Dilematis Kehadiran Sekolah Beruk di Pariaman

Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Universitas Andalas dan Peneliti Kajian Gender dan Feminisme
Konten dari Pengguna
29 Januari 2024 8:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Beruk. Sumber: https://www.pexels.com/photo/monkey-sitting-on-tree-branch-2175073/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Beruk. Sumber: https://www.pexels.com/photo/monkey-sitting-on-tree-branch-2175073/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena menarik terkait dengan pengambilan buah kelapa di Sumatera Barat, khususnya penggunaan beruk sebagai pemetik buah, menghadirkan gambaran yang unik dan menarik. Sebagai perbandingan dengan Pulau Jawa, di mana umumnya manusia atau alat digunakan untuk mengambil buah kelapa, Sumatera Barat memberikan perspektif yang berbeda dengan keterlibatan beruk (Macaca nemestrina) dalam tugas tersebut. Beruk, monyet dengan ekor menyerupai ekor babi, merupakan satwa mamalia yang tergolong dalam ordo primata dan merupakan bagian dari keanekaragaman hayati Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Di kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER) di Semenanjung Kampar, beruk menjadi salah satu dari 71 spesies mamalia yang teridentifikasi, menunjukkan keragaman hayati yang kaya di wilayah tersebut (Restorasi Ekosistem Riau, 2019).
ADVERTISEMENT
Sebuah gagasan penting yang muncul adalah bahwa beruk dianggap sebagai spesies yang cerdas dan nakal, namun memiliki kemampuan untuk menjelajahi hutan dengan tenang tanpa menimbulkan keributan. Keahlian ini menjadi alasan utama mengapa beruk digunakan sebagai pemetik buah kelapa di Sumatera Barat. Masyarakat setempat mengapresiasi kepintaran dan kemampuan beruk dalam melaksanakan tugas ini, sehingga penggunaan beruk untuk memetik buah kelapa menjadi suatu tradisi atau kebiasaan yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Penggunaan beruk sebagai pemetik buah kelapa tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang, melainkan telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Sumatera Barat. Hal ini mencerminkan adaptasi dan inovasi dalam memanfaatkan sumber daya alam dengan melibatkan fauna setempat dalam pekerjaan sehari-hari, sementara sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem. Hal yang menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana bisa beruk tersebut dapat memetik kelapa sesuai dengan yang diharapkan oleh pekerja? Tentunya, terdapat latihan yang digunakan oleh masyarakat. Tidak hanya sebagai Latihan biasa, beruk pun diberikan kesempatan untuk bersekolah. Salah satu sekolah beruk yang ada di Indonesia adalah Sekolah Tinggi Beruk Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB) di Padang Pariaman.
ADVERTISEMENT
Pendirian yang dikenal sebagai Sekolah Ilmu Beruk (STIB) memulai debutnya pada tahun 2019 di batas-batas Desa Apar, yang terletak di Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman (Langgam.id, 2021). Lembaga ini memberikan perspektif khusus tentang dinamika rumit antara umat manusia dan spesies primata yang biasa disebut sebagai beruk. Motivasi utama di balik pendirian STIB adalah pengakuan atas ketergantungan besar masyarakat lokal pada beruk sebagai sarana subsisten. Akibatnya, STIB menawarkan pendekatan baru terhadap konservasi spesies primata ini dan memanfaatkan kecerdasan bawaan mereka.
STIB memberikan instruksi kepada berang-berang tentang keterampilan meningkatkan ketinggian, memilih buah matang, dan membedakan antara produk segar dan tua. Setelah dianggap mahir dalam tugas-tugas ini, berang-berang dapat dikembalikan ke pemiliknya atau dipulangkan ke tempat lain. Awalnya, STIB memberi pengunjung pengalaman wisata gratis atau mendorong kontribusi sukarela. Namun, kelangsungan hidup jangka panjang STIB dirusak oleh munculnya pandemi COVID-19, yang menyebabkan dormansi yang tampak untuk waktu yang lama (Langgam.id, 2021). Kehadiran STIB tidak hanya menandakan aspek ekonomi dan konservasi yang terkait dengan spesies beruk, tetapi juga berfungsi sebagai tujuan wisata yang memikat. Dalam kapasitas ini, STIB berfungsi tidak hanya sebagai pusat pendidikan yang didedikasikan untuk studi beruk, tetapi juga sebagai daya tarik menawan yang menawarkan pertemuan tak tertandingi di ranah interaksi manusia-satwa liar.
ADVERTISEMENT
Meskipun terjadinya pemilihan buah kelapa oleh beruk di Sumatera Barat menyajikan penggambaran yang menawan, informasi yang dikumpulkan oleh Restorasi Ekosistem Riau membocorkan kenyataan yang membingungkan. Populasi bangau yang tersisa di habitat aslinya berkurang menjadi hanya 900.000, dan angka yang sedikit ini dapat dikaitkan dengan hilangnya tempat tinggal mereka yang disebabkan oleh deforestasi. Selain itu, umat manusia mengambil peran predator terhadap spesies khusus ini, baik melalui tindakan berburu daging mereka dan menangkap mereka untuk tujuan perdagangan sebagai makhluk eksotis (Restorasi Ekosistem Riau, 2019).
Sambil mengakui kekhasan kejadian ini, sangat penting untuk merenungkan apakah pemanfaatan beruk sebagai “pekerja” untuk memetik kelapa di lembaga pendidikan dapat diklasifikasikan sebagai eksploitasi hewan. Penyelidikan etis muncul karena beruk mungkin tidak secara alami memilih untuk memenuhi peran seperti itu, dan dampak campur tangan manusia pada keberadaan mereka dapat menimbulkan beban yang tidak adil. Hal ini mendorong perenungan mengenai perlunya menjaga keberlanjutan spesies dan ekosistem, sambil mempertimbangkan kesejahteraan dan hak-hak hewan. Dalam konteks khusus ini, pertimbangan konservasi dan etika dianggap sangat penting ketika dihadapkan dengan tantangan yang berkaitan dengan keberlanjutan dan perlindungan satwa liar.
ADVERTISEMENT
Sekolah beruk dapat dianggap sebagai fenomena yang ambivalen karena mencerminkan dua perspektif yang berkaitan dengan pemanfaatan mereka dalam konteks ekonomi dan pariwisata, tetapi sekaligus dapat menjadi ancaman terhadap ekosistem beruk. Di satu sisi, keberadaan sekolah beruk dapat diartikan sebagai potensi ekonomi dan daya tarik pariwisata yang memanfaatkan keberagaman alam. Sekolah ini mungkin dapat memberikan peluang pekerjaan dan meningkatkan pendapatan melalui industri pariwisata. Namun, di sisi lain, pengelolaan yang tidak bijaksana dan aktivitas manusia yang berlebihan dalam area ini dapat berdampak negatif pada ekosistem beruk. Adanya sekolah beruk bisa mengakibatkan gangguan habitat alami dan stres pada populasi beruk, yang pada gilirannya dapat merusak keseimbangan ekologis. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan yang seimbang dalam memanfaatkan sekolah beruk, di mana aspek ekonomi dan pariwisata diintegrasikan dengan konservasi dan pemeliharaan lingkungan agar keberlanjutan ekosistem beruk tetap terjaga.
ADVERTISEMENT