Ancaman Regulasi Kriminogenik Emas Hitam

Ummu Salamah
Alumni FH UNIB, Pemenang lomba debat konstitusi dan constitutional moot court competition (CMCC) oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2019
Konten dari Pengguna
26 Mei 2020 16:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ummu Salamah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) telah menjadi wabah global yang mengancam hampir di seluruh belahan dunia. Hal tersebut menghantarkan WHO menyatakan sebuah statement tegas kepada penduduk dunia untuk menghentikan seluruh laju aktivitas. Ironinya, peristiwa global tersebut seakan dimanfaatkan ajek oleh legislator Indonesia dengan menggelar perhelatan pengesahan revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba) menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna DPR.
ADVERTISEMENT
Pola tingkah pembentuk undang-undang yang menjadi polemic itu, jika digunakan pendekatan critical norm baik secara formil maupun materil, maka norma-norma perubahan tersebut secara keseluruhan bertentangan dengan aspek-aspek hukum. Sebab, sejatinya pembuatan norma hukum jika menggunakan tafsir Jimly Asshiddiqie menukilkan bahwa norma hukum haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid), keadilan (equality, bilijkheid, evenredigheid) dan kebergunaan (utility).
Itu sebabnya, dalam pelaksanaan control politik atau legislative control/ legislative review pada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba) menjadi keharusan untuk memperhatikan nilai-nilai diatas. Di samping itu, situasi dan seperti ini para legislator harus mampu menjelaskan hal ikhwal apa yang membuat perhelatan ini harus digelar dengan tergesa-gesa.
ADVERTISEMENT
Pendirian kita hari ini sesungguhnya bukan sedang meragukan integritas dan mempertanyakan kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan legislator, akan tetapi sektor pertambangan merupakan sektor strategis yang sangat diincar para investor maka dibutuhkan peran pemerintah untuk membuat regulator dalam mengeksploitasi bidang pertambangan ini. Amanah Konstitusi telah mengejawantahkan melalui Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dengan tegas menyatakan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Rumusan konstitusi tersebut telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 yang mana klausul “dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) oleh negara. Mengacu pada penafsiran tersebut, hasil tambang di Indonesia dikuasai oleh negara yang dikelola dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya, sebagaimana prinsip welfare state. menunjukkan bahwa negara memiliki kedaulatan atas sumber daya alamnya, termasuk kekayaan mineral dan batubara.
Oleh karena itu, investasi asing yang memiliki maksud untuk mengelola kekayaan alam tersebut harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh regulator. Jangan sampai regulasi untuk mengatur emas hitam ini justru menjadi kriminogenik (munculnya suatu tindak pidana baru) yang akan menjadi bom waktu mengacam masa depan rakyat Indonesia yang selama ini diagungkan sebagai sebuah Negara kesejahteraan (welfare state).
ADVERTISEMENT
Tinjauan Kritis Kontroversional UU Minerba
Agak aneh tampaknya ketika RUU Minerba ini sempat di carry over atau ditunda pembahasannya bersama dengan RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Perkoperasian, serta RUU Pengawasan Obat dan Makanan yang telah disepakati oleh DPR dikarenakan mengingat adanya protes dari masyarakat yang disampaikan melalui gelombang demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah pada tahun 2019 kemarin. Atas dasar tersebut maka seluruh fraksi yang ada di DPR pun akhirnya untuk tidak membahas atau menunda pembahasan lima RUU tersebut di periode keanggotaan DPR 2014-2019. Maka seharusnya RUU Minerba benar-benar harus mengutamakan partisipasi masyarakat sebagaimana amanah dari UU 12 Tahun 2011 jo UU 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan kondisi saat ini dapat dipastikan bahwa RUU Minerba sangatlah nir-partisipasi.
ADVERTISEMENT
Belum lagi jika dicermati lebih lanjut hampir seluruh aktivis lingkungan menyatakan nota penolakan terhadap RUU Minerba ini seperti menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut substansi dan komposisi dari RUU Minerba didominasi untuk memfasilitasi investor. Selain itu WALHI, Green Peace Indonesia dan penggiat lingkungan lainnya ramai-ramai menyuarakan penolakan terhadap RUU Minerba ini bukankah tujuan hukum menurut Jeremy Bentham adalah ”the greatest happiness of the greatest number” memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi, konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum, maka jika ramai-ramai Rakyat telah menolak sisi mana lagi yang ingin dikedepankan dalam pengesahannya.
Setidak-tidaknya ada beberapa poin yang membuat RUU Minerba ini ditolak oleh penggiat lingkungan antara lain seperti kewenangan perizinan, perpanjangan perizinan, pengaturan terhadap izin pertambangan rakyat (IPR), aspek lingkungan, hilirasi, dan divestasi. Yang sangat mengganggu penulis adalah problematika perpanjangan izin yang dapat dilakukan secara langsung atau otomatis tanpa lelang dan pengurangan lahan sedangkan kita mengetahui para investor sedang menunggu momentum untuk memperpanjang izin seperti enam perusahaan raksasa batu bara yaitu Kaltim Prima Coal, Arutmin, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, Berau Coal dan ADARO yang akan habis masa kontraknya di tahun ini dan tahun depan. Saat ini melihat situasi pelik ini penulis sependapat dengan Abra Talattov peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef) yang menilai, perlu ada keseimbangan antara meningkatkan iklim investasi dengan pembangunan inklusif, perlindungan lingkungan dan social, bukankah salah satu amanah dari konstitusi kita yang dinukilkan dalam Pasal 28 H Ayat 1 adalah bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh layanan kesehatan. Maka jelaslah bahwa semua ini memerlukan keseimbangan baik dari segi ekonomi mapun ekokrasi agar amanah konstitusi tidak terkhianati hanya demi kepentingan oligarki politik yang pro pengusaha.
ADVERTISEMENT
Sekarang marilah kita menyingkap tabir oligarki politik ini dengan sebuah postulat Prof Mahfud MD yang menyatakan bahwa konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsive/populistik sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif/ortodoks/elitis. Sehingga disini kami rakyat Indonesia mempertanyakan sikap apa yang sedang di tunjukkan para elit politik dan legislator, apakah sikap negarawan atau sikap pro hartawan?