Mengenang Wiji Thukul: Tetap Eksis dalam Perjuangan Kemanusiaan Indonesia

Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Universitas Andalas dan Peneliti Kajian Gender dan Feminisme
Konten dari Pengguna
28 Agustus 2023 7:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Buku Wiji Thukul. Foto: Jafrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buku Wiji Thukul. Foto: Jafrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sudah 60 tahun, semestinya usia Wiji Thukul atau nama asli Widji Widodo tahun ini. Namun, Thukul dan 12 orang lainnya menjadi daftar pencarian korban hilang sejak kerusuhan tahun 1998 dan tidak kunjung ditemukan.
ADVERTISEMENT
Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 dan dikenal sebagai seorang penyair dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Thukul lahir di keluarga sederhana dengan profesi bapaknya sebagai tukang becak dan ibunya kadang kala menjual ayam bumbu.
Kecintaan Thukul terhadap kata-kata telah lahir sejak ia duduk di bangku sekolah dasar (SD). Thukul sudah aktif menulis puisi, lalu diikuti dengan bermain teater di tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Pendidikan formal Thukul hanya sampai kelas 8 SMP. Thukul harus memutuskan sekolahnya karena masalah perekonomian.
Namun, Thukul mampu untuk lulus dalam pendidikan nyata sesungguhnya sehingga ia lulus dengan eksistensinya hingga sekarang. Eksistensi Thukul melalui karyanya menjadi sebuah simbol perjuangan terhadap penindasan petinggi yang semena-mena.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, pada awal kepenulisannya, Thukul menulis puisi bertema romantis dan religius pada tahun 1980-an. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya puisi nasional Indonesia yang bercorak spiritual religius, ketuhanan, dan mistisisme (Hadi, 2006).
Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
Lalu, setelahnya, konstruksi estetika sastra Indonesia dipengaruhi kondisi politik Orde baru yang represif terhadap kritik sehingga kritik dipahami sebagai sebuah ancaman yang harus dihilangkan. Secara dominasi, puisi Wiji Thukul berkaitan dengan permasalahan lingkungan sosial sebagai kritik sosial. Tema kemiskinan menjadi dominasi penciptaan karya yang mampu sebagai alat kritik.
Thukul menjadi sosok aktivis yang tidak hanya giat menyuarakan suara kaum-kaum “akar rumput”, Thukul pun aktif dalam berkesenian. Ia aktif dalam berbagai kepenulisan puisi, mendirikan komunitas kesenian, keliling membaca puisi (ngamen puisi) dan membuat workhop kesenian.
ADVERTISEMENT
Dalam kegiatannya itu, Thukul selalu menyajikannya dengan tujuan sebagai perlawanan penindasan dan kesewenangan penguasa (Hadi, 2006). Contoh puisi Thukul sebagai alat perjuangan adalah “Nyanyian Akar Rumput”, “Di Tanah Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air”, “Kepada Ibuku”, “Jalan”, 2Sajak Setumbu Nasi dan Sepiring Sayur”, “Tanah, Kampung”, dan “Jalan Slamet Riyadi Solo”.
Thukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Thukul menjadi seorang yang dikejar karena dengan terang-terangan mengkritisi situasi sosial, politik, dan rezim Orde Baru. Melalui karyanya, Thukul menjadi penggerak rakyat yang tertindas. Thukul menjadi korban penghilangan paksa setelah menjadi buronan intel pemerintah.
Perjuangan Thukul dalam pergerakan kemanusiaan ditandai pula dengan berbagai demonstrasi yang ia lakukan, seperti demonstrasi pencemaran lingkungan oleh pabarik tekstil di Sariwarna Asli di Solo.
ADVERTISEMENT
Jika melihat gambar atau ilustrasi sosok Thukul, berbagai gambar akan memperlihatkan Thukul dengan matanya yang ditutup sebelah, hal ini menunjukkan peristiwa cedera mata kanan yang diduga adalah perbuatan aparat yang membenturkannya ketika sedang berdemonstrasi.
Konfrensi pers Istirahatlah kata-kata di Surabaya Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Pada tanggal 27 Juli 1998, sejak didatangi oleh polisi di rumahnya, Thukul terpaksa meninggalkan istrinya, Sipon dan kedua anaknya, Fitri Nganthi dan Fajar Merah dan tidak pernah kembali. sejak tahun 1998, sudah berpuluh tahun, Thukul menghilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang.
Muncul dugaan bahwa Thukul diculik oleh militer bersama beberapa aktivis lainnya. Pada akhirnya, Sipon melaporkan hilangnya Thukul ke Komisi Untuk Orang Hilang atau Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada tahun 2000.
Thukul dan perjuangannya melalui sastra tetap eksis. Thukul merupakan representasi pergerakan kemanusiaan di Indonesia pada masa Orde Baru. Hal ini karena karya-karyanya berisi mengenai kritik sosial kesewenangan Orde Baru pada masa itu. Thukul menjadi seorang penyair yang gigih dalam memperjuangkan gagasannya demi kebenaran dan membela rakyat dari kesewenangan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Situasi politik dan politik pada saat itu sangat menindas dan negatif sehingga menyebabkan penguasa berusaha melenyapkan kelompok mana pun yang dianggap dapat mengancam kekuasaannya. Dari hasil data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa karya sastra bertema sosiopolitik berhasil dengan baik, dalam hal ini melawan para diktator (Pramono, 2006).
Thukul menulis puisi bukan tentang protes karena dirinyalah yang menjadi simbol dari protes itu sendiri (Kompas, 2023). Perjuangan Thukul melalui puisi bukanlah sebatas kata-kata, tetapi sebagai alat perjuangan atas sebuah ketidakadilan. Kritik dan gagasan tajam Thukul inilah yang menjadikan dirinya sebagai sosok yang diburu intel.
Puisi sebagai karya sastra merupakan cerminan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu. Puisi Thukul tumbuh sebagai media untuk kritik dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes.
ADVERTISEMENT
Wiji Thukul yang aktif dalam kegiatan sosial dan politik dapat dikatakan bahwa Thukul adalah seniman rakyat yang bersuara melalui karyanya.
Puisinya selalu hidup dan menjadi puisi bacaan wajib ketika adanya demonstrasi untuk melawan kesewenangan penguasa. Pada masa kini, Thukul dijadikan sebagai salah satu simbol perlawanan, seperti Che Guevara di Amerika Latin (Hadi).
Thukul dikenal sebagai seseorang yang sangat gencar menyuarakan penindasan, perlawanan, kritik sosial, antikemapanan, dan kemanusiaan. Hingga kini, Thukul memang belum ditemukan, tetapi Thukul eksis melalui perjuangannya terhadap rakyat akar rumput.
Pemerintah harus terus melakukan pencarian terhadap Thukul dan 12 orang lainnya yang diduga korban penghilangan paksa. Selain itu, semangat Thukul untuk memperjuangkan kemanusiaan harus ada di setiap hati bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT