LHKPN, Transparansi, Integritas, dan Berita

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
5 Mei 2020 22:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
PENYELENGGARAAN negara berpijak pada tujuh asas. Masing-masing yaitu kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum,keterbukaan (transparansi), proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Penyelenggaraan negara pun harus menjunjung tinggi integritas. Apalagi para penyelenggara negara dan pejabat publik lainnya dituntut mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab serta dilaksanakan secara efektif, efisien, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
ADVERTISEMENT
Satu di antara beberapa indikator transparansi, akuntabilitas, dan integritas penyelenggara negara dan pejabat publik lainnya tercermin pada penyampaian laporan harta kekayaan dan laporan gratifikasi.
Bagi penyelenggara negara, berlaku kewajiban menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelenggara negara juga diwajibkan mengumumkan harta kekayaannya. Penyampaian dan pengumuman ini berlaku sebelum dan setelah penyelenggara negara menjabat.
Ketentuan ini termuat secara jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, hingga berbagai peraturan, keputusan, dan surat edaran pimpinan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Berbagai peraturan, keputusan, dan surat edaran itu pun mewajibkan aparatur sipil negara (ASN) menyampaikan Laporan Harta Kekayaan ASN (LHKASN). Khusus untuk LHKASN berlaku bagi Eselon III, IV, dan V yang dilaporkan ke pimpinan instansi masing-masing dengan evaluasi oleh pengawas internal.
Ada juga Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi maupun Inpres Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015. Kemudian ada pula beberapa peraturan, keputusan, dan surat edaran KPK.
Surat edaran lainnya yakni yang dikeluarkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB). Di antaranya Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang LHKPN, Surat Edaran Nomor SE/16/M.PAN/10/2006 tentang Tindak Lanjut Penyampaian LHKPN, Surat Edaran Nomor: SE/01/M.PAN/01/2008 tentang Peningkatan Ketaatan LHKPN untuk Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan, Surat Edaran Nomor: 05 Tahun 2012 tentang Kewajiban Penyampaian dan Sanksi atas Ketidakpatuhan terhadap Kewajiban LHKPN di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, maupun Surat Edaran Menpan-RB Nomor: Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian LHKASN di Lingkungan Instansi Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Kategori penyelenggara negara termaktub pada Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 dan penjelasannya. Rinciannya, pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pejabat lain tersebut meliputi delapan kategori. Satu, direksi, komisaris dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. Dua, pimpinan Bank Indonesia. Tiga, pimpinan perguruan tinggi negeri. Empat, pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Lima, jaksa. Enam, penyidik. Tujuh, panitera pengadilan. Delapan, pemimpin dan bendaharawan proyek.
ADVERTISEMENT
Bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN, maka berlaku ketentuan Pasal 20 dalam UU yang sama, yaitu diberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Surat Edaran Menpan Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 ada delapan kategori jabatan yang diwajibkan juga untuk melaporkan LHKPN ke KPK. Satu, pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara. Dua, semua kepala kantor di lingkungan Departemen Keuangan (Kementerian Keuangan). Tiga, pemeriksa Bea dan Cukai. Empat, pemeriksa pajak. Lima, auditor. Enam, pejabat yang mengeluarkan perijinan. Tujuh, pejabat/kepala unit pelayanan masyarakat. Delapan, pejabat pembuat regulasi.
Dasar diterbitkannya SE Menpan Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 di antaranya ada dua. Masing-masing kesepakatan bersama (MoU) Kemenpandengan KPK tentang Peningkatan Koordinasi Pencegahan Korupsi Melalui Penerapan Sistem Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur tanggal 25 Mei 2004 dan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Ilustrasi pemeriksaan harta kekayaan. Foto: YouTube/KPK RI.
Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN pada Kedeputian Bidang Pencegahan KPK Isnaini menyatakan, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan harta kekayaannya atau LHKPN sebelum dan setelah penyelenggara negara tersebut menjabat. Hal ini, tutur dia, berdasarkan amanah Pasal 5 UU Nomor 28 Tahun 1999. Masih berdasarkan UU ini, pelaporan LHKPN disampaikan ke KPK. Pelaporan ke KPK juga sesuai dengan UU KPK sekaligus KPK berwenang melakukan pemeriksaan.
ADVERTISEMENT
Selain UU Nomor 28 Tahun 1999, Isnaini mengungkapkan, ada juga beberapa peraturan dan surat edaran yang mengatur kewajiban pelaporan harta kekayaan ke KPK bagi pejabat eselon II serta kewajiban bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk melaporkan LHKASN. Menurut dia, setiap kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah memang harus memiliki peraturan internal yang mengatur kewajiban pelaporan LHKPN dan sanksi yang tegas bagi yang tidak melaporkan.
Isnaini mencontohkan, beberapa kementerian dan lembaga yang telah memiliki peraturan internal yakni Bank Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Narkotika Nasional (BNN), Mabes Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, KPK, Komisi Yudisial, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dia menjelaskan, untuk pelaporan LHKPN terbagi dalam dua bentuk formulir. Masing-masing Form A untuk yang pertama kali menjabat dan Form B untuk pejabat yang memperbaharui laporannya. Dia menegaskan, sebenarnya pelaporan harta kekayaan berlaku bagi pejabat baik sebelum, saat maupun setelah pejabat tersebut menjabat. Pelaporan ini ujar dia, sangat penting sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pejabat publik.
ADVERTISEMENT
"Pelaporan harta kekayaan, LHKPN, tujuan utamanya sesuai undang-undang adalah untuk mendapatkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN. Selain itu ada tujuan lain. Pada saat awal menjabat sebagai instrumen transparansi. LHKPN juga bisa digunakan kementerian/lembaga sebagai instrumen manajemen SDM, artinya LHKPN bisa dijadikan sebagai proses promosi misalnya," ujar Isnaini dalam diskusi yang berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Jumat, 2 Agustus 2019.
Diskusi ini diselenggarakan KPK bertajuk 'Pantang Absen LHKPN'.
