Analisis Dampak Ekonomi Corona dan Usulan Solusi

M. Said Didu
Pengamat kebijakan publik.
Konten dari Pengguna
20 Maret 2020 17:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M. Said Didu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pergerakan saham di Jakarta, Senin (9/3). Foto: ANTARA/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Pergerakan saham di Jakarta, Senin (9/3). Foto: ANTARA/Galih Pradipta
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dampak ekonomi yang harus diantisipasi dalam menghadapi pendemi corona yang sedang terjadi meliputi: (1) Fiskal, (2) Moneter, (3) Perdagangan luar negeri, (4) Jasa, (5) Sektor riil, dan (6) Ekonomi rakyat.
1. Dampak Fiskal
Dapat dipastikan bahwa kasus corona memberikan beban sangat berat buat fiskal APBN 2020. Seperti diketahui bahwa APBN 2020 telah dirancang defisit mendekati angka maksimum, dan bulan Januari-Februari saja sudah di atas target bulanan.
Dari segi penerimaan seperti pajak, bea dan cukai, PNBP migas dan tambang, dapat dipastikan sulit mencapai target. Pajak diperkirakan jauh di bawah target karena pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya sekitar 4% dari target 5%. Demikian juga halnya penerimaan bea dan cukai, karena pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan dunia semua juga turun disebabkan oleh menurunnya volume perdagangan.
Konsumsi sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi juga dapat dipastikan akan tumbuh negatif.
Penerimaan dari migas dan tambang juga diperkirakan akan turun drastis karena target harga minyak dalam APBN 2020 jauh di atas harga pasar dunia saat ini. Penerimaan dari gas dan batu bara biasanya mengikuti harga minyak.
Dari segi pengeluaran, sepertinya akan muncul pengeluaran mendesak yang tidak tercantum dalam APBN 2020.
Kasus corona mengharuskan pemerintah menyediakan dana penanggulangan kesehatan yang cukup besar dan dana penyangga dampak terhadap orang miskin (social safety net).
Karena ruang fiskal untuk pengeluaran tidak terduga sangat kecil, maka sepertinya pemerintah harus melakukan revisi APBN 2020 dengan alasan mendesak.
Kurs tukar rupiah kian merosot terhadap dolar. Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
2. Dampak Moneter
Seperti yang kita saksikan pada minggu kedua pertama dan kedua Maret 2020, terjadi pelemahan rupiah yang cukup tajam. Bahkan sudah di atas Rp 15.000 per dolar AS.
Harga saham gabungan merosot sangat tajam dari saat sebelum corona yang masih di atas Rp 6.000. Setelah makin merebaknya kasus virus corona, harga saham gabungan jatuh mendekati Rp 4.000 atau sudah turun lebih 30 persen. Salah satu penurunan harga saham terbesar di dunia.
Masalah moneter diperkirakan makin berat karena beban cicilan utang pemerintah, utang BUMN, dan utang swasta tahun 2020 diperkirakan mencapai puncak pembayaran utang tertinggi selama ini. Sementara dapat dipastikan pada tahun ini akan sangat sulit mendapatkan sumber utang baru karena seluruh dunia menghadapi permasalahan ekonomi yang sama, sehingga likuiditas keuangan sangat kering.
Utang dari lembaga keuangan seperti Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia juga sepertinya tidak mudah karena hampir seluruh dunia membutuhkan dana untuk mengatasi dampak ekonomi corona. Apalagi tahun ini Indonesia sudah dinaikkan dari negara berkembang, yang tentunya tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan pinjaman.
Area tambang batu bara di Kalimantan Selatan. Foto: Michael Agustinus/kumparan
3. Perdagangan Luar Negeri
Sumber utama devisa kita selama ini adalah minyak, gas, batu bara, CPO, tekstil, dan alas kaki serta berbagai hasil tambang.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa harga minyak dan gas mengalami penurunan yang sangat drastis, hampir mencapai 50%. Batu bara dan CPO diperkirakan mengalami dua pukulan sekaligus, yaitu penurunan harga dan penurunan permintaan karena konsumen terbesar batu bara Indonesia adalah RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang mengalami permasalahan ekonomi lebih rumit.
Tekstil dan alas kaki juga diperkirakan akan mengalami penurunan permintaan yang drastis.
Kecuali emas, hasil tambang lain seperti tembaga, timah, nikel, bauksit, dan lain-lain diperkirakan juga akan mengalami penurunan permintaan dan harga.
Emas, walau harganya diperkirakan akan naik, tetapi produksi kita tidak bisa dinaikkan karena tambang bawah tanah Freeport belum beroperasi. Sementara tambang lainnya seperti Newmont, Aneka Tambang, dan tambang lain masih sulit ditingkatkan produksinya.
Volume perdagangan diperkirakan akan menurun, tetapi defisit perdagangan diperkirakan masih terjadi karena masih tingginya impor migas dan berbagai kebutuhan pokok seperti gula, daging, garam, dan lain sebagainya.
Candi Borobudur di Magelang ditutup di tengah wabah corona, dan disemprot cairan disinfektan. Foto: ANTARA/Anis Efizudin
4. Jasa
Sektor yang sangat terpukul dari pendemik corona adalah sektor jasa, terutama sektor jasa pariwisata, jasa transportasi, dan jasa logistik.
Jika pendemik corona berlangsung lama hingga pertengahan tahun ini, maka ketiga sektor tersebut dipastikan akan mengalami pertumbuhan negatif dan sulit bangkit sampai akhir 2020.
Jika terjadi kondisi demikian, maka diperkirakan akan banyak perusahaan di tiga sektor tersebut mengalami kebangkrutan dan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Pabrik tekstil. Foto: Getty Images
5. Sektor Riil
Walaupun diperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan yang sangat dalam, tetapi permintaan terhadap produk kebutuhan pokok dan sandang diperkirakan tidak akan turun secara drastis.
Untuk itu saatnya kembali memacu produksi sektor riil seperti pertanian dan industri tekstil yang ditujukan untuk mengisi kekosongan yang selama ini diisi oleh impor.
Karena hampir seluruh dunia mengalami permasalahan produksi industri manufaktur sebagai dampak corona, maka kondisi ini dapat digunakan sebaik-baiknya untuk menata ulang kembali industri manufaktur kita.
Kita harus berani mengambil kebijakan untuk menyelamatkan industri baja, industri semen, petro kimia, industri hilir tambang, dan lain sebagainya yang selama ini terancam oleh masuknya produk dan industri dari China yang terkesan diberikan karpet merah oleh pemerintah.
Semangat untuk mempermudah masuknya investasi asing dengan berbagai insentif sepertinya perlu dikaji secara mendalam karena hampir seluruh dunia sedang kekurangan likuiditas untuk melakukan investasi.
Pedagang kaki lima di trotoar Tanah Abang. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
6. Ekonomi Rakyat
Ekonomi rakyat juga dipastikan akan mengalami pukulan berat sebagai dampak menurunnya daya beli masyarakat.
Pengalaman krisis 1998 dan 2008, ekonomi rakyat lewat usaha kecil dan menengah biasanya lebih tahan menghadapi krisis ekonomi, selama konsumsi tetap bisa ditahan agar tidak turun secara drastis.
Corona mencengkeram dunia. Ilustrator: Maulana Saputra/kumparan
7. Solusi Kebijakan
Dari uraian tersebut, dibutuhkan kebijakan antara lain berupa:
1) Lakukan revisi APBN: (a) Menyediakan dana penyelematan nyawa manusia dari pendemik corona, (b) Menyediakan dana penyangga dampak sosial (social safety net), (c) Membatalkan proyek-proyek infrastruktur jangka panjang, (d) Memberikan subsidi terhadap kebutuhan pokok rakyat, (e) Memberikan insentif fiskal terhadap sektor usaha yang terkena dampak, tetapi bisa membangkitkan ekonomi secara cepat seperti pariwisata dan ekspor komoditas pertanian.
2) Penataan kembali kebijakan investasi untuk sektor industri manufaktur, pertambangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan yang mengutamakan terwujudnya kemandirian jangka panjang.
3) Melakukan pengendalian pengelolaan utang yang sudah sangat besar dan memberatkan perekonomian.
4) Meninjau kembali atau menjadwalkan ulang keberlanjutan proyek-proyek yang membutuhkan dana besar seperti pemindahan ibu kota, kereta api vepat, dan berbagai infrastruktur lain.
5) Memperlancar aliran barang konsumsi untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat serta melalukan lobi internasional untuk mendorong pertumbuhan ekspor komoditas sumber daya alam.
Oleh: Muhammad Said Didu #ManusiaMerdeka