Jakarta-Bogor Kali Kedua

Rizki Gaga
Wartawan Tempo 2011 - 2016, Redaktur kumparan 2016 - sekarang. Orang Bandung lulusