaitu online dengan visa yang dikeluarkan berupa soft file. Atau konvensional dengan visa yang langsung dicap ke paspor. Pengurusan administrasi kedua pilihan tersebut ditawarkan oleh penyedia tour, sehingga tidak perlu repot datang ke kedutaan.
ADVERTISEMENT
Saya memilih visa online karena biayanya murah hanya Rp50 ribu. Sedangkan versi konvensional berbiaya Rp350 ribu. Hanya menunggu empat hari, saya pun mendapatkan persetujuan.
Sebelum berangkat, hal pertama yang saya riset adalah kondisi cuaca. Pertengahan September adalah awal musim gugur. Beberapa artikel yang saya baca menyebutkan di pertengahan September suhu antara 23-28 derajat Celcius. Bagi saya yang sejak lahir di Bogor dan terbiasa dengan cuaca sejuk, tentu ini sangat cocok. Pada kenyataannya, setiba di Tokyo udara terasa panas terik dan berangin.

Berbagai Pilihan Tempat Wisata dan Kuliner

Keesokan harinya, cuaca mulai sejuk. Kami berkunjung ke Tsukiji Market, Asakusa Temple, Shibuya, dan Harajuku. Sebenarnya, Tsukiji merupakan pasar ikan dengan mayoritas makanan yang dijual berbahan ikan. Namun, ada banyak pilihan lainnya seperti mochi dan es krim matcha.
ADVERTISEMENT
Karena masih pagi dan belum lapar, saya membeli es krim matcha. Memang benar, versi aslinya sangat lezat. Bukan berarti yang dijual di Indonesia tidak enak lho, ini hanya soal selera.
Situasi di Tsukiji cukup ramai turis asing. Berdasarkan pengamatan saya, paling banyak turis kulit putih, sebagian lain berwajah Asia Timur, selebihnya berwajah Melayu. Setelah itu kami ke Asakusa yang ternyata sangat padat, bahkan untuk berjalan pun harus hati-hati karena berdesakan.
Di Asakusa saya menemukan beragam pilihan untuk oleh-oleh, yaitu kue mochi, hiasan dinding, magnet kulkas, dan pajangan unik khas Jepang. Pantas saja ramai, bagi turis asing tempat ini sangat menarik.
Halaman depan Asakusa Temple, Tokyo (dokumentasi penulis)
Berlanjut di Shibuya, kami menyusuri perempatannya yang sangat terkenal itu. Padatnya jalan ini karena lalu lalang para pekerja ditambah dengan turis asing. Tak lupa saya pun berfoto di depan patung anjing Hachiko yang iconic itu.
ADVERTISEMENT
Walaupun penuh sesak, saya tidak merasa jadi sasaran copet. Sebabnya, Jepang dikenal sebagai negara aman. Namun demikian, saya tetap waspada dengan barang bawaan.
Di Harajuku situasi pun tidak jauh berbeda, sangat padat dengan turis asing. Sayangnya, karena hari kerja saya tidak banyak menemukan para cosplay yang berdandan unik. Menurut pemandu wisata yang sudah lama tinggal di negara ini, mereka kebanyakan hadir di malam hari dan akhir pekan. Sebabnya, para cosplay sebagian besar adalah pelajar dan mahasiswa.
Esoknya tidak ada jadwal tour, sehingga peserta bebas pergi ke mana saja. Saya dan seorang teman mencoba naik kereta ke pasar Ueno dan Roppongi. Pengalaman naik kereta di Jepang menjadi hal menantang. Di Jepang ada lebih dari satu operator kereta dengan berbagai line. Sehingga, warna dan simbol line harus diperhatikan dengan baik agar tidak tersasar.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, stasiun terdekat dari hotel adalah Monzennakacho. Untuk ke Ueno, harus memilih kereta dengan line Oedo yang berinisial E dan berwarna merah jambu. Kenyatannya, mengingat inisial dan warna tidak cukup.
Ada berbagai petunjuk arah yang harus diperhatikan baik-baik. Untuk sampai ke jalur kereta tersebut, harus naik-turun stasiun dan berjalan hingga 500 meter. Cukup melelahkan dan menghabiskan waktu hanya untuk menemukan line Oedo.
