Menolak Real Count Internal BPN

Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta
Konten dari Pengguna
18 Mei 2019 10:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roziqin Matlap tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Iklim perpolitikan Indonesia semakin panas setelah kubu Badan Pemenangan Nasional Prabowo (BPN Prabowo) mengklaim kemenangan 54,24%. Hasil tersebut berbeda dengan hasil rekapitulasi KPU yang saat ini tulisan ini ditulis menunjukkan kemenangan pihak Jokowi sebesar 56% dengan prosentase suara masuk telah mencapai lebih dari 80%. Sebelumnya, pada malam setelah pencoblosan (17/04), Prabowo mengklaim pihaknya memenangkan pemilu dengan prosentase 62%. Semua klaim menurut BPN didasarkan pada real count C1. Legalkah real count internal demikian?
ADVERTISEMENT
Legalitas Real Count Internal
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengamanatkan penghitungan suara dilakukan oleh KPU dan jajarannya, bukan kepada pihak lain, termasuk masyarakat. Partisipasi masyarakat berdasar Pasal 448 UU Nomor 7 Tahun 2017 hanya sebatas sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau ajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu (Quick Count atau QC). Dengan demikian, tidak boleh masyarakat melakukan real count, kecuali untuk kepentingan internal sebagai data pembanding saat rekapitulasi suara di KPU, dan bukan sebagai dasar mengklaim kemenangan. Hal ini karena memang tidak mungkin masyarakat melakukan real count secara menyeluruh, mengingat kompleksitas pekerjaan real count, mulai dari biaya, tenaga, waktu yang sangat besar.
ADVERTISEMENT
Sebatas QC
Dalam urusan hitung suara, masyarakat hanya dibatasi dalam bentuk hitung cepat (QC). Untuk membuat QC saja, sejumlah lembaga survei harus memenuhi syarat ketat. Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, mengharuskan penyelenggara QC terdaftar di KPU dan telah bergabung dalam asosiasi lembaga survei atau jajak pendapat.
Penyelenggara QC selanjutnya harus menyampaikan laporan hasil kegiatannya kepada KPU, paling lambat lima belas hari setelah pengumuman ke publik, meliputi: metodologi sampling, sumber dana, jumlah responden, tanggal dan tempat pelaksanaan QC. Pelaporan demikian menjadi sarana transparansi yang mutlak dipenuhi penyelenggara QC. Ini yang kemudian gagal dipenuhi oleh penyelenggara QC, yang kemudian jadi temuan Bawaslu dan memutuskan KPU bersalah terkait pendaftaran dan pelaporan hasil QC yang tidak transparan ke KPU.
ADVERTISEMENT
Dengan persyaratan yang ketat, maka tidak sembarang pihak boleh melakukan QC dan mengumumkannya ke publik. Harus ada keterbukaan data di sana. Untuk sekedar pelaksanaan QC yang bersifat sample saja, keterbukaan data begitu berat syaratnya. Dengan kondisi demikian, maka real count dari masyarakat lebih-lebih harus memenuhi syarat keterbukaan data dalam hal metodologi, sumber dana, jumlah responden, tanggal dan tempat pelaksanaan real count.
Alangkah baiknya bila pelaksanan real count internal BPN juga dilakukan secara terbuka sebagaimana yang dilakukan KPU saat rekapitulasi suara, yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat TPS hingga tingkat nasional. Rekapitulasi suara KPU dilakukan secara terbuka dengan dihadiri pihak KPU, Bawaslu, dan saksi. UU. Pelaksanaan real count internal yang dilakukan secara tertutup, tanpa hak dan tanpa prosedur yang benar, harus ditolak sejak awal karena tentu akan membingungkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Terlebih, di tengah gencarnya penyampaian data kemenangan Prabowo, metode pengumpulan data real count BPN ternyata bermasalah. Setelah sebelumnya merahasiakan tempat pelaksanaan real count C1, kemudian BPN menyampaikan bahwa pengumpulan C1 dilakukan melalui sms dari relawan. Klaim kemenangan Prabowo saat ini sebesar 54,24 persen suara yang baru berdasarkan formulir C1 dari 444.976 TPS (54,91% dari 810.329 TPS), tentu semakin kontradiksi. Hal ini karena sebelumnya Prabowo mengklaim angka kemenangan 62% dari C1 yang berasal 300 ribu TPS yang berhasil dikumpulkan BPN, tidak akan bergeser terlalu jauh.
