Istimewanya Pahlawan Bersayap Sederhana

Salma Jauza
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Jurnalistik Penerbitan
Konten dari Pengguna
9 Juli 2023 14:39 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salma Jauza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi: Seorang ayah menggandeng anaknya credit: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi: Seorang ayah menggandeng anaknya credit: unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Persis di tempat ini, di mana aku bersanding dengan kelabunya langit malam, ditemani secangkir cokelat panas di meja kecil, depan teras rumah. Sekelebat sambil terpikir, aku rindu sosok ibu. Namun, ternyata yang aku banggakan hanyalah seorang ayah.
ADVERTISEMENT
Keluarga kecilku hanya separuh dari kata utuh, kedua pahlawan setiaku memilih jalannya masing-masing. Aku memang tidak mengerti, tapi tidak salah kan waktu balita aku menangis karena merindukan salah satu obat penenangnya, ibuku.
Memaklumi keadaan sudah menjadi jalan takdirku untuk menerima setiap perbedaan, bukan berarti hidup terasa hancur karena terlihat beda dengan keluarga yang masih utuh. Tetapi aku beruntung terlahir hendak mereka.
“Ayahku pahlawanku,” terdengar klise, tapi itu memang benar. Seorang laki laki paruh baya yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tak tuntas kuliahnya sebab tersendat oleh ekonomi. Ia harus bekerja keras untuk membiayai semua kebutuhanku.
Setiap ayah harus pergi bekerja, aku dirawat sehari-harinya oleh nenek. Tentu tak heran jika aku sebut ia sebagai pahlawan, karena ia harus bertanggung jawab mencari uang pada saat matahari terbit hingga larut malam.
ADVERTISEMENT
Aku belajar arti kebahagiaan sederhana yang dibuat olehnya, karena bahagia tak selalu dengan uang yang banyak. Seperti menonton film, banyak keluarga lain yang selalu menghabiskan waktu liburannya dengan pergi ke bioskop untuk menonton film yang sedang tayang. Namun bagiku dan ayah, pergi ke tempat sewa kaset dan menonton nya dirumah menjadi kebahagian tersendiri.
Tidak hanya itu, aku juga belajar arti berkecukupan, mungkin aku memang tidak bisa memakai barang yang banyak orang pakai, awalnya aku merasa geram dan kesal. Namun, setelah ayahku menjelaskan dengan penghasilannya yang ia dapat, sedikit demi sedikit aku mulai mengerti bahwa tidak semua yang dipakai orang harus aku ikuti.
Terkadang pakaian sehari-hariku hasil thrifting atau pakaian bekas di Pasar Senen, jujur ia cukup andal dalam berburu pakaian bagus dan menawarnya. Ia memang menyukai barang-barang bekas antik dan impor. Di rumah pun banyak sekali koleksinya, mulai dari kaset-kaset, jam tangan, gimbot, action figure dan juga peralatan elektronik.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi kemampuan bapak-bapak untuk mengutak-atik peralatan elektronik yang tidak terpakai menjadi berguna. Dan juga diriku, dia ingin mengubah aku menjadi yang berguna, walaupun tak tamat kuliah, peran akulah yang bisa mencapai keinginannya.
Ia tidak pernah menuntutku untuk memilih yang tidak sesuai dengan kemampuanku, karena menurut ayah sesuatu hal yang tidak disepakati oleh kedua belah pihak tidak akan berjalan sesuai keinginan salah satunya. Ayah selalu membebaskanku dalam mengambil keputusan, namun semuanya masih didasari dengan batasan.