Isnaini melanjutkan, pelaporan LHKPN juga bisa digunakan untuk instrumen lain. Saat penyelenggara negara menjabat, LHKPN sebagai instrumen pengawasan. Misalnya berapa penambahan hartanya setelah satu tahun menjabat apakah sesuai dengan profiling penghasilannya. Terakhir, pelaporan LHKPN pada akhir menjabat sebagai instrumen akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
"Pada akhir menjabat bisa dibandingkan berapa harta kekayaan sebelum menjabat, saat menjabat, dan setelah menjabat atau pensiun. Apakah terjadi penambahan jumlah yang siginifikan atau tidak. Apakah sesuai dengan profiling penghasilan jabatannya atau tidak. Jadi bisa menjadi instrumen akuntabilitas bagi penyelenggara negara," tegasnya.
Mantan kepala Bagian Verifikasi, Akuntansi, dan Pengaturan Keuangan KPK ini membeberkan, di banyak negara pelaporan kekayaan pejabat publik sudah menjadi fokus utama. Apalagi pejabat publik digaji atau menerima gaji dari negara yang bersumber dari uang rakyat. Karenanya kepatuhan pelaporan harta kekayaan di Indonesia harus menjadi perhatian bersama seluruh badan publik termasuk kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
Isnaini membeberkan, sejak tahun 2016 hingga saat ini telah terjadi metode pelaporan LHKPN ke KPK dari pelaporan manual ke elektronik. Untuk perubahan metode ini KPK telah menerbitkan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Selain metode penyampaian, terjadi juga perubahan waktu penyampaian yakni pertama kali menjabat, berakhir masa jabatannya atau pensiun, pengangkatan kembali sebagai penyelenggara negara setelah berakhirnya masa jabatan sebelumnya, dan periodik setahun sekali saat penyelenggara negara menjabat.
ADVERTISEMENT
Dalam Peraturan KPK itu juga, tutur Isnaini, mengatur cara pelaporan khusus dan pelaporan periodik. Pelaporan khusus berlaku untuk yang baru diangkat sebagai penyelenggara negara atau pensiun atau belum pernah melapor atau baru diangkat sebagai wajib LHKPN dan setelah pensiun. Pelaporan periodik berlaku bagi yang masih menjabat dengan laporan setiap satu tahun sekali, posisi harta kekayaan per 31 Desember tahun sebelumnya, dan batas akhir pelaporan 31 Maret tahun berjalan.
"Dengan pelaporan harta kekayaan juga bisa membuka partisipasi masyarakat jika ada informasi harta kekayaan yang belum dilaporkan dan di mana posisinya," katanya.
Dia menambahkan, beberapa kementerian dan lembaga atau instansi pun telah mempersyaratkan pelaporan LHKPN ke KPK bagi para calon yang akan mengikuti seleksi dan/atau menduduki jabatan. Bahkan bagi calon kepala daerah, aturan penyampaian LHKPN sebelum maju pilkada juga diberlakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Contoh lainnya yakni di Komisi Yudisial (KY). KY mensyaratkan pelaporan LHKPN bagi calon hakim agung saat akan mengikuti seleksi.
ADVERTISEMENT
"Banyak institusi yang mempersyaratkan pelaporan LHKPN sebelum mereka (calon pejabat) bertarung memperebutkan jabatan-jabatan tersebut," tandas Isnaini.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, pelaporan LHKPN dan kepatuhan pelaporan juga menjadi salah satu indikator atas integritas penyelenggara negara atau pejabat publik. Dia membeberkan, KPK sangat mendorong keikutsertaan dan partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan dan melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara maupun ASN jika masih ada kekayaan yang berbeda maupun yang tidak dilaporkan sebelumnya.
"Kepatuhan terhadap pelaporan LHKPN juga salah satu indikator integritas," ujar Alexander dalam beberapa kesempatan yang dirangkum penulis.
Mantan hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membeberkan, hal lain yang juga berhubungan erat dengan LHKPN yaitu Surat Pemberitahuan Tahun (SPT) Pajak. Alexander menjelaskan, pengisian data dalam LHKPN dan SPT harus seimbang. Pasalnya jika harta yang dicantumkan dalam LHKPN lebih banyak dari pada yang ada di SPT, maka berarti pajak yang dibayarkan kurang.
ADVERTISEMENT
Alexander menggariskan, karenanya beberapa tahun terakhir KPK mendorong pengintegrasian LHKPN dengan SPT. Tujuannya agar memudahkan KPK dan Direktorat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan melihat, memverifikasi, dan melacak harta yang ada atau tidak ada di LHKPN dan/atau SPT.
Untuk pengintegrasian, KPK telah berkoordinasi dan membahas dengan Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2019. Aturan teknis pengintegrasian pun telah dibahas pada tahun yang sama. Alexander membeberkan, tidak mungkin pelaporan LHKPN dihapus dan tersisa hanad laporan SPT bagi penyelenggara negara.
"Kalau hanya di SPT, kemudian LHKPN dihapuskan, sementara SPT itu kan sangat-sangat rahasia, tidak bisa setiap orang bisa membuka di situ. Sehingga kita (KPK) tidak bisa klarifikasi atau mengkonfirmasi kebenaran dari hal tersebut. Mengintegrasikan LHKPN dengan SPT sehingga data harta yang di SPT itu mengambil dari laporan LHKPN, itu yang kita harapkan," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Alexander menjelaskan, dalam hal pelaporan LHKPN, maka KPK mendapatkan surat kuasa dari pejabat penyelenggara yang melaporkan untuk membuka rekening bank milik penyelenggara negara guna kepentingan pemeriksaan dan verifikasi. Selain itu juga ada laporan dari masyarakat misalnya jika ada rekening yang belum dilaporkan penyelenggara negara, maka KPK juga bisa menindaklanjuti ke bank untuk membuka rekening tersebut.Keikutssertaa dan partisipasi masyarakat juga diharapkan saat adanya integrasi LHKPN dan SPT.
"Supaya masyarakat juga terlibat dan mengawasi makanya lebih baik LHKPN (ada) lampiran SPT para penyelenggara negara. Itu mungkin lebih fair," ucapnya.
Program Gagal di Internal?
Dalam berbagai kesempatan, pimpinan KPK, Deputi Bidang Pencegahan, Kepala Biro Humas, dan Juru Bicara selalu menyampaikan bahwa pelaporan harta kekayaan bagi penyelenggara negara maupun ASN sebagai bagian dari tindakan pencegahan korupsi. Beberapa kali KPK turut merilis tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN yang disampaikan para pejabat kementerian, lembaga, instansi, pemerintah daerah, dan BUMN/BUMD. Saat rilis tingkat kepatuhan LHKPN, KPK pun mengingatkan bagi pimpinan kementerian, lembaga, instansi, pemerintah daerah, dan BUMN/BUMD agar serius menjatuhkan sanksi bagi yang tidak patuh melaporkan LHKPN.
ADVERTISEMENT
KPK juga menyelenggarakan berbagai kegiatan sosialisasi maupun hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan kementerian, lembaga, instansi, pemerintah daerah, maupun BUMN/BUMD untuk memenuhi kewajiban pelaporan LHKPN, tata cara, metode, waktu pelaporan, hingga sanksi yang harus dijatuhkan bagi yang tidak melaporkan LHKPN.
Selain itu, LHKPN masuk dalam bagian program tematik Tim Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) pada Unit Kerja Koordinasi Wilayah (Korwil). Sejak tahun 2018 hingga kini memiliki sembilan Korwil. Setiap kali tim Satgas Korsupgah turun ke pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga selalu dilakukan sosialisasi tentang LHKPN.
Isnaini mengungkapkan, sebagai produk KPK maka LHKPN berguna bagi pencegahan korupsi di Indonesia. Dalam pencegahan korupsi, ujar dia, LHKPN memiliki 3 fungsi. Satu, fungsi pencegahan pada diri pribadi penyelenggara negara untuk takut melakukan dugaan korupsi. Pasalnya dengan korupsi, maka akan terjadi lonjakan harta dan akan terlihat di LHKPN. Dua, fungsi detektif yaitu sebagai alat untuk mendeteksi apakah dalam LHKPN terdapat hal-hal yang perlu didalami lebih lanjut atau tidak.
ADVERTISEMENT
Tiga, fungsi penunjang bagi penindakan korupsi. Isnaini menjelaskan, jika ada penyelenggara negara terkena kasus di KPK, maka LHKPN menjadi salah satu sumber bagi Bidang Penindakan KPK untuk melakukan penelusuran aset. Penelusuran tersebut dimaksudkan untuk kebutuhan penyitaan dalam konteks pemulihan kerugian keuangan negara.
Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK Isnaini. Foto: Sabir Laluhu.
Isnaini membeberkan, LHKPN juga bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan berapa besar harta kekayaan seorang penyelenggara negara baik sebelum, saat, maupun selesai menjabat. Dengan LHKPN, masyarakat dapat melihat tingkat kejujuran para pejabat negara.
"Dari sini diharap akan timbul rasa malu jika hartanya bertambah secara tidak wajar yang dicurigai dari hasil korupsi," ungkap Isnaini sebagaimana dilansir laman KPK pada Rabu, 15 April 2020.
Pernyataan Isnaini ini sebelumnya juga termuat dalam Bincang Kanal pada Kanal TV KPK dengan tema 'Untuk Apa Pejabat Publik Jujur dan Transparan'. Videonya dipublikasikan KPK pada 21 November 2019 melalui akun YouTube 'Kanal KPK'. Lihat tautan https://youtu.be/Nsq7eotuvcs.
ADVERTISEMENT
Isnaini melanjutkan, KPK akan menyurati pimpinan instansi penyelenggara negara jika ada penyelenggara negara yang tidak patuh menyampaikan LHKPN ke KPK. Di dalam surat termuat nama penyelenggara negara yang belum menyampaikan LHKPN dan permintaan pemberian sanksi sebagaimana yang diatur internal instansi. Langkah ini pernah juga dilakukan KPK sebelumnya.
"Kadang kala ada balasan dari instansi, bahwa sudah dilakukan peneguran dan meminta penyelenggara negara tersebut menyampaikan LHKPN-nya ke KPK," katanya.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode Muhamad Syarif menyatakan, capaian kerja dan kinerja KPK termasuk dalam bidang pencegahan korupsi memang harus diapresiasi. Di sisi lain, Syarif mengatakan, ada beberapa hal yang harus menjadi otokritik bagi internal KPK. Satu di antaranya, tutur dia, pelaporan LHKPN secara periodik oleh para insan KPK. Seingat Syarif, sekitar tahun 2018 tidak semua pegawai KPK melaporkan LHKPN. Harusnya KPK yang memberikan contoh baik, bukan malah sebaliknya.
ADVERTISEMENT
"Jadi bisa diambil contoh. Kita kan menghimbau para penyelenggara negara patuh melaporkan LHKPN, tapi ada satu masa di KPK itu laporan LHKPN orang di dalam KPK sendiri nggak 100 persen. Itu nggak boleh! Itu kejadian sekitar tahun lalu (2018). Sekarang (tahun 2019), alhamdulillah sekarang lapor semua. Jadi bagaimana kita 'memaksa' orang kalau kita sendiri nggak melaporkan. Kita harus memberikan contoh," tegas Syarif saat berbincang dengan penulis pada Kamis siang, 11 April 2019.
Pejabat Terpilih Tidak Patuh
Kepatuhan dan ketidakpatuhan pelaporan LHKPN kembali mencuat saat KPK menggelar seleksi untuk pengisian empat jabatan struktural KPK yakni Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data (Inda), Direktur Penyelidikan, dan Kepala Biro Hukum, sebelum pelantikan empat calon terpilih, hingga setelah pelantikan. Satu sosok yang paling disorot dan memantik reaksi adalah Wakil Kepala Polda (Wakapolda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Brigadir Jenderal Polisi Karyoto yang kemudian terpilih dan dilantik menjadi Deputi Bidang Penindakan.
ADVERTISEMENT
Posisi defenitif Deputi Bidang Penindakan sebelumnya kosong karena Inspektur Jenderal Firli Bahuri ditarik pulang oleh Mabes Polri. Pada Juni 2019 pimpinan KPK pun menunjuk Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Polisi RZ Panca Putra Simanjuntak sebagai pelaksana tugas Deputi Bidang Penindakan.
Karyoto bersama tiga calon terpilih lainnya dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri di lantai 3 Gedung Penunjang pada Gedung Merah Putih KPK pada Selasa, 14 April 2020. Tiga orang tersebut yakni satu, Komisaris Besar Polisi Pol Endar Priantoro menjadi Direktur Penyelidikan KPK. Terakhir Endar menjabat sebagai Kasubdit 4 Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri.
Dua, Mochamad Hadiyana menjadi Deputi Bidang Informasi dan Data KPK. Jabatan terakhir Hadiyana adalah Direktur Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tiga, Ahmad Burhanudin menempati jabatan Kepala Biro Hukum KPK. Burhanudin merupakan jaksa fungsional di Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung yang telah bertugas sebagai Jaksa Penuntut Umum pada KPK sejak 11 September 2011.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Karyoto. Berdasarkan data yang ada pada laman https://elhkpn.kpk.go.id, Karyoto terakhir melaporkan LHKPN pada 18 Desember 2013 dengan total harta kekayaan Rp 5,453 miliar. Dalam dokumen itu tercatat posisi jabatan Karyoto sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda DIY.
Dengan melihat waktu terakhir pelaporan LHKPN itu, maka boleh dibilang Karyoto absen melakukan pembaharuan LHKPN selama lebih enam tahun. Musababnya data terbaru LHKPN Karyoto hingga April 2020 belum termuat di laman https://elhkpn.kpk.go.id. Padahal jika merujuk Pasal 5 UU Nomor 28 Tahun 1999, Karyoto sebagai penyelenggara negara atau Dirreskrimum Polda DIY juga wajib melaporkan setelah melepas jabatannya.
Diketahui, setelah menjadi Dirreskrimum Polda DIY, Karyoto menduduki beberapa jabatan selain Wakapolda DIY. Jabatan-jabatan itu yakni Analis Kebijakan Madya Bidang Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Pideksus) Bareskrim Mabes Polri, Direktur Analis Pemutus Jaringan Internasional BNN, Analis Kebijakan Utama Bidang Tindak Pidana Korupsi (Pidkor) Bareskrim Mabes Polri, dan Wakapolda Sulawesi Utara.
ADVERTISEMENT
Sejumlah media massa melansir berbagai pemberitaan yang berisi kritik atas ketidakpatuhan Karyoto melaporkan LHKPN setelah menjabat sebagai Dirreskrimum Polda DIY. Satu di antaranya, jawapos.com yang melansir berita berjudul 'Dua Calon Deputi Penindakan KPK Tercatat Tak Patuh Lapor LHKPN' dengan tautan https://www.jawapos.com/nasional/07/04/2020/dua-calon-deputi-penindakan-kpk-tercatat-tak-patuh-lapor-lhkpn/ pada Selasa malam, 7 April 2020.
Brigadir Jenderal Polisi Karyoto (paling kiri) bersama tiga pejabat baru saat pelantikan pada Selasa, 14 April 2020. Foto: Humas KPK.
KPK melalui pelaksana tugas Juru Bicara Bidang Penindakan Ali Fikri dan pelaksana tugas Juru Bicara Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kudingmerespon polemik tersebut. Yang cukup mengagetkan, entah kebetulan atau tidak, Karyoto melaporkan LHKPN ke KPK pada Rabu, 8 April atau sehari setelah berita jawapos.com tadi terbit.
Ali Fikri mengatakan, pada tahun 2013 Karyoto memang menyampaikan LHKPN-nya saat menjabat sebagai Dirreskrimum Polda DIY karena Karyoto sebagai penyidik. Setelah itu, yang bersangkutan tidak menduduki jabatan sebagai penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Sesuai UU itu, ungkap Ali, wajib lapor LHKPN adalah penyelenggara negara yang diwajibkan sesuai dengan kedudukan dan jabatannya.
ADVERTISEMENT
"Karena jabatannya bukan penyelenggara negara sebagaimana ketentuan UU, maka ada mekanisme yang diatur terpisah oleh kementerian/lembaga/instansi terkait," ujar Ali melalui pesan singkat kepada para jurnalis pada Selasa, 14 April 2020.
Jaksa penuntut umum yang menangani sejumlah perkara ini menjelaskan, sesuai Surat Edaran KPK No. 100 Tahun 2020 maka batas waktu pelaporan periodik tahun pelaporan 2019 adalah 30 April 2020 melalui e-LHKPN. Ali mengatakan, Karyoto telah menyampaikan LHKPN-nya pada Rabu, 8 April 2020 melalui e-LHKPN.
"Ada banyak indikator untuk dapat dinilai terkait sisi integritas seseorang, sehingga saya kira tidak perlu lagi berpolemik terkait LHKPN yang bersangkutan (Karyoto)," ucapnya.
Ipi Maryati Kuding mengirimkan rilis kepada para jurnalis pada Rabu sore, 15 April 2020. Keterangan tertulis ini diberi judul 'KPK Tetap Mengingatkan Batas Waktu Kewajiban Pelaporan LHKPN' dengan empat poin utama. Di antaranya tentang pelaporan LHKPN Karyoto yang telah menjabat sebagai Deputi Bidang Penindakan KPK.
ADVERTISEMENT
"Terkait dengan sejumlah pertanyaan tentang informasi pelaporan LHKPN Deputi Penindakan KPK, perlu kami sampaikan beberapa hal agar menjadi pemahaman bersama," kata Ipi.
Dia memaparkan, dasar hukum yang digunakan untuk pelaporan LHKPN adalah UU Nomor 28 Tahun 1999, Peraturan KPK No. 7 tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, dan aturan internal di masing-masing instansi. Ipi menguraikan ketentuan penyelenggara negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 dan penjelasannya.
Ipi membeberkan, dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2017 tentang Penyampaian LHKPN di Lingkungan Polri telah ditetapkan siapa saja yang merupakan wajib lapor. Selain itu, ada Keputusan Kapolri No. Kep/1059/X/2017 yang mengatur perluasan dan penyebutan jabatan yang lebih spesifik sebagai wajib lapor LHKPN di lingkungan Polri.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, pengaturan secara lebih detil seperti itu juga diterapkan di kementerian/lembaga lain. Ipi menggariskan, KPK sejak awal memang menyarankan agar setiap instansi membuat aturan internal agar implementasi pencegahan korupsi melalui pelaporan LHKPN dapat dilakukan secara maksimal.
"Terkait dengan pertanyaan sejumlah jurnalis apakah yang bersangkutan (Karyoto) saat menjabat Wakapolda termasuk wajib lapor atau tidak, maka mengacu pada daftar jabatan di Lampiran C Keputusan Kapolri No. Kep/1059/X/2017 posisi Wakapolda bukan termasuk wajib lapor LHKPN," tegas Ipi.
Dia melanjutkan, dicantumkan atau tidaknya jabatan Wakapolda sebagai wajib lapor terbuka kemungkinan akan dibahas lebih lanjut oleh KPK bersama Polri. Tujuannya, kata Ipi, untuk lebih memaksimalkan upaya pencegahan korupsi. Pada tahun 2013 Karyoto tercatat menyampaikan LHKPN-nya saat menjabat sebagai Dirreskrimum Polda DIY dalam kapasitas sebagai penyidik. Pasalnya, salah satu jabatan yang diwajibkan melaporkan hartanya sesuai UU Nomor 28/1999 dan Keputusan Kapolri No. Kep/1059/X/2017 adalah penyidik.
ADVERTISEMENT
"Dalam rangkaian proses rekrutmen dan seleksi jabatan struktural di KPK, Karyoto telah menyampaikan LHKPN-nya pada tanggal 8 April 2020. Status pelaporannya adalah perlu perbaikan, mengingat ada beberapa dokumen yang harus dilengkapi terkait SK, istri, dan anak dalam tanggungannya. Setelah diangkat menjadi pegawai KPK pada jabatan Deputi Bidang Penindakan, maka pelaporan LHKPN tersebut akan diproses lebih lanjut sesuai aturan yang berlaku," ungkapnya.
Ipi membeberkan, sekali lagi KPK memandang bahwa kepatuhan LHKPN sebagai instrumen penting dalam pencegahan korupsi. Karenanya, KPK terus mendorong instansi agar menerbitkan aturan internal untuk mendorong kepatuhan LHKPN pegawai di lingkungan instansi masing-masing, termasuk melakukan perluasan wajib lapor untuk jabatan-jabatan yang dinilai strategis. Bagi KPK, komitmen dan keseriusan dari pimpinan tertinggi instansi untuk mendorong kepatuhan LHKPN sangat penting.
ADVERTISEMENT
"Sebab, LHKPN merupakan bukti tanggung jawab serta komitmen seorang penyelenggara negara kepada publik untuk berlaku jujur, transparan, dan akuntabel," ucapnya.
Baik Ali Fikri maupun Ipi Maryati Kuding tidak memberikan tanggapan dan klarifikasi apapun hingga Sabtu, 18 April 2020 saat dikonfirmasi sejumlah pertanyaan yang diajukan para jurnalis termasuk penulis. Di antaranya apakah Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2017 dan Keputusan Kapolri No. Kep/1059/X/2017 berlaku surut dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 di mana penyelenggara negara termasuk penyidik wajib melaporkan LHKPN sebelum dan setelah menjabat sebagai penyelenggara negara? Kenapa Karyoto sebagai Dirreskrimum Polda DIY/penyidik tidak melaporkan LHKPN pada tahun 2015 usai menjabat?
Berikutnya, kenapa kewajiban setelah menjabat tidak dipatuhi Karyoto? Kenapa KPK masih meloloskan Brigjen Karyoto yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan LHKPN setelah menjabat Dirreskrimum Polda DIY? Kenapa pertimbangan kepatuhan kewajiban pelaporan setelah menjabat sebagaimana dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tidak ditegakkan KPK?
ADVERTISEMENT
Kejadian lolos dan terpilih menjadi pejabat KPK yang tidak patuh melaksanakan kewajiban pelaporan LHKPN setelah menjabat bukan kali ini saja. Ada beberapa contoh yang bisa disodorkan.
Pertama, Firli Bahuri saat maju menjadi calon Deputi Bidang Penindakan KPK. Saat proses seleksi hingga terpilih dan dilantik pada April 2018, tercatat Firli terakhir melaporkan LHKPN ke KPK pada 31 Maret 2002. Nilai kekayaannya sejumlah Rp 162.900.175. Pelaporan LHKPN tercantum dalam kapasitas jabatan Firli sebagai Wakapolres Lampung Tengah. Data ini berdasarkan penelusuran di laman https://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpn. Firli maju sebagai calon Deputi Bidang Penindakan saat masih menjabat sebagai Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi.
Setelah menjabat sebagai Wakapolres Lampung Tengah, ada beberapa jabatan atau tugas lain yang diemban Firli selain Kapolda NTB. Di antaranya Wakapolres Metro Jakarta Pusat, Kepala Satuan III Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Penyidik Utama Tingkat III Direktorat Keamanan dan Transnasional Bareskrim Mabes Polri, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jawa Tengah (2011-2012), kurun 2012 hingga 2014 sebagai ajudan Wakil Presiden 2009-2014 Boediono, Wakapolda Banten (2014-2015), Kepala Biro Pengendalian Operasi (Karodalops) Staf Operasi (Sops) Mabes Polri (2015-2016), dan Wakapolda Jawa Tengah (2016-2017).
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah pelantikan menjadi Deputi Bidang Penindakan KPK pada Jumat, 6 April 2018, Firli dan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo menanggapi ihwal pelaporan LHKPN milik Firli.
Firli yang saat itu belum menyematkan kata 'Bahuri' di akhir namanya, menyatakan, dia telah dihubungi oleh salah satu staf KPK bernama Hani sebelum pelantikan. Kepada Hani, Firli mengatakan, telah mengirimkan salinan laporan LHKPN secara digital. Tapi Hani mengungkapkan, dokumen tersebut tidak bisa dibuka.
