Satu Menit Bersama Mbak Sri, Pekerja Migran Hong Kong Asal Kediri

Rizki Kha.
Aku, Hong Kong, dan berbagai kisah diantaranya. Pejuang Saga (Sesdilu 63)
Konten dari Pengguna
3 Maret 2019 20:12 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Kha. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Deretan Gedung-gedung Tinggi di Hong Kong (sumber: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Deretan Gedung-gedung Tinggi di Hong Kong (sumber: Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pagi itu aku bertemu lagi dengannya. Namun tak seperti hari-hari biasanya, kali ini ia menyapaku sambil tersenyum dengan sangat gembira.
ADVERTISEMENT
“Mbak, aku pamit yah! Lusa aku balik ke Indonesia. Alhamdulillah, sudah cukup tabunganku kerja di Hong Kong buat bangun rumah sama modal buat usaha di kampung,” ucapnya sambil menjabat tangan dan menempelkan pipinya ke wajahku.
Matakupun terasa panas, menahan tangis. Sungguh jarang aku bisa menemui pagi dengan berita baik seperti ini.
Namanya Sri Lestari, aku biasa memanggilnya dengan Mbak Sri, tetangga satu gedung apartemenku di Hong Kong, ketika aku bertugas di sana. Kami biasa bertemu di pagi hari saat ia harus mengantar bobo, panggilan nenek dalam bahasa Canton, ke Victoria Park untuk sekedar menghirup udara segar.
Pertemuan kami tidak pernah lama, hanya sekitar 1 menit saat turun atau naik lift menuju lantai apartemen masing-masing. Ia tinggal bersama majikannya di lantai 12, sementara aku di lantai 15. Namun kami selalu bertegur sapa dan menanyakan kabar masing-masing disela-sela pertemuan 1 menit itu.
ADVERTISEMENT
Pekerja Asal Indonesia Menikmati Hari Libur di Victoria Park, Hong Kong (sumber: https://dnnsociety.org/2017/12/09/domestic-helpers/)
Mbak Sri, yang belakangan baru aku ketahui berasal dari Kediri, adalah satu dari sekitar 165.000 orang pekerja migran asal Indonesia yang mencoba peruntungan di Hong Kong. Ia sudah bekerja di Hong Kong selama lebih dari 6 tahun dan telah berganti majikan sebanyak 3 kali.
Tiga tahun terakhir ini, ia bekerja menjaga orang tua yang sudah berumur 72 tahun dan tinggal bersama majikannya itu di apartemen yang terletak di daerah Causeway Bay, gedung yang sama denganku. Di kawasan ini pula terletak kantor KJRI Hong Kong dan Victoria Park yang menjadi magnet pekerja Indonesia melewati hari libur bersama teman-temannya.
Sejak tahun 1990an, Hong Kong telah menjadi salah satu negara tujuan penempatan pekerja migran asal Indonesia khususnya pada sektor non-formal. Meskipun tidak sebanyak di Saudi Arabia dan Malaysia, namun dalam 4 tahun terakhir jumlah pekerja migran Indonesia di Hong Kong selalu mengalami peningkatan.
Grafik Perbandingan Jumlah WNI dan PMI di Hong Kong Tahun 2015-2018 (sumber: Departemen Imigrasi Hong Kong)
Di Hong Kong sendiri, kebutuhan tenaga kerja sektor rumah tangga diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan makin bertambahnya angka penduduk lanjut usia. Pemerintah Hong Kong memproyeksikan pada tahun 2036, jumlah penduduk lansia Hong Kong akan mencapai angka 2,37 juta jiwa atau sekitar 31 persen dari keseluruhan populasi.
ADVERTISEMENT
Dengan demografi yang didominasi oleh lansia ini, Hong Kong membutuhkan sekitar 600 ribu pekerja sektor rumah tangga dalam 30 tahun ke depan, terutama tenaga caregiver untuk menjaga orang tua. Hal ini diungkapkan oleh Secretary for Labour and Welfare Hong Kong, Law Chi-Kwong, dalam lawatannya ke Indonesia pada bulan Januari lalu.
Pemerintah Hong Kong membutuhkan pekerja migran untuk memenuhi permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar tenaga kerja domestik. Di sektor rumah tangga saja, saat ini terdapat sekitar 380.000 pekerja migran yang sebagian besar berasal dari Filipina dan Indonesia.
Dalam menjawab kebutuhan tenaga caregiver ini, pada tahun 2018 Pemerintah Hong Kong mulai meluncurkan program pelatihan kepada 300 domestic helper (Training for Foreign Domestic Helpers on Elderly Care) untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memberikan penanganan khusus yang dibutuhkan oleh para lansia yang diikuti oleh domestic helper dari Indonesia dan Filipina.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan program ini kabarnya akan diikuti dengan pelaksanaan program serupa dalam waktu dekat, terutama untuk meningkatkan keahlian domestic helper merawat lansia yang berada dalam keadaan sakit.
Survey Japan’s Ministry of Health, Labor & Welfare: harapan hidup orang Hong Kong pada tahun 2018 meningkat menjadi 81,32 tahun untuk pria dan 87,34 tahun untuk wanita (sumber: https://www.wellbeing.hku.hk/how-hong-kongs-ageing-population-is-making-it-more-challenging-to-help-the-citys-poor/)
Sejenak aku teringat kembali dengan Mbak Sri, tetangga satu apartemenku itu. Selama di Indonesia, ia mengaku tidak pernah dibekali dengan pelatihan untuk menjaga orang tua. Meskipun pada awalnya kikuk, sering mendapatkan omelan dari majikan, hingga berujung pada pemutusan kontrak kerja, namun ia tetap mensyukuri pengalamannya selama lebih dari 6 tahun ini sebagai pekerja migran.
“Alhamdulillah Mbak, Aku banyak belajar gimana cara menjaga bobo. Lumayan buat modalku jaga orang tua sendiri nanti di kampung”, ujarnya suatu hari saat aku membantunya mendorong kursi roda bobo keluar dari pintu apartemen kami.
ADVERTISEMENT
Melihat ketelatenan dan kemampuan berbahasa Canton yang baik, rasanya wajar saja apabila pekerja asal Indonesia cukup diminati di Hong Kong terutama untuk menjaga orang tua. Dengan pelatihan yang memadai dan sesuai standar kesehatan dan keterampilan yang tersertifikasi dari Pemerintah Indonesia dan Hong Kong, tentunya akan memberikan peluang yang lebih besar bagi pekerja Indonesia untuk menjadi tenaga caregiver yang profesional kedepannya.
Kini, sudah tidak bisa ku lihat lagi senyum Mbak Sri di pagi hari, namun semangat kerja dan ketekunannya akan selalu menjadi penyemangat hidupku dimanapun aku akan ditugaskan nanti.