Hari Anak Nasional sebagai Pengingat Perlindungan Anak

Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Universitas Andalas dan Peneliti Kajian Gender dan Feminisme
Konten dari Pengguna
23 Juli 2023 13:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli merupakan peringatan besar yang telah dilakukan sejak 18 Mei 1952 walaupun dengan nama yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan bahwa peringatan hari anak penting dilakukan secara nasional karena anak-anak dapat dikatakan sebagai aset bangsa. Hal ini tidak berlebihan karena di tangan anak-anaklah masa depan bangsa akan terus berkembang.
Namun, pada kenyataannya, masih banyak permasalahan yang terkait dengan anak-anak di Indonesia, salah satunya adalah perlindungan anak.
Permasalahan perlindungan anak harus menjadi perhatian semua pihak karena permasalahan anak sangat kompleks, seperti adanya kekerasan terhadap anak.
Ilustrasi anak yang menjalani proses MPASI. Foto: Ivan Lonan/Shutterstock
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, emosional, atau seksual terhadap anak. Kekerasan ini bisa terjadi di lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, atau tempat lainnya. Kekerasan tersebut dapat meninggalkan dampak psikologis yang jangka panjang pada anak.
Contoh kasus yang menggemparkan Indonesia adalah ayah di Purwokerto Selatan, Banyumas, Jawa Tengah yang melakukan inses kepada anaknya hingga anaknya (E) harus melahirkan sebanyak 7 kali.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual tersebut tentunya sangat memprihatinkan mengingat jika E sekarang berusia 26 tahun dan perbuatan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2013, anak tersebut telah mendapatkan kekerasan seksual sejak berumur 16 tahun.
Dapat dikatakan, anak karena menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Ilustrasi kekerasan pada anak. Foto: MIA Studio/Shutterstock
Tidak hanya kekerasan seksual, pernikahan anak di bawah umur pun sebenarnya tidak melindungi hak anak karena kadang kala, pernikahan anak dapat menghambat pendidikan, mengancam kesehatan, dan mengurangi peluang masa depan anak.
Selain itu, adanya paksaan bekerja untuk anak-anak sehingga anak-anak dieksploitasi. Pengeksploitasian ini dapat mengganggu pendidikan, kesehatan, dan hak-hak lain dari anak.
ADVERTISEMENT
Kasus pelanggaran perlindungan anak pun terjadi pada aspek kesehatan anak. Anak yang menghadapi kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas, terutama di wilayah miskin atau terpencil.
Lebih jauh, khusus anak-anak yang mengalami sakit dan mereka tidak dapat berobat. Anak-anak harus menerima kondisi tersebut dan menghalangi ia untuk berkembang dengan baik. Bahkan, lebih parahnya lagi, banyak kasus yang memperlihatkan terkait dengan tindak kriminalitas anak berupa perdagangan manusia atau penjualan organ anak.
Ilustrasi anak sedih, murung, trauma. Foto: eyes on him/Shutterstock
Permasalahan terkait dengan perlindungan anak tersebut menjadi pusat perhatian pemerintah. Hal tersebut mendorong pemerintah untuk melaksanakan berbagai program dan kebijakan perlindungan anak di Indonesia yang telah dilakukan sejak dahulu.
Program dan kebijakan yang dimaksud terbagi menjadi dua hal besar, berupa 1) program pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak dan 2) strategi peningkatan IPA, IPHA, dan IPKA.
ADVERTISEMENT
Program pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak terbagi menjadi beberapa klaster (Indeks Perlindungan Anak Tahun 2021). Klaster tersebut terdiri atas klaster I (hak sipil dan kebebasan), klaster II (lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif), klaster III (kesehatan dasar dan kesejahteraan), klaster IV (pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya), klaster V (program perlindungan khusus anak).
Selain itu, adanya strategi peningkatan IPA, IPHA, dan IPKA yang terbagi menjadi klaster I (hak sipil dan kebebasan), klaster II (lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif), klaster III (kesejahteraan dan kesehatan dasar), klaster IV (pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya), serta klaster V (perlindungan khusus anak).
ilustrasi bayi baru lahir. Foto: Anucha Cheechang/Shutterstock
Seorang anak tidak dapat memilih lahir dari rahim siapa. Anak-anak pun harus dibimbing untuk membentuk masa depannya. Seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa anak-anak sebagai aset bangsa.
ADVERTISEMENT
Ketidakpedulian terhadap anak, baik dari keluarga maupun pemerintah, dapat menyebabkan anak terabaikan atau dibiarkan dalam kondisi yang tidak aman dan tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Oleh karena itu, Hari Anak Nasional menjadi salah satu cara untuk mengingatkan kembali untuk menghormati anak-anak, meningkatkan kesadaran tentang perlindungan dan kesejahteraan anak, serta mengingatkan masyarakat akan tanggung jawab kolektif untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak.
Berdasarkan pedoman Hari Anak Nasional Tahun 2023 yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen-PPPA RI), Hari Anak Nasional tahun ini mengusung tema yang sama dengan tahun sebelumnya, yaitu “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dengan sub-tema: Cerdas Bermedia Sosial Menuju Generasi Emas.
ADVERTISEMENT
Peringatan ini pun menjadi upaya untuk menciptakan anak Indonesia generasi emas tahun 2045 karena sepertiga dari total populasi penduduk yang ada saat ini memegang peranan strategis ketika nantinya Indonesia genap pada 100 tahun sejak merdeka pada tahun 1945.
Anak-anak pada masa ini diharapkan menjadi calon pemimpin bangsa masa depan yang cerdas, sehat, unggul, dan berkarakter dengan bersendikan kepada nilai-nilai moral yang kuat.