Mukidi Gagal Jadi Bupati (Cerpen)

Ronny P Sasmita
Warga Negara Biasa Penikmat Kopi Warkop yang Nyambi Jadi Pengamat Ekonomi, Penikmat Sejarah dan Kajian-Kajian Strategis
Konten dari Pengguna
19 Desember 2021 13:15 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ronny P Sasmita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemilu
zoom-in-whitePerbesar
Pemilu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Semoga ayam saya menang di laga Pilkada kali ini, " kata Sutan Suriyan dalam doanya yang diucapkan pelan-pelan setelah menyeruput kopi di ruang tamu jelang siang
ADVERTISEMENT
"Hoiiii Sutan, jangan berjudi kau ya, ku hajar kau baru tau rasa," teriak emaknya, Uni Surinah dari ruang tengah, yang ikut mendengar doa si Sutan, anak semata wayangnya
"Mak, ini soal Pilkada mak bukan soal judi. Mak main samber aja kayak ojek pangkalan, " jawab Sutan, sedikit naik nada suaranya
"Lah. Itu tadi mak dengar kau bilang laga ayam segala"
"Ibarat aja, Mak"
"Ibarat macam mana pula maksud kau?"
"Ya itu kan yang berlaga di Pilkada itu ibarat ayam sabung lagi diadu, Mak"
"Kau pikir begitu rupanya?"
"Iya mak"
"Brarti judi itu. Haram! Biar kau tau!"
"Hufftt. Tapi kan aku tak rugi, Mak"
"Ya aku taunya kau tak rugi. Tapi sementang kau tak pasang taruhan, tapi kau sedang bertaruh nasib daerah kau lima tahun mendatang"
ADVERTISEMENT
"Sok tau Mak ah. Bukankah mak juga ikut memilih?"
"Ya ndak lah. Macam mana pula aku mau memilih. Mak kau ini tak pernah diminta memilih oleh siapapun"
"Aku kan sudah bilang berkali-kali sama Mak untuk memilih si Mukidi, anak rantau yang dosen di Bandung itu"
"Kenapa pula Mak harus memilih permintaan kau itu. Si Mukidi tak pernah datang langsung untuk meminta dipilih. Setiap ia datang menemuimu, ia hanya bilang pilih yang terbaik. Memangnya kau ini calonnyo? Kenapa pula kau yang meminta?"
"Ah sudahlah, cape aku ngomong sama Mak. Segala demokrasi dibilang judi dan haram. Pemikiran macam apa itu, Mak," kata Sutan dengan nada lumayan tinggi, mukanya pun ikut memerah
ADVERTISEMENT
"Terserah kau lah. Dikasih tau kau ini malah marah," balas Uni Surinah
Sutan tak ambil pusing dengan komentar Maknya. Ia ngacir ke warung kopi Tuanku Tan Limo mencari suasana minum kopi yang lebih kondusif untuk pembicaraan politik. Siapa tau pula dapat info quickcount soal ayam jantanya yang sedang berlaga, pasangan calon Mukidi-Murtadi, pasangan nomor dua dari dua pasangan calon di Kabupaten Sungai Kering.
Tak terlalu ramai memang warung kopi jelang siang itu. Ada Tuanku Marjonan si Raja Rimba dan Pak Cik Penyengat nan selalu bersemangat sedang menikmati kopinya.
"Assalamualaikum," ucap Sutan selangkah sebelum menginjakan kali di warung Tuanku Tan Limo.
"Waalaikumsalam," balas kedua lelaki baya tersebut, tak terlalu serentak dengan Tuanku Tan Limo yang juga mengucapkan hal yang sama
ADVERTISEMENT
"Nampaknya lagi ceria kedua seniorku ini, " kata Sutan kepada Tuanku Marjonan dan Pakcik Penyengat.
