Perjalanan ke Leuwi Hejo

Salwa Rubia Darussalam
Halo! Saya mahasiswi Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
30 Mei 2022 17:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salwa Rubia Darussalam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bukit menuju Leuwi Hejo (Sumber foto: Salwa Rubia Darussalam)
zoom-in-whitePerbesar
Bukit menuju Leuwi Hejo (Sumber foto: Salwa Rubia Darussalam)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Leuwi Hejo, tempat pertama kali yang kutapaki berhasil memberi kenang lelah karena mampu membuat kaki gempor sebab perjalanannya membuat siapa pun merasakan keringat membanjiri tubuh selama berjalan ke tempat tujuannya.
ADVERTISEMENT
Batu kerikil, rumput-rumput lembap, bekas jejak di jalan setapak menjadi saksi kepayahanku untuk sampai ke atas bukit Barong.
Maret kemarin, aku bersama teman-teman pondok melakukan perjalanan wisata ke air terjun Curug, Bogor. Meski kami tinggal di pondok, tentu saja bukan menjadi suatu hambatan untuk tidak mengeksplor wisata yang berada di sekitar Jawa Barat.
Selain itu, sebagai mahasiswa tentunya kami (khususnya aku sendiri) perlu menjernihkan isi kepala yang penuh oleh tugas-tugas kuliah. Dan tidak bisa kupungkiri beban itu sukses membuat penat untuk mahasiswa semester 4 sepertiku.
Walaupun belum disibukkan oleh magang, mengingat tuntutan tugas sebagai mahasiswa sekaligus santri pondok menuntutku harus mampu membagi waktu untuk menyeimbangkan kegiatan di kampus dan di pondok.
ADVERTISEMENT
Kami berangkat pukul satu siang, di luar dugaan, ternyata keputusan untuk berangkat pada siang itu adalah pilihan yang salah. Betul, untuk sampai ke Leuwi Hejo membutuhkan waktu 3 jam perjalanan, disusul kami juga harus berjalan kaki untuk sampai ke air terjun di sungai Barong, alhasil, setelah kami berjalan sekitar 45 menit dari bawah bukit ke air terjun kami baru sampai ketika matahari mulai merundukkan sinarnya.
Sebenarnya sebelum sampai ke air terjun, ada drama tersesat di tengah jalan setapak karena kurangnya informasi dari guide tour, hal itu membuat perjalanan terhambat yang seharusnya ditempuh setengah jam saja menjadi satu jam perjalanan, dan tentu saja kami berjalan kaki.
Namun, semua lelah itu sirna ketika kami disuguhkan pemandangan air jernih di depan pijakan terakhir kaki berlumpur kami. Gemericik air terjun menari-nari ke permukaan batu menjadi resonansi paling jatmika menghipnotis pendengaran kami. Indah, untuk kesekian kalinya aku berdecak kagum atas ciptaan Tuhan ini.
ADVERTISEMENT
(Salwa Rubia Darussalam/Politeknik Negeri Jakarta)