"Jadi terpaksa diulang. Padahal saya sudah lapor 2017 lalu. Kemarin ibu Hani bilang, sudah terima hardcopy-nya (LHKPN). Nah, itu saya senang. Artinya saya sudah masuk ke dalam aplikasi LHKPN. Per Februari 2017 saya sudah lapor ketika saya dilantik sebagai Kapolda NTB. Itu kewajiban kita kok. Saya sudah lapor setiap pindah jabatan," tegas Firli usai dilantik sebagai Deputi Bidang Penindakan KPK, di Gedung Penunjang pada Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Agus Rahardjo mengungkapkan, Firli dua kali menyampaikan LHKPN ke KPK berdasarkan data yang ada di KPK. Masing-masing tahun 2002 dan bulan November 2017. Laporan pada 2002 disampaikan Firli saat menjabat sebagai Wakapolres Lampung Tengah dan pada tahun 2017 saat menjadi Kapolda NTB. Menurut Agus, lamanya rentang waktu pelaporan LHKPN oleh Firli tidak perlu diperdebatkan.
"Saya pikir itu bukan sesuatu yang menciderai. Karena paling tidak beliau (Firli) melapor. Karena kalau kita urut kan juga banyak yang tidak melapor. Yang tidak melapor sama sekali juga ada," ujar Agus sesuai pelantikan di lokasi yang sama.
Mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini membeberkan, layak tidaknya Firli menjabat sebagai Deputi Bidang Penindakan bukan diukur dari penyampaian LHKPN. Yang pasti tutur Agus, saat proses seleksi berlangsung KPK telah melakukan pemeriksaan dan verifikasi rekam jejak Firli. Menurut dia, patut tidaknya Firli sebagai Deputi Bidang Penindakan tinggal diuji selama menjabat.
ADVERTISEMENT
"Uji saja toh. Jadi tinggal diuji saja. Kerja di KPK sangat berbeda dibandingkan kerja di instansi lain. Check and balances di sini selalu terjadi dan mudah-mudahan itu bisa mengontrol tingkah laku dan meningkatkan kinerja beliau (Firli)," kata Agus.
Kedua, RZ Panca Putra Simanjuntak. Panca maju sebagai calon Direktur Penyidikan KPK, terpilih, dan resmi dilantik oleh Agus Rahardjo pada Kamis, 20 September 2018. Pelantikan berlangsung di lantai 3 Gedung Penunjang pada Gedung Merah Putih KPK.Saat maju sebagai calon, Panca berpangkat Komisaris Besar Polisi sekaligus masih Wakil Direktur Tindak Pidana Umum (Wadirkrimum) Bareskrim Mabes Polri.
RZ Panca Putra Simanjuntak (paling kiri) usai pelantikan pada Kamis, 20 September 2018. Foto: Humas KPK.
Saat proses seleksi calon Direktur Penyidikan KPK berlangsung hingga sesaat setelah pelantikan, para jurnalis melacak nama Panca di laman https://acch.kpk.go.id/aplikasi-lhkpndan https://elhkpn.kpk.go.id.Tapi nama Panca tidak nongol.
ADVERTISEMENT
Panca pernah menduduki beberapa jabatan sebelum bertugas sebagai WadirkrimumBareskrim Mabes Polri. Masing-masing Kapolres Banyumas, Kapolres Tegal, Wadirreskrimsus Polda Jawa Tengah, Dirreskrimsus Polda Kalimantan Tengah (2012-2013), dan Dosen Utama Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Lemdikpol.
Jika jabatan Panca sebagai Dirreskrimsus Polda Kalimantan Tengah (2012-2013) dibandingkan dengan jabatan Karyoto sebagai Dirreskrimum Polda DIY (2013-2015), maka kategori jabatan Panca itu adalah penyelenggara negara. Nah kenapa nama Panca tidak tercatat melaporkan LHKPN hingga 20 September 2018?
Agus Rahardjo angkat bicara saat disinggung ihwal Panca tidak melaporkan LHKPN dengan ukuran tidak adanya dokumen LHKPN atas nama Panca di situs KPK.
Agus mengatakan, dia tidak mengetahui secara spesifik aturan internal di Polri terkait dengan penyampaian LHKPN ke KPK. Menurut dia, ada beberapa jabatan sebagaimana yang ada di undang-undang maupun aturan yang dikeluarkan Menpan-RB. Agus mengungkapkan, untuk ASN juga tidak semua ASN diwajibkan melaporkan LHKPN. Di antara ASN yang diwajibkan melaporkan LHKPN yakni Eselon 1 seperti yang menempati jabatan direktur jenderal di sebuah kementerian.
ADVERTISEMENT
"Itu kan jabatan yang diwajibkan ada. Tidak setiap orang aparatur sipil negara harus melaporkan LHKPN. Kalau belum pernah jadi direktur dan dia bukan pimpro, atau pejabat pembuat komitmen ya tidak harus. Saya nggak tahu kalau aturan di kepolisian," ujar Agus sesaat usaimelantik Panca.
Dia mengklaim, selama proses seleksi dilakukan penelusuran dan verifikasi rekam jejak terhadap setiap calon termasuk Panca. Kepemilikan harta kekayaan merupakan bagian dari backgroundcheck tersebut. Agus mengatakan, sebagai Direktur Penyidikan KPK maka status Panca adalah penyelenggara negara. Karenanya Panca harus segera melaporkan LHKPN.
Bagaimana dengan LHKPN tiga pejabat baru KPK selain Karyoto yakni Endar Priantoro, Mochamad Hadiyana, dan Ahmad Burhanudin?
Berdasarkan laman e-LHKPN, Endar tercatat terakhir menyampaikan LHKPN ke KPK pada 3 Juli 2019 dalam kapasitas sebagai Kepala Subdirektorat II Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri. Hadiyana melaporkan pada 28 Maret 2019 selaku Direktur Standardisasi Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika. Burhanudin menyodorkan LHKPN paling gress yaitu pada 14 Januari 2020.