Publik tidak mendapat informasi yang utuh, bagaimana metodologi pengumpulan C1 oleh BPN. Bila pengambilan data tidak memperhatikan persebaran data dengan baik, justru akan berakibat salah dalam mengambil kesimpulan. Jika berniat melakukan real count, maka pengambilan data harus seluruhnya secara populasi, artinya C1 semua TPS se-Indonesia harus dikumpulkan, bukan dipilih-pilih. Jika tidak semua, namanya bukan bukan real count, dan bukan pula QC, karena QC pun harus memenuhi syarat pengambilan sample yang ketat agar mencerminkan populasi data keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Ini tentu berbeda dengan yang dilakukan oleh masyarakat seperti KawalPemilu. Mereka melakukan rekapitulasi C1 secara terbuka dengan melibatkan masyarakat, sehingga meski datanya belum secara keseluruhan seperti KPU, namun persebaran datanya lebih sesuai dengan aslinya. Hal ini mengingat seluruh masyarakat dari berbagai daerah bisa berpartisipasi dalam pengumpulan data, termasuk pendukung 01 maupun 02.
Bukan Hasil Resmi
Perlu diingat bahwa real count internal, sebagaimana hasil QC, bukan hasil resmi Pemilu, sehingga tidak selayaknya para calon melakukan klaim kemenangan terlebih dahulu sebelum ada pengumuman KPU. Sebaliknya, real count internal maupun penyelenggara QC juga harus menyatakan bahwa data mereka bukan hasil resmi. Bila tidak menyatakan hal tersebut, maka mereka terancam sanksi pidana berdasarkan UU Pemilu. Bawaslu maupun KPU seharusnya melarang deklarasi kemenangan dari para calon maupun timnya, yang hanya mendasarkan real count internal maupun hasil QC. Deklarasi demikian merupakan bentuk afirmasi bahwa real count dan QC seolah sebagai hasil resmi, padahal bukan.
ADVERTISEMENT
Potensi Konflik
Deklarasi kemenangan secara sepihak, bahkan diikuti pemasangan spanduk kemenangan di berbagai daerah tanpa menunggu Keputusan KPU, menyebabkan potensi konflik sosial di masyarakat menjadi tinggi. Terlebih adanya upaya sistematis untuk mendelegitimasi hasil pemilu dan ajakan people power bila calon yang diusung kalah. Narasi demikian merupakan langkah mundur dalam penegakan negara hukum.
Pasca reformasi, MPR, yang saat itu dipimpin oleh Prof. Amin Rais, telah menegaskan dalam UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum. Dalam urusan Pemilu, hukum telah menyediakan sarana untuk menguji Keputusan KPU terkait hasil pemilu, yaitu melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak alasan untuk mencurigai MK yang sudah dipilih oleh tiga lembaga sekaligus (Presiden, DPR, dan MA). Terlebih persidangan MK terbuka dan dipantau oleh media massa, baik dari dalam maupun luar negeri. MK pun hasil reformasi yang diimpikan bersama sebagai bagian perwujudan negara hukum.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, ada elit BPN yang sudah antipati dengan proses di MK dan dianggap buang waktu. Padahal, justru di MK lah mereka bisa mengungkap kecurangan dengan sejelas-jelasnya. Namun BPN perlu belajar dari sengketa hasil pemilu di MK tahun 2004, 2009, dan 2014 di mana semua pemohon sengketa dari pihak kalah, selalu mendalilkan hal yang sama bahwa KPU tidak benar, pemilu curang dan pihak yang menang menggelembungkan suara. Sayang, mereka selalu gagal membuktikan dalilnya, karena semuanya hanya sebatas asumsi. Pemohon sengketa tidak berhasil membuktikan kecurangan dan hubungannya dengan hasil pemilu yang seharusnya didapat oleh pemohon. Terlebih saat ini selisih suara Jokowi dan Prabowo diperkirakan sekitar 15 juta suara. Artinya, pihak Prabowo harus bekerja keras membuktikan adanya kecurangan yang merugikan pihaknya sejumlah angka itu.
ADVERTISEMENT
Epilog
Pemilu adalah tolak ukur utama dalam menentukan sejauh mana kehidupan demokasi di suatu negara. Pemilu sepatutnya diikuti peserta yang memiliki sifat negawaran, yang rela berkorban demi bangsa dan negara, dan tidak mementingkan diri dan kelompoknya. Terlebih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pihak yang terus menerus mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu dengan mendasarkan hasil real count internal yang tidak sah, menunjukkan tidak adanya sikap negarawan peserta pemilu.
Sudah saatnya, elit mencerdaskan masyarakat, bukan menyodori mereka dengan data yang belum teruji kredibilitasnya. Mari bersama, lakukan pendidikan poltik dengan baik. Sudah selayaknya pemilu sebagai pesta demokrasi dijalani dengan suka ria hingga akhir tahapannya!
Roziqin Matlap, Alumni Lemhannas Inter University Network (LIUN), dan Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)
ADVERTISEMENT
Tulisan adalah pendapat pribadi, tidak mewakili tempat saya bekerja.