"Tentu lah ceria. Ayam kita, si Mukidi, dari informasi sementara, sedang melaju di depan," balas Pak Cik Penyengat
"Melaju di depan macam mana maksudnya Pak Cik, " tanya Sutan, semakin penasaran
"Angka sementara, si Mukidi kita itu, sudah 56 persen, dibanding si Tuanku Kurik, yang masih 44 persen," balas Pak Cik Penyengat menjelaskan
Mendengar itu, wajah Sutan mendadak cerah, tatapan matanya berbinar-binar. Sudah lama diimpikannya Bupati yang betul-betul memiliki pemikiran jelas dan tegas, berempati tinggi, serta betul-betul bersih. Mukidi kelahiran kampung mereka, kampung Kering Terik, tapi besar di desa sebelah, Desa Kering Merinting. Sejak sekolah, Mukidi sudah memperlihatkan taring otaknya kepada orang banyak di kampung, maklum anak guru Sekolah Dasar. Selalu juara kelas, pernah beberapa kali juara umum saat di Sekolah Menengah Pertama, dan rajin membantu anak-anak kampung yang belum bersekolah untuk belajar baca tulis.
ADVERTISEMENT
Sutan bukan tanpa alasan kecantol dengan kepemimpinan Mukidi sejak dua tahun lalu. Mukidi adalah kawan sekolah Sutan di SMP Kering Mendesau di dekat kantor kecamatan. Dan Sutan dulu bersama dengan Mukidi meluncurkan program baca tulis prasekolah, beberapa tahun sebelum kebijakan PAUD ada. Mereka berdua sama-sama dari keluarga yang sederhana, bahkan Sutan hanya hidup bersama Emaknya yang janda sejak Sutan berumur tiga tahun.
Hanya saja Mukidi lebih beruntung. Mukidi lulus ujian nasional masuk perguruan tinggi di Yogyakarta, sementara Sutan tidak. Setidaknya gaji bapaknya yang sekelumit itu masih bisa membiayai hidup sederhananya di kampus Yogya. Sutan tentu ingin juga kuliah, walaupun perguruan tinggi Swasta saja di Ibukota Provinsi. Tapi apa daya, Sutan harus memilih menopang kehidupanya dan emaknya di kampung, dengan mengurus sebidang tanah peninggalan ayahnya untuk ditanami jagung, sembari bekerja apa saja yang bisa menghasilkan uang halal untuk dibawa pulang.
ADVERTISEMENT
Walaupun setelah Mukidi merantau dan jarang pulang, satu hal yang pasti bahwa Sutan paham betul, Mukidi adalah pribadi yang baik, jujur, dan penuh tanggung jawab. Dulu, setiap Mukidi pulang kampung, ia selalu singgah di rumah sederhana Sutan untuk berbagi cerita. Mukidi sering bercerita tentang kebidupan aktifis di kampusnya di Yogya, tentang demokrasi, hak asasi manusia, keadilan, pembangunan berkemanusiaan, atau pemerintahan yang bersih.
Sejak itu pula, hanya di antara mereka berdua, Mukidi sudah mengkritik kepemimpinan bupati di daerahnya yang hanya berjalan bak keong tua, tak maju-maju, dan tak peduli dengan kepentingan orang banyak di daerah mereka. Cerita yang sama selalu berulang setiap Mukidi pulang, bahkan sampai Mukidi lulus sarjana strata dua di Jakarta dan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung
ADVERTISEMENT
Dengan latar itu pula, dua tahun lalu, saat Mukidi kembali ke rumah Sutan, mengatakan bahwa ia berniat untuk maju pada pemilihan kepala daerah di Kabupatennya. Menurut Mukidi kala itu, karena Mukidi memang hanya bermodalkan niat baik dan isi kepala, ia akan mengajak Murtadi, aktifis petani di daerahnya, yang dekat dengan beberapa petinggi partai di Provinsi dan beberapa tokoh pergerakan petani di Jakarta. Keduanya memang terlihat begitu cocok. Sutan pun mendukung sepenuh hati dan berjanji akan menjadi relawan ikhlas untuk menggaungkan nama keduanya di warung-warung kopi.
Tapi apa daya, proyeksi Mukidi meleset. Murtadi ternyata tak dianggap oleh partai-partai. Tak ada tanda-tanda lampu hijau dari partai-partai tingkat kabupaten untuk mereka, walaupun keduanya telah berbuih-buih mempresentasikan isi kepala mereka ke setiap partai. Lalu setahun setengah sebelum pemilihan, Mukidi datang lagi ke rumah Sutan untuk berdiskusi, atau tepatnya berkonsultasi.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi politik yang semakin sempit dan sulit, di mana petahana Tuanku Kurik bahkan berhasil bermesraan dengan semua partai cabang di daerah mereka, Mukidi dan Sutan termenung putus asa. Sampai akhirnya muncul keberanian untuk mengeluarkan ide maju secara independen dari mulut Mukidi. Dengan mimik wajah yang sebenarnya penasaran bercampur semangat, Mukidi mengulangi lagi ide itu, sampai akhirnya Sutan pun terbawa bergairah.
Setelah berbicara dari hati ke hati dengan Murtadi, akhirnya kesepakatan pun didapat. Mereka akan maju secara independen. Kartu tanda penduduk akan dikumpulkan sekira beberapa puluh ribu secara gratis, di mana komandan relawannya dipegang oleh Sutan Suriyan. Tapi dengan syarat kartu tanda penduduk diberikan secara sukarela, tak ada uang, tak ada paket makanan, pakaian, dan sejenisnya. Murni sukarela.
ADVERTISEMENT
Dari warung ke warung Sutan berhasil membuahkan gelas kopinya menjadi fotokopi-fotokopi kartu tanda penduduk secara sukarela. Pun untuk Murtadi, para petani yang menjadi mayoritas profesi di daerah mereka, menyerahkan fotokopi tanda penduduknya kepada para aktifis petani binaan Murtadi. Sehinga tak sampai enam bulan, Mukidi-Murtadi telah memenuhi syarat minimal untuk maju secara independen.
Mereka tak memiliki tim sukses layaknya petahana, yang didukung semua partai di daerahnya. Hanya sel-sel petani dan relawan independen kawan-kawan Sutan dari warung-warung kopi dan para aktifis petani dari jaringan Murtadi. Mukidi dan Murtadi tentu tetap harus merogoh koceknta yang tipis itu, minimal untuk selebaran dan baju kaos, dan ribuan keresek bergambarkan wajah mereka berdua, untuk digunakan para penjual sayur dan ikan di pasar, sebagai kantong yang akan dibawa pembeli pulang. Hanya itu.
ADVERTISEMENT
Tak ada bantuan pupuk untuk petani. Tak ada kantong beras beserta rupa-rupa mie rebus instan. Tak ada kalender dan stiker untuk pintu rumah yang dibagikan, apalagi gelas kopi atau mainan kunci. Hanya bermodal niat baik, latar belakang pribadi yang baik, ilmu yang baik, dan pengalaman aktifisme yang baik-baik. Komentar sinis tentu banyak yang berdatangan, terutama dari elit-elit partai di daerah. Tak ada kemenangan hanya dengan niat baik tapi tanpa modal tebal, mustahil itu, kata salah satu petinggi partai mayoritas di daerah mereka.
Sebenarnya, pencapaian itu saja sudah jauh di luar bayangan Sutan selama ini. Bisa memenuhi jumlah kartu tanda penduduk yang dibutuhkan dan berhasil mendapatkan nomor urut sebagai calon bupati dan wakil bupati independen adalah pencapaian yang sangat luar biasa, walaupun melawan petahana yang dominan di segala lini, adalah dinding kemustahilan yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Tuanku Kurik adalah bos bisnis perkayuan di daerah, ketua partai nomor dua terbesar dalam raihan suara di pemilihan terakhir, kawan dekat gunernur dan kapolda, kawan dekat semua perantau kaya pula, dan bupati satu periode. Tak ada yang kurang. Tuanku Kurik adalah lawan yang sempurna. Tapi di tengah jalan, faktanya tak terlalu sama. Sebagian besar orang dan komunitas yang ditemui Sutan sepakat bahwa petahana jangan diberi kesempatan dua kali, jika daerahnya tak mau semakin rusak oleh elit-elit politik lama yang hanya mampu merumuskan anggaran untuk menyenangkan lingkaran mereka sendiri. Karena itu, Sutan semakin bersemangat untuk menemani kawan lamanya sampai titik penghabisan.
ADVERTISEMENT
Dan setelah menghabiskan segelas kopi di warung Tuanku Tan Limo, Sutan dan kedua lelaki baya tersebut bersepakat untuk sama-sama istirahat dulu di rumah masing-masing, sembari berharap tren perolehan suara tak berubah sampai akhir perhitungan. Hatinya kadung gembira mendengar kabar dari warung tadi. Sutan mencoba membagi beritanya dengan Mukidi via aplikasi chat, tapi hanya checklist satu. Sebenarnya Sutan mengetahui bahwa Mukidi tak mau ambil pusing dengan hasil Pilkada, makanya ia mematikan ponselnya dan memilih tidur di rumah orang tuanya. Melihat pesannya tak sampai, Sutan kemudian memutuskan tidur sampai sore.
Dan Sutan dibangunkan oleh Emaknya di saat azan magrib berkumandang. Di layar ponselnya terlihat tanda panggilan masuk yang gagal sebanyak enam kali. Ada nama Mukidi di sana. Sutan mengambil ponselnya dan menghubungi Mukidi.
ADVERTISEMENT
"Assalamualaikum," sapa Mukidi setelah panggilan Sutan diangkat
"Waalaikumsalam, Bos," balas Sutan
"Tadi dikontak-kontak tak ada jawaban"
"Iya, Bos, Maaf ketiduran. Ada apa, Bos? Ada yang penting?"
"Penting sih tak terlalu penting. Hanya ingin mengabarkan sesuatu"
"Kabar apa, Bos?"
"Kabar soal hasil pemilihan"
"Tadi waktu siang di warung, kita masih di depan, Bos," kata Sutan bersemangat
"Iya sampai siang tadi kita masih di depan. Tapi dari jam setengah lima sore tadi, kita sudah dipepet dan jelang magrib ini kita sudah di belakang dengan selisih 3 persen"
Sutan terdiam. Lidahnya serasa terbelenggu untuk menjawab. Begitu cepat perubahan angkanya. Padahal ia sangat yakin, Mukidi-Murtadi adalah calon tanpa cela, tanpa rekam jejak yang buruk, dan semua orang yang dia temui mendukung pandangan itu. Entah apa yang terjadi kini, pikirnya.
ADVERTISEMENT
"Hei Sutan. Kenapa diam. Sudahlah. Ini kompetisi, ada yang menang ada yang kalah. Mari kita terima saja, Ok! Ya sudah saya pamit dulu mau magrib," kata Mukidi
"Baik bos," balas Sutan
Entah apa yang ada dipikiran Sutan kini. Mungkin Emak benar, pikirnya. Pilkada hanya perjudian dan kali ini kami kalah. Entahlah, pikirnya. Sutan tanpa banyak bicara lagi langsung ke sumur untuk berwudhu, lalu shalat Magrib. Selepas itu ia membuat secangkir kopi dan bermenung di teras rumah. Sementara Emaknya, Uni Surinah, selesai Magrib langsung mengaji. Dengan latar suara pengajian itu, Sutan menikmati menungnya. Mukidi gagal jadi bupati. Biarlah, katanya.