ADVERTISEMENT
Jika argumentasi ketidakwajiban Karyoto melaporkan LHKPN dalam kapasitas jabatan sebagai Wakapolda Sulawesi Utara (2018) dan Wakapolda DIY (2019) disandarkan pada keputusan Kapolri Nomor: KEP/1059/X/2017 dan Peraturan Kapolri Nomor: 8 Tahun 2017, maka ada baiknya dibandingkan dengan dua surat edaran Menpan-RB. Masing-masing Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang LHKPN dan Surat Edaran Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian LHKASN.
Dua surat edaran itu ditujukan kepada para menteri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para kepala lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), para pimpinan kesekretariatan lembaga negara, para pimpinan kesekretariatan lembaga non struktural, para Gubernur, dan para bupati/walikota.
Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 mencatumkan kewajiban penyampaian LHKPN ke KPK di antaranya yakni pejabat eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan/atau lembaga negara. Pada Surat Edaran Nomor: 1 Tahun 2015 mengamanahkan agar pimpinan instansi pemerintah untuk menerapkan kebijakan di antaranya menetapkan wajib lapor kepada seluruh pegawai ASN selain pada butir 1 secara bertahap yang dimulai dari pejabat setingkat eselon III, IV dan V untuk menyampaikan LHKASN kepada pimpinan instansi masing-masing. Surat Edaran Nomor: 1 Tahun 2015 tidak menghapuskan dan malah merujuk serta menguatkan ketentuan Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi danTata Kerja Polri, pada Pasal 54 ayat (4b), tertulis Wakapolda tipe A/A khusus merupakan jabataneselon II.a. Dengan demikian, jabatan Karyoto sebagai Wakapolda Sulawesi Utara dan Wakapolda DIY masuk kategori eselon II.a. Merujuk Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005, maka Karyoto wajib menyampaikan LHKPN ke KPK.
Baik Ali Fikri maupun Ipi Maryati Kuding tidak memberikan tanggapan dan klarifikasi kenapa Karyoto sebagai Wakapolda Sulawesi Utara dan Wakapolda DIY yang masuk kategori eselon II.a tidak melaporkan LHKPN sebagaimana Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 jika diperbandingkan dengan Peraturan dan Keputusan Kapolri di atas?
Dengan menggunakan argumentasi KPK melalui Ali Fikri dan Ipi Maryati Kuding, yaitu jabatan Karyoto sebagai Dirreskrimum Polda DIY (2013-2015) merupakan penyidik, maka jabatan Firli sebagai Penyidik Utama Tingkat III Direktorat Keamanan dan Transnasional Bareskrim Mabes Polri dan Dirreskrimsus Polda Jawa Tengah harusnya melaporkan LHKPN sebelum dan sesudah menjabat. Dengan melihat Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 dan jabatan Wakapolda Banten, maka semestinya Firli pun wajib melaporkan LHKPN sebelum dan setelah menjabat.
ADVERTISEMENT
Untuk RZ Panca Putra Simanjuntak, dengan jabatannya sebagai Kapolres Banyumas, Kapolres Tegal, maupun Dirreskrimsus Polda Kalimantan Tengah, maka seharusnya yang bersangkutan juga wajib melaporkan LHKPN sebelum dan setelah menjabat. Apalagi sebagai perbandingan, Firli melaporkan LHKPN saat menjabat sebagai Kapolres Lampung Tengah.
Selain itu penulis ingin menghadirkan Inpres Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015. Inpres ditangani Presiden Joko Widodo pada 6 Mei 2015. Satu di antara sekian banyak aksi yang diperintahkan Presiden, yaitu penguatan pelaksanaan kode etik dan kode perilaku aparatur penyelenggara pemerintah dan/atau pelayanan publik dan penyampaian LHKPN. Untuk kepentingan ini, ada dua lembaga penegak hukum yang diwajibkan untuk melaksanakan. Salah satunya adalah Polri.
ADVERTISEMENT
"Pelaksanaan kewajiban pelaporan harta kekayaan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999 (Keputusan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor: Kep/408/VII/2011 dan Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/1540/VII/2011)," bunyi salinan lampiran halaman 11.
Sumber Berita Bagi Jurnalis
Keberadaan LHKPN di laman Anti-CorruptionClearing House (ACCH) KPK dan laman e-LHKPN KPK menjadi inspirasi bagi para jurnalis. Maksudnya dengan data LHKPN digunakan sebagai bahan dan sumber pemberitaan oleh para jurnalis dan redaksi media massa, baik untuk penindakan maupun pencegahan korupsi. Kemudahan akses dan laman yang dibuat terbuka untuk publik turut memudahkan para jurnalis.
Sepengetahuan penulis, data LHKPN mulai digunakan sebagai bahan dan sumber berita oleh para jurnalis dan media massa sejak tahun 2010. Masifitasdan amplifikasipenggunaannya berlangsung pada kurun 2011 hingga saat ini. Penggunaan data LHKPN bukan hanya berlaku di kalangan para jurnalis yang meliput di KPK atau Pengadilan Tipikor Jakarta, tapi juga para jurnalis yang ngepos di tempat lain.
Ilustrasi e-LHKPN. Foto: YouTube/KPK RI.
Untuk penindakan, para jurnalis selalu menelusuri LHKPN dalam beberapa kesempatan. Di antaranya, sesaat setelah penetapan tersangka termasuk yang berstatus penyelenggara negara yang bukan dimulai dari operasi tangkap tangan (OTT), sesaat setelah OTT dan sebelum penetapan tersangkanya, dan saat penetapan tersangka hasil pengembangan kasus atau perkara sebelumnya. Hasil pengembangan ini baik yang kasusnya dimulai dari OTT atau bukan dimulai dari OTT. Dari hasil penelusuran itu, maka jamak sekali publik dapat membaca berita di berbagai media massa terkait LHKPN orang-orang yang menjadi 'pasien' KPK lebih khusus kategori penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Jika di antara pihak yang ditangkap atau ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK adalah pengusaha atau swasta, tapi memiliki suami atau istri atau keluarga seorang penyelenggara negara, maka para jurnalis akan menelusuri LHKPN suami atau istri atau keluarganya. LHKPN inilah kemudian diberitakan sebagai pembanding.
Satu yang bisa dijadikan contoh adalah terpidana sekaligus terdakwa dan tersangka Komisaris Utama PT. Bali PasificPragama (BPP) Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan.Wawan merupakan suami dari Walikota Tangerang Selatan, Banten periode 2011-2016 dan periode 2016-2021 Airin Rachmi Diany.
Saat kasus dugaan suap pengurusan putusan Pilkada Lebak 2013 di Mahkamah Konstitusi, kasus dugaan korupsi alat kesehatan masih di tahap penyidikan, dan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tersangka Wawan masih di tahap penyidikan, para jurnalis menelusuri data LHKPN Airin di laman ACCH KPK. Data kemudian diunduh, dituangkan menjadi tulisan (berita), dan kemudian ditayangkan berbagai media massa. Dari data LHKPN Airin, ada aset milik Wawan yang tertera, yang di antaranya kemudian masuk dalam dakwaan TPPU Wawan.
ADVERTISEMENT
Dari hasil penelusuran di laman ACCH maupun e-LHKPN, sering kali juga para jurnalis menemukan bahwa seorang penyelenggara negara yang menjadi tersangka ternyata jarang dan tidak patuh melaporkan atau tidak memperbaharui LHKPN. Kadang juga dari hasil penelusuran, jurnalis tidak menemukan nama penyelenggara tersebut dan data LHKPN-nya.
Yang harus diingat, aspek pemberitaan LHKPN dalam bidang penindakan bukan semata bicara tentang delik suap-menyuap dan korupsi pengadaan dengan kerugian negara atau TPPU. Delik lain juga menjadi fokus bagi para jurnalis dan media massa. Di antaranya penerimaan gratifikasi, pemerasan dalam jabatan, penyelenggara negara yang ikut menjadi pemborong, hingga percobaan atau pembantuan melakukan korupsi.
Dari sisi pencegahan korupsi, penelusuran LHKPN milik penyelenggara negara yang kemudian diberitakan mencakup beberapa isu. Di antaranya saat ada seorang calon penyelenggara negara sedang mengikuti seleksi jabatan atau baru diangkat atau baru dilantik, saat ada penyelenggara negara diusulkan mendapatkan atau telah mendapatkan promosi ke jabatan lain, hingga saat seorang penyelenggara telah selesai menjabat atau pensiun.
ADVERTISEMENT
Berikutnya calon kepala daerah petahana, caleg petahana, dan capres petahana maju bertarung di gelanggang pilkada, pileg, dan pilpres. Ada juga calon baru jika hartanya telah dilaporkan ke KPK dan tercantum di laman KPK.Isu lainnya adalah tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN kementerian, lembaga, instansi, pemerintah daerah, hingga BUMN/BUMD serta para pejabat di dalamnya. Kemudian, ihwal penerapan sanksi tegas bagi penyelenggara negara maupun ASN yang tidak patuh melaporkan kekayaannya.
Satu contoh terkait dengan LHKPN hingga kaitannya dengan kasus korupsi pernah diterbitkan HarianKompas edisi Rabu, 6 Februari 2019 di halaman 4. Berita berjudul 'LHKPN, Kekayaan, dan Korupsi' ditulis oleh jurnalis HarianKompas Riana Afifah Ibrahim. Dan, yang menjadi nilai lebih, berita ini mengantarkan Riana meraih penghargaan Juara 1 kategori jurnalis profesional dalam 'Anugerah Jurnalis Lawan Korupsi' tahun 2019 yang diselenggarakan KPK.
ADVERTISEMENT
Berita utuh yang ditulis Riana dapat dibaca secara daring melalui tautan https://kompas.id/baca/utama/2019/02/06/lhkpn-kekayaan-dan-korupsi/. Secara umum, berita ini menuangkan mendesaknya pembuatan aturan mengenai penambahan harta kekayaanyang tidak wajar oleh penyelenggara negara, dengan adanya aturan itu maka aparat penegak hukum termasukKPK memiliki ruang untuk mengoptimalkan perampasanaset milik koruptor, harta kekayaan beberapa kepala daerah, hingga penerapan UU TPPU.
Data LHKPN dan pelaporannya pun dijadikan bahan oleh para jurnalis dan media massa untuk dikomparasikan dan dikonfirmasi ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Apalagi PPATK selalu melakukan penelusuran dan analisis atas transaksi mencurigakan baik diminta oleh penegak hukum termasuk KPK maupun atas inisiatif PPATK sendiri. Langkah konfirmasi ke PPATK dilakukan para jurnalis dan media massa guna memperkaya dan memberikan informasi terbaru kepada publik.
ADVERTISEMENT
Adalah mutlak bagi setiap pejabat publik melaporkan harta kekayaannya. Setiap pejabat publik harus mempertanggungjawabkan banda yang diperoleh beserta asal-usulnya. Jujur dan terbuka saja. Menyembunyikan atau menyamarkan harta atau mengaburkan riwayat aset akan membawa pada nestapa. Bisa menjadi pasien penegak hukum hingga beralih narapidana.
Sebagai ujung tombak informasi kepada masyarakat, para jurnalis dan media massa bertanggung jawab mengawasi para pejabat publik, pelaksanaan pelayanan publik, dan penyelenggaraan negara. Para pejabat publik tidak perlu risau disorot jutaan mata. Kritik yang ada sikapi dengan jernih. Kalau bersih, kenapa harus risih.
KPK memang berhak dan berwenang menerima dan melakukan pemeriksaan harta kekayaan para penyelenggara negara. Sosialisasi dan penyelenggaraan kegiatan pencegahan korupsi dengan jalur LHKPN di luar tidak boleh menyisakan aib di dalam lembaga. Seharusnya KPK dan para insan di dalamnya bertindak dengan contoh nyata. Patuhi kewajiban pelaporan dan tegakkan peraturan perundang-undangan yang ada. Bukan malah meloloskan orang tertentu untuk memegang jabatan dengan menyisakan noda. Jangan jadikan transparansi, akuntabilitas, dan integritas isapan jempol belaka.[]
ADVERTISEMENT