Polemik Perjanjian Berbera: Reaksi Tajam dan Penolakan dari Somalia

Rizki Maulana Firdaus
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
Konten dari Pengguna
3 Januari 2024 7:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Maulana Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelabuhan. | Foto by: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelabuhan. | Foto by: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tanggal 1 Januari 2024, Ethiopia dan Somaliland menandatangani perjanjian penggunaan pelabuhan Berbera di Laut Merah, menciptakan gelombang perdebatan dan ketegangan di kawasan tersebut. Perjanjian ini memberikan Ethiopia akses ke pelabuhan tersebut untuk keperluan operasi laut komersial dan bahkan memberi Ethiopia akses ke pangkalan militer sewaan di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, reaksi tajam dan penolakan yang kuat datang dari Somalia. Cabinet Somalia menyatakan bahwa perjanjian ini tidak sah dan mengecam langkah Ethiopia dan Somaliland sebagai ancaman terhadap stabilitas regional. Somalia juga menegaskan klaimnya atas Somaliland, menambahkan aspek politis yang rumit dalam situasi ini.
Salah satu poin krusial dari perjanjian ini adalah pengakuan Ethiopia atas Somaliland sebagai negara merdeka. Hal ini memunculkan reaksi keras dari Somalia yang selama bertahun-tahun mempertahankan klaimnya atas Somaliland, sementara Somaliland telah beroperasi secara independen sejak tahun 1991. Konsekuensi politik dari pengakuan ini sangat besar dan menimbulkan pertanyaan besar tentang dampaknya terhadap dinamika politik regional.
Penting untuk melihat bahwa perjanjian ini tidak hanya masalah bilateral antara Ethiopia dan Somaliland. Hal ini juga melibatkan keamanan regional dengan memberikan akses militer di Laut Merah bagi Ethiopia, yang dapat mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
Reaksi tegas Somalia menunjukkan pentingnya stabilitas dan perdamaian di Afrika Timur. Namun, masalahnya menjadi semakin kompleks karena melibatkan klaim wilayah, politik internal, serta kepentingan ekonomi dan keamanan regional.
Ketegangan ini menyoroti pentingnya peran internasional dalam menengahi konflik semacam ini. Keterlibatan mediator global dapat memfasilitasi dialog yang memadai untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak terlibat.
Pada titik ini, kesabaran dan diplomasi yang cermat menjadi kunci. Perundingan yang transparan dan inklusif dapat menjadi langkah penting menuju penyelesaian yang menguntungkan semua pihak dan memastikan stabilitas jangka panjang di kawasan yang rentan ini.
Pemerintah dan komunitas internasional harus memainkan peran yang lebih besar dalam membawa semua pihak ke meja perundingan. Solusi yang dihasilkan dari dialog tersebut mungkin merupakan fondasi yang kokoh bagi kedamaian dan keseimbangan bagi kawasan Afrika Timur.
ADVERTISEMENT