Wewenang dan Tugas Peradilan Agama di Indonesia

Muhammad Saddam Syahdan
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2022
Konten dari Pengguna
24 April 2024 7:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Saddam Syahdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
*Foto Ilustrasi, Sumber : Pexels.com/Zachary Caraway
zoom-in-whitePerbesar
*Foto Ilustrasi, Sumber : Pexels.com/Zachary Caraway
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika membicarakan tentang kewenangan, maka kita juga membicarakan tentang kompetensi. Kompetensi sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu “competentie” yang arti kata nya sama dengan wewenang. Sedangkan wewenang berasal dari kata wenang yang menurut KBBI berarti mempunyai (mendapat) hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Berbicara tentang kekuasaan Peradilan Agama yang berakaitan dengan Hukum Acara Perdata, meliputi dua hal; Kekuasaan Absolut dan Kekuasaan Relatif. Juga didalamnya membicarakan tentang tempat mengajukan gugatan atau permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan Pengadilan.
ADVERTISEMENT
Secara umum, tugas dan kewenangan Peradilan Agama adalah; (1) Fungsi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili; (2) Memberi keterangan, pertimbangan dan nasihat tnetang hukum Islam kepada intansi pemerintah; (3) Kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang; (4) Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili perkara pada tingkat banding; dan (5) Bertugas mengawasi jalannya peradilan.
Kewenangan Peradilan Agama sebagaimana telah termaktub dan diatur dalam Undang-Undang dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut bicara mengenai wewenang Peradilan Agama yang terdiri dari Kekuasaan Absolut dan Kekuasaan Relatif. Kekuasaan Absolut Peradilan Agama merujuk pada Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yaitu kewenangan mengadili dalam perkara bidang; (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan menurut hukum Islam; (c) Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Islam. Sedangkan Kekuasaan Relatif merujuk pada Pasal 118 HIR, atau Pasal 142 RB.g jo Pasal 66 dan Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan Absolut Peradilan Agama yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan Agama dan tingkatan Pengadilan. Contohnya adalah Pengadilan Agama menjadi tempat berperkara yang berhak mengadili dan memeriksa pada tingkat pertama, tidak bisa langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. Berdasarkan uraian diatas kewenangan Absolut Peradilan Agama telah diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989. Jika orang yang beragama Islam dan mengalami perkara dibidang perkawinan, maka Pengadilan Agama yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Bidang-bidang tertentu dalam hukum perdata yang berwenang diadili oleh Peradilan Agama yaitu Hukum Keluarga dari masyarakat yang beragama Islam.
Kekuasaan Relatif Peradilan Agama yaitu kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan. Untuk menetapkan kewenangan relatif dari Peradilan Agama, harusnya berpedoman pada Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 telah ditentukan acara yang berlaku pada ruang lingkup Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang sebagaimana beralaku dalam lingkungan Peradilan Umum. Karena itu, harus merujuk merujuk pada, atau Pasal 142 RB.g jo Pasal 66 dan Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989.
ADVERTISEMENT
Penentuan wewenang atau kompetensi relatif ini tentu nya berdasarkan aturan tentang ke Pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar gugatan tersebut memenuhi persyaratan formal. Pada Pasal 118 HIR mengatakan bahwa, yang berwenang adalah Pengadilan tempat tinggal tergugat. Yang asas tersebut jika dalam bahasa latin yaitu “actor sequitur forum rei”. Namun pada pasal tersebut terdapat beberapa pengecualian yang tercantum dalam ayat (2) ,(3) dan (4).
Daftar Pustaka