Implementasi Responsibility to Protect pada kasus kemanusiaan di Bosnia

Sania Maulidayanti
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional, Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
6 April 2024 20:47 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sania Maulidayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasukan NATO di Serbia (Source: Gencraft AI)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasukan NATO di Serbia (Source: Gencraft AI)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Intervensi adalah proses adanya campur tangan oleh negara terhadap suatu konflik yang terjadi di negara lain untuk mengubah situasi konflik menjadi damai.
ADVERTISEMENT
Menurut J.G. Starke selain bentuk intervensi internal, external dan punitif masih terdapat bentuk lain yaitu intervensi kemanusiaan yang memiliki nilai dasar memanusiakan manusia.
Intervensi akan selalu berbenturan dengan kedaulatan, hal ini karena negara memiliki hak untuk mengatur urusan internal mereka sendiri tanpa adanya campur tangan pihak eksternal. Sehingga untuk menjembatani benturan tersebut, pada tahun 2005 terjadi pertemuan oleh negara-negara anggota PBB dalam United Nations World Summit yang membahas berbagai tindak kejahatan HAM berat seperti genocide, ethnic cleansing, war crimes dan crimes against humanity, yang kemudian melahirkan konsep baru yaitu Responsibility to Protect (R2P).
Konsep R2P menjelaskan bahwa sebagai negara yang berdaulat maka negara memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh warga negaranya, tetapi ketika warga negaranya justru menjadi korban dalam suatu konflik, negara dianggap telah gagal melindungi warga negaranya dan tanggung jawab untuk melindungi warga negara tersebut akan berpindah tangan kepada masyarakat internasional. Perpindahan tanggung jawab untuk melindungi warga negara tersebut yang kemudian melegitimasi tindakan intervensi oleh negara lain, karena intervensi tersebut dilakukan berdasarkan kemanusiaan atau melindungi warga negara dari segala tindakan pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Penerapan konsep R2P pernah dilakukan saat konflik di Bosnia-Herzegovina pada tahun 1995. Pada saat itu terjadi agresi oleh Serbia terhadap Bosnia sebagai bentuk penolakan dan upaya menggagalkan pembentukan negara Bosnia. Serbia menyerang Bosnia-Herzegovina setelah Bosnia memproklamirkan kemerdekaannya pada 6 April 1992. Serbia melancarkan serangan terhadap kota-kota besar di Bosnia yang berkembang menjadi kejahatan genosida terhadap etnis muslim Bosnia dengan lebih dari 8.000 masyarakat sipil Islam Bosnia menjadi korban.
Pemerintah Bosnia mengalami kesulitan untuk membuat keadaan menjadi stabil, sehingga NATO meluncurkan Operasi Deliberate Force dengan melibatkan serangan udara sebagai tanggapan terhadap penyerangan warga sipil di Bosnia-Herzegovina. Operasi ini berhasil membuka jalan negosiasi dengan lahirnya perjanjian Dayton pada November 1995.
R2P memicu tanggapan internasional dan intervensi militer, dan campur tangan NATO untuk menghentikan kekerasan dan melindungi warga sipil di Bosnia. Hal ini menunjukkan bagaimana prinsip R2P dapat diterapkan dalam situasi di mana pemerintah tidak mampu atau tidak mau melindungi warga negaranya dari kejahatan HAM berat.
ADVERTISEMENT