Tidak ada pengorbanan sia-sia, karena Ueno sangat menarik. Pilihan oleh-olehnya sangat banyak, belum lagi deretan restoran yang variatif. Mulai dari masakan Jepang, Cina, hingga Timur Tengah. Saya memesan paket nasi salmon panggang dan sup miso seharga 750 Yen atau sekitar Rp78 ribu. Cukup terjangkau untuk ukuran makanan di Jepang. Apalagi, restorannya besar dan dilengkapi dengan toilet yang bersih dan wangi.
ADVERTISEMENT
Berbicara soal toilet, Jepang patut diacungi jempol. Hampir seluruh toilet yang saya jumpai di tempat umum sangat bersih, termasuk di stasiun. Perlu diketahui, toiletnya dilengkapi dengan tisu yang didaur ulang. Sehingga, setelah digunakan bisa langsung dibuang dan di-flush ke dalam kloset. Karena itu, tidak semua toilet dilengkapi tempat sampah.
Keesokan harinya kami mengunjungi sejumlah tempat di daerah Yamanashi, yaitu danau di pinggir Gunung Fuji dan Chureito Pagoda. Saya agak kaget sewaktu tiba di sekitar danau, karena cuacanya tidak dingin. Padahal, posisinya dekat dengan kaki gunung yang menjadi icon Jepang ini. Sayangnya, langit sedang mendung sehingga Fuji-san hanya tampak sebagian.
Perjalanan dilanjutkan ke Chureito Pagoda. Untuk menuju ke tempat ini, kendaraan harus diparkir di tempat khusus yang dekat dengan sebuah desa kecil. Dari desa ini harus berjalan kaki selama 15 menit menuju area pagoda. Sampai di area tersebut, sekitar 400 anak tangga harus dilalui.
ADVERTISEMENT
Chureito Pagoda sangat menantang, apalagi bagi pengunjung berusia lanjut. Banyak dari mereka yang akhirnya berhenti di pertengahan dan memilih tidak melanjutkan ke puncak, Lokasi ini pun dipadati oleh turis asing.
Sampai di puncak, pengunjung disuguhi pemandangan yang sangat indah. Ada tempat khusus dilengkapi deretan tempat duduk yang menghadap langsung ke atap pagoda dan mengarah ke Gunung Fuji. Sekali lagi, saya tidak beruntung melihat keseluruhan Fuji karena langit mendung.
Pemandangan dari puncak Chureito Pagoda (dokumentasi penulis)
Turun dari Chureito Pagoda, saya mampir ke kedai es krim Shine Muscat Grape. Anggur ini populer di Jepang karena rasanya yang segar, bertekstur lembut, dan tidak memiliki biji. Saya memilih es krim dengan yang tidak dicampur susu. Rasanya sangat menyegarkan dan tidak terlalu manis.
ADVERTISEMENT
Esok harinya, jadwal tour adalah berkunjung ke premium outlet Gotemba. Tempat ini masih di sekitar area Gunung Fuji.
Tempat ini merupakan surganya barang branded dengan harga miring. Pilihan merk ternama yang dapat Anda jumpai di antaranya Adidas, Balenciaga, Casio, Coach, Gucci, Kate Spade, Longchamp, Michael Kors, dan Nike. Setelah saya bandingkan dengan harga di Indonesia, termasuk di toko online, harga barang di sini memang jauh lebih murah.
Rahasia harga murah karena barang-barang yang dijual berasal dari butik di Tokyo yang sudah lewat dari musimnya. Adapun sebagian besar toko memberikan diskon tambahan bagi turis asing yang membawa paspor. Setelah data terverifikasi otomatis, maka ada potongan harga.
Jika ingin membeli oleh-oleh di Gotemba, saya rekomendasikan untuk mengunjungi Plaza. Toko ini menjual berbagai jenis barang dengan desain menarik, di antaranya pajangan, mug, tumbler, tas, dan payung. Khusus yang terakhir ini, sangat banyak pilihan, baik payung lipat atau yang berukuran besar dengan warna dan motif beragam. Menariknya, payung lipat yang dijual sangat ringan dan kecil sehingga mudah dibawa ke mana saja.
ADVERTISEMENT
Di Gotemba juga banyak pilihan makanan menarik, baik restoran maupun kedai kopi. Namun demikian, harganya cukup mahal. Saya memesan nasi salmon mentah dilengkapi sayuran dan es teh hijau dengan total 1.500 Yen atau sekitar Rp157 ribu.
Selama di Gotemba, pengunjung terbanyak yang lalu-lalang berwajah Asia Timur dan Melayu. Saya hanya menjumpai sejumlah kecil turis berkulit putih. Walaupun suasana ramai, karena Gotemba sangat luas maka pengunjung tidak berdesakan.
Hari berikutnya, kami bergerak ke Kyoto yang dikenal dengan kota seribu kuil. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Kiyomizu-dera Temple. Jalan menuju kuil ini cukup menanjak dengan berbagai toko souvenir dan makanan berjajar di kanan-kiri. Kondisi sangat padat dan berdesakan.
Selama mengunjungi tempat wisata di Jepang, menurut saya di tempat inilah yang terpadat. Ini juga karena jalur pejalan kaki menuju kuil cukup sempit. Sebagai gambaran, hanya bisa memuat satu mobil.
Fish cake di jalan menuju Kiyomizu-dera Temple, Kyoto (dokumentasi penulis)
Tempat berikutnya adalah hutan bambu Arashiyama. Karena waktu yang singkat di Kyoto, saya kurang menemukan kesan di tempat ini. Saya dan para peserta tour hanya sempat berfoto di pinggir sungai dan di bagian depan area hutan. Padahal, tempat ini sangat indah dan Instagramable. Semoga suatu hari saya bisa berkunjung ke Jepang lagi dan kembali ke tempat ini.
ADVERTISEMENT
Menjelang sore, rombongan bergerak ke Osaka. Kota ini merupakan terbesar kedua di Jepang. Berdasarkan situs Japan Guide, Osaka telah berabad-abad menjadi kekuatan ekonomi di wilayah Kansai. Adapun Kansai merupakan nama bandara utama di Osaka.
Tempat yang dikunjungi di Osaka adalah kawasan Shinsaibashi. Di antara deretan pertokoan terdapat papan reklame bergambar pelari yang dikenal dengan nama Glico Man. Reklame ini sudah ada sejak tahun 1935 dan menjadi icon Osaka. Untuk menjumpai reklame ini, Anda harus berjalan hingga kanal Dotonbori.
Jika ke kawasan ini, jangan lupa mencicipi makanan khas Osaka yaitu Takoyaki dan Okonomiyaki. Di tempat ini juga ada sejumlah toko resmi barang branded dengan harga miring.
Takoyaki di Shinsaibashi, Osaka (dokumentasi penulis)
Semakin malam, Shinsaibashi semakin dipadati pengunjung. Apalagi semarak lampu-lampu semakin menambah menarik suasana. Tepat jam 7 malam, rombongan pulang ke hotel. Karena esok pagi kami kembali ke Indonesia melalui bandara Kansai.
ADVERTISEMENT

Kiat Bepergian ke Jepang saat Musim Gugur

Berikut beberapa kiat bagi Anda yang berencana ke Jepang di musim gugur. Siapkan varian pakaian berbahan menyerap keringat, baik lengan pendek atau panjang. Bawa juga jaket tipis atau cardigans bahan rajut.
Meskipun panas, cuaca cukup berangin. Pakaian lengan panjang bisa melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Pastikan juga membawa kacamata hitam.
Kenakan sneakers atau sepatu yang nyaman dipakai. Jalan kaki dengan durasi panjang menjadi hal lumrah ketika berwisata di Jepang. Meskipun ikut tour dan tersedia bus, namun untuk menuju kawasan wisata dan perbelanjaan dibutuhkan jalan kaki.
Bawalah payung atau topi. Karena sesekali cuaca hujan, walaupun tidak deras. Sebelum bepergian, oleskan tabir surya pada wajah dan badan untuk melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Oleskan juga pelembap bibir karena cuaca kering membuat bibir mudah pecah.
ADVERTISEMENT
Terakhir, saya sarankan menyiapkan uang tunai dalam bentuk Yen. Ini memudahkan Anda saat berbelanja di toko kecil maupun besar. Sebabnya, jika menggunakan kartu debit dan kredit terdapat nilai charge.
Selamat berwisata!