Peran Masyarakat dalam Upaya Pencegahan Destructive Fishing di Manokwari

Roy Salinding
Pengawas Perikanan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Penikmat Alam, Penulis
Konten dari Pengguna
7 Juli 2021 13:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roy Salinding tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelaku pengeboman ikan di Wasior yang dilumpuhkan oleh Polisi
zoom-in-whitePerbesar
Pelaku pengeboman ikan di Wasior yang dilumpuhkan oleh Polisi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemberantasan kegiatan Destructive Fishing (Penangkapan Ikan dengan cara merusak sumber daya ikan dan lingkungan) memiliki tantangan tersendiri dalam menjaga keberlanjutan sumber daya ikan dan lingkungannya. Selain karena umumnya dilakukan oleh nelayan kecil, juga kemampuan dari petugas untuk memperoleh informasi mengenai lokasi dan pelaku masih sangat terbatas. Pengalaman yang saya dapatkan, antara pelaku dan masyarakat disekitarnya memiliki hubungan kekerabatan, sehingga pelaku merasa terlindungi, bahkan dari beberapa kejadian di Manokwari, keluarga pelaku justru menuntut kepada petugas bila salah satu keluarganya ditangkap karena melakukan pengeboman ikan.
ADVERTISEMENT
Beberapa aturan tentang larangan penangkapan dengan cara yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya yaitu :
1. Pasal 35 dan Pasal 73 UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau –pulau kecil dengan sanksi pidana bagi pelaku yaitu pasal 73 UU 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 (Dua ) tahun dan paling lama 10 (Sepuluh ) tahun dan pidana denda paling 2.000.000.000 ( Dua Milyar rupiah ) dan paling banyak 10.000.000.000 (Sepuluh Milyar Rupiah ).
2. Pasal 84 UU No.31 tahun 2004 Tentang perikanan sebagaimana diubah dengan UU No.45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, dengan sanksi pidana paling lama 6 tahun dan denda paling banyak 2 milyar Rupiah.
ADVERTISEMENT
Permasalah pengawasan Destructitive Fishing adalah bagaimana memutus rantai peredaran bahan peledak. Khusus di Manokwari peredaran bahan peledak diduga didatangkan dari Biak Numfor sebagaimana kita ketahui bahwa di pulau Biak sangat mudah menemukan bahan peledak dari sisa Perang dunia ke-2. Dan juga perilaku menangkap ikan dengan bahan peledak sudah dianggap sebagai hal biasa bagi sebagian masyarakat di Manokwari. Permasalahan yang kedua yakni memutus jaringan perdagangan ikan dari hasil Destructive Fishing. Ada beberapa kejadian yang kami pantau bahwa ternyata pelaku penangkap ikan dengan Bom sudah membentuk jaringan dengan peran masing – masing sebagai pengebom ikan, pengangkutan (distributor) dan bagian pemasaran kepada konsumen. Demikian pula dengan masyarakatnya, meskipun sudah mengetahui bahwa ikan tersebut adalah ikan yang ditangkap dengan bom, namun tetap dibeli.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Satuan polisi perairan Polres Manokwari bahwa dalam rentang waktu 2018 – 2020 terdapat 2 (Dua) kasus tindak pidana penangkapan ikan dengan bahan peledak yang berhasil diproses sampai pada tahap persidangan di Pengadilan Negeri Manokwari. Lebih lanjut disampaikan oleh kepala Satuan Polisi perairan Manokwari bahwa bukan berarti hanya dua kejadian penangkapan ikan dengan bom karena terkadang laporan tidak sampai ke Polisi. Hal yang sama juga dijumpai oleh pengawas perikanan satuan pengawasan SDKP Manokwari, informasi adanya penangkapan ikan dengan bahan peledak dari masyarakat sangat terbatas, terkadang disampaikan 2 minggu setelah kejadian. Tentu saja ini tidak dapat diproses karena kurangnya bukti-bukti pendukung. Dari hasil penyelidikan oleh penegak hukum, baik dari Satpolair maupun PPNS perikanan, menemukan suatu fakta bahwa bahan peledak yang digunakan adalah jenis bahan peledak yang sama dengan bahan peledak yang juga umum ditemukan di Biak. Hal ini memperkuat bahwa antara Manokwari dan Biak, terdapat jaringan peredaran bahan peledak.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat saya, bila pengawasan destructive fihsing hanya dibebankan kepada pengawas Perikanan/PPNS Perikanan, Polisi perairan atau TNI AL, maka mustahil kegiatan destructive fishing dapat diatasi. Perlu keterlibatan dari semua pihak khususnya mayarakat karena masyarakatlah yang hidup berdampingan dengan pelaku. Seyogianya semua masyarakat memahami bahwa perilaku penangkapan ikan dengan bahan peledak merupakan ancaman bagi semua. Bukan hanya ancaman terhadap keberlangsungan ekosistem perairan, namun juga terhadap pelaku pengeboman ikan. Oleh karena itu kampanye penyadar tahuan perlu digalakkan baik kepada orang dewasa dan juga anak-anak. Selain itu perlunya ketegasan dari konsumen (masyarakat pada umumnya) untuk tidak membeli ikan yang memiliki tanda-tanda ditangkap dengan bom. Dengan demikian, pelaku penangkapan ikan dengan bom dengan sendirinya akan beralih cara penangkapan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
Terhadap permasalahan diatas, bahwa penangkapan ikan dengan bahan peledak (destructive fishing) merupakan cara penangkapan ikan yang tidak saja berbahaya bagi kelangsungan sumber daya ikan dan lingkungan, namun juga kepada pelakunya, maka seharusnya semua pihak saling bahu membahu. Masyarakatlah yang menjadi ujung tobak peberantasan kegiatan destructive fishing. Bentuk kepedulian masyarakat atas tindakan penangkapan ikan dengan bom adalah dibentuknya pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas) atas inistiatif dari masyarakat itu sendiri. Keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengawasan mandiri telah diatur dalam Pasal 67 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi “masyarakat dapat diikut sertakan untuk membantu pengawasan perikanan”.
Pemerintahan melalui Bupati/Walikota atau Dinas perikanan perlu menerbitkan SK Kepengurusan terhadap pokmaswas sebagai bentuk legalitas dalam pelaksanaan kegiatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini, pembentukan pokmaswas adalah inisiatif dari pemerintah, maka sebagai bentuk tanggung jawab bersama, seharusnya pola pikir tersebut diubah yakni masyarakatlah yang berinisiatif membentuk kelompok pengawas. Yang kedua adalah, pengenaan sanksi hukum dari putusan pengadilan terhadap pelaku pengeboman ikan cenderung lebih rendah dari batas maksimal denda. Hal tersebut disebabkan oleh persepsi hakim yang berorientasi pada pelaku yang notabene nelayan kecil tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan yang membuthkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk memulihkannya. Dalam hal ini, dibutuhkan ahli lingkungan yang dapat menjelaskan secara rinci kerugian bagi lingkungan dan bagi manusia. Yang ketiga adalah perlunya digalakkan kampanye yang melibatkan semua pihak, tidak dibatasi hanya pada event-event tertentu yang terkesan hanya ceremonil belaka. Kampanye yang efektif adalah melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, mantan pelaku yang sudah sadar untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dampak dari penangkapan ikan dengan bom. Yang keempat adalah perlunya dibentuk laboratorium forensik di manokwari, agar dugaan-dugaan penggunaan bom dapat ditindaklanjuti ke laboratorium, karena proses hukum membutuhkan pembuktian dari hasil laboratorium yang sudah tersertifikasi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pengawasan dan pemberatasan tindakan destructive fishing dapat terjadi apabila:
a). Semua aparat penegak hukum bersinergi dan berbagai informasi. Khususnya dalam memutus rantai peredaran bahan peledak dan memutus jaringan perdagangam ikan hasil bom.
b). Masyarakat sudah memahami bahwa tindakan penangkapan ikan dengan bom dapat berbahaya bagi lingkungan dan juga keselamatan pelaku.
c). Masyarakat secara umum perlu diberikan sosialisasi ciri-ciri ikan yang ditangkap dengan bom dan sepakat untuk tidak membeli ikan yang memiliki ciri-ciri ditangkap dengan bom