Konflik Tanah Ulayat, Menggali Kearifan Lokal di Pulau Rempang

Heru Wahyudi
Dosen di Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Pamulang Serang
Konten dari Pengguna
18 September 2023 20:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: HASIHOLAN SIAHAAN/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: HASIHOLAN SIAHAAN/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pulau Rempang yang terletak di Kepulauan Riau, Indonesia, kini jadi saksi dari konflik tanah ulayat yang rumit dan memengaruhi kehidupan masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Konflik ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat adat, yang bersaing untuk mempertahankan hak-hak mereka atas tanah yang dianggap sebagai warisan nenek moyang masyarakat adat di Pulau Rempang.
Konflik tanah ulayat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Indonesia, adalah hasil dari berbagai faktor yang telah ada selama beberapa tahun. Salah satu pemicu utama konflik ini adalah pemberian Hak Pengusahaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta pada tahun 2004 untuk pembangunan Rempang Eco City.
Hingga kemudian, keputusan tersebut memicu pertentangan antara masyarakat adat Pulau Rempang dan Otorita Batam, yang menginginkan penggunaan tanah yang berbeda.
Meskipun pada tahun 2010, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang seharusnya memberikan pengakuan hukum menjadi lebih kuat kepada masyarakat adat atas tanah ulayat mereka.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, implementasi UUPA di Pulau Rempang masih menghadapi sejumlah tantangan serius. Banyak masyarakat adat di pulau ini berjuang keras untuk membuktikan kepemilikan tanahnya.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang pesat di daerah ini telah menarik minat perusahaan-perusahaan besar untuk berinvestasi, yang seringkali berdampak negatif terhadap masyarakat adat dan lingkungan.
Konflik tanah ulayat di Pulau Rempang memperlihatkan pertentangan yang membingungkan antara kepentingan ekonomi yang kuat dan perlindungan hak-hak fundamental masyarakat adat serta pelestarian lingkungan alam yang semakin rentan.

Kearifan Lokal dalam Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat

Ilustrasi Pulau Rempang. Foto: pradeep_kmpk14/Shutterstock
Penyelesaian konflik di tanah ulayat di Pulau Rempang, tentunya penting dan jadi perhatian yang serius terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Tuntutan yang diajukan oleh masyarakat adat kepada pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal dapat menjadi pondasi solusi yang berkelanjutan dan adil.
ADVERTISEMENT
Pendekatan sosial budaya memainkan peran kunci untuk menyelesaikan konflik tersebut. Pertama-tama, masyarakat adat memiliki pengetahuan asli, atau yang sering disebut sebagai indigenous knowledge, serta kecerdasan lokal yang dapat menjadi sumber solusi dalam penyelesaian konflik tanah ulayat.
Kedua, pendekatan sosial budaya memiliki kapasitas untuk membangun pemahaman dan kerja sama yang kuat antara masyarakat adat, pemerintah, dan perusahaan, dengan tujuan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan bagi semua pihak.
Selanjutnya, penerapan kebijakan yang menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tentu saja jadi landasan penting dalam upaya penyelesaian konflik tanah ulayat.
Dengan menjaga hak-hak masyarakat adat, pemerintah dapat menciptakan landasan hukum yang kuat untuk menyelesaikan sengketa tanah ini dengan adil dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Terakhir, melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan, agar menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat adat ke depannya.
Ini menciptakan mekanisme partisipatif yang dapat memastikan bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil tidak hanya menguntungkan aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan kepentingan jangka panjang masyarakat adat dan menjaga kelestarian lingkungan.

Upaya Pemerintah dalam Menyelesaikan Konflik Tanah Ulayat di Pulau Rempang

Ilustrasi Wilayah Kampung Adat di Pulau Rempang (Foto : pexels.com/ad-thiry)
Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tugas yang mendesak untuk menyelesaikan konflik tanah ulayat yang tengah berlangsung di Pulau Rempang. Konflik ini melibatkan masyarakat adat serta pihak-pihak lain yang bersaing dalam klaim kepemilikan tanah di wilayah tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini, beberapa upaya strategis dapat dilakukan oleh Pemerintah:
ADVERTISEMENT
Pertama, pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat menjadi prioritas utama. Pemerintah harus tegas mengakui hak-hak masyarakat adat terhadap tanah ulayat melalui berbagai peraturan dan undang-undang yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Selain itu, langkah-langkah perlindungan juga telah diambil melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Tanah Ulayat.
Kedua, untuk merespons kompleksitas konflik tanah ulayat, Pemerintah telah membentuk tim penyelesaian konflik yang terdiri dari berbagai pihak, termasuk masyarakat adat, pemerintah daerah, dan aktor-aktor lain yang terlibat. Tim ini bertugas mencari solusi yang adil dan berkelanjutan guna mengakhiri konflik.
Ketiga, pendekatan dialog dan mediasi menjadi salah satu instrumen yang digunakan pemerintah untuk meredakan konflik. Pendekatan ini bertujuan mencapai kesepakatan antara masyarakat adat dan pihak-pihak terkait dalam konflik.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga memperkuat peran lembaga-lembaga independen, seperti salah satunya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dalam proses mediasi.
Keempat, pemerintah memanfaatkan teknologi pemetaan tanah yang canggih, termasuk sistem informasi geografis (SIG), untuk mengidentifikasi dan memetakan tanah ulayat di Pulau Rempang. Tujuannya untuk menghindari tumpang tindih klaim kepemilikan tanah yang sering menjadi sumber konflik, serta memastikan keadilan dalam penyelesaian masalah tanah.
Terakhir, sebagai bentuk tanggung jawab sosial, Pemerintah memberikan kompensasi kepada masyarakat adat yang telah menderita kerugian akibat konflik tanah ulayat. Kompensasi ini dapat berupa penggantian tanah atau bentuk kompensasi lain yang disepakati bersama.
Dengan berbagai upaya ini, diharapkan konflik tanah ulayat di Pulau Rempang dapat segera diselesaikan dengan cara yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah berkomitmen untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menciptakan keadilan dalam pengelolaan tanah ulayat, sehingga perdamaian dan keharmonisan dapat kembali diperoleh di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT

Menggali Kearifan Lokal dalam Menyelesaikan Konflik Tanah Ulayat di Pulau Rempang

Sejumlah ladang milik warga berada di dalam kawasan hutan Sembulang di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023). Foto: ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
Dalam penyelesaian konflik kepemilikan tanah ulayat di Pulau Rempang, kiranya penting untuk mendasarkan pendekatan pada pemahaman tentang kearifan lokal.
Pendekatan ini haruslah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, pemerintah, dan perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut, guna memastikan pembangunan yang berkelanjutan.
Menggali kearifan lokal berarti kita menghormati hak-hak masyarakat adat dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah, serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Dengan demikian, konflik tanah ulayat di Pulau Rempang dapat diatasi dengan cara memberikan manfaat bersama bagi semua pihak yang terlibat.
Lebih dari sekadar menyelesaikan masalah lokal, pentingnya menggali kearifan lokal dalam menangani konflik tanah ulayat di Pulau Rempang tentunya menjadi contoh inspiratif bagi daerah-daerah lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa.
ADVERTISEMENT