Perubahan Gaya Diplomasi Vatikan Sebelum dan Sesudah Konsili Vatikan-II

Rizki Maulana Firdaus
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
Konten dari Pengguna
16 Maret 2023 5:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Maulana Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Basilika Santo Petrus | Foto by: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Potret Basilika Santo Petrus | Foto by: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Vatikan telah terlibat dalam diplomasi selama berabad-abad, tetapi gaya diplomasinya telah berubah secara signifikan dari waktu ke waktu. Salah satu titik balik utama adalah Konsili Vatikan Kedua, yang berlangsung dari tahun 1962 hingga 1965. Sebelum Konsili, gaya diplomasi Vatikan dicirikan oleh kerahasiaan, kehati-hatian, dan kebijaksanaan. Setelah Konsili, Vatikan menjadi lebih terbuka dan proaktif dalam diplomasinya.
ADVERTISEMENT
Sebelum Konsili Vatikan II, gaya diplomasi Vatikan dibentuk oleh rasa tidak aman dan defensif. Negara Kepausan, yang berada di bawah kendali Vatikan sejak abad ke-8, hilang pada pertengahan abad ke-19, meninggalkan Vatikan tanpa basis teritorial. Kehilangan ini sangat traumatis bagi Vatikan, dan berkontribusi pada rasa kerentanan dan keterasingan. Akibatnya, Vatikan cenderung berhati-hati dan tertutup dalam diplomasinya, mengandalkan negosiasi jalur belakang dan jaringan informal untuk memajukan kepentingannya.
Potret Paus Yohanes Paulus II | Foto by: Pixabay.com
Pendekatan ini sangat jelas selama Perang Dingin, ketika Vatikan menjalankan kebijakan netralitas dan berusaha menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Upaya diplomatik Vatikan sebagian besar terfokus pada negosiasi di balik layar, dan Vatikan dikenal karena kebijaksanaannya dan keengganannya untuk mengambil posisi publik dalam isu-isu kontroversial.
ADVERTISEMENT
Konsili Vatikan II menandai perubahan signifikan dalam gaya diplomasi Vatikan. Konsili tersebut merupakan upaya reformasi besar yang berupaya memodernisasi Gereja Katolik dan mendekatkannya dengan dunia modern. Salah satu tujuan utama Konsili adalah untuk mempromosikan keterbukaan dan keterlibatan yang lebih besar dengan dunia yang lebih luas, dan tujuan ini berimplikasi pada diplomasi Vatikan.
Setelah Konsili, Vatikan menjadi lebih proaktif dalam diplomasinya, berupaya menjalin hubungan dengan negara lain dan organisasi internasional dengan cara yang lebih terbuka dan transparan. Pendekatan baru ini terbukti dengan keputusan Vatikan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan sejumlah negara komunis, termasuk Kuba dan China. Vatikan juga menjadi lebih vokal dalam isu-isu keadilan sosial dan hak asasi manusia, menyuarakan isu-isu seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan hak-hak pekerja.
Potret Paus Fransiskus | Foto by: Pixabay.com
Perubahan penting lainnya dalam diplomasi Vatikan setelah Konsili adalah pergeseran menuju pendekatan yang lebih kolaboratif. Konsili menekankan pentingnya dialog dan kerja sama, dan penekanan ini tercermin dalam diplomasi Vatikan. Vatikan mulai bekerja lebih erat dengan organisasi keagamaan dan sekuler lainnya, berupaya membangun aliansi dan kemitraan seputar nilai dan tujuan bersama.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, Konsili Vatikan II menandai titik balik penting dalam gaya diplomasi Vatikan. Di hadapan Konsili, Vatikan cenderung berhati-hati dan tertutup dalam diplomasinya, mengandalkan negosiasi jalur belakang dan jaringan informal untuk memajukan kepentingannya. Setelah Konsili, Vatikan menjadi lebih terbuka dan proaktif dalam diplomasinya, berusaha untuk terlibat dengan dunia yang lebih luas dan bekerja secara kolaboratif dengan organisasi lain. Perubahan ini berdampak lama pada diplomasi Vatikan, dan terus membentuk cara Vatikan berhubungan dengan dunia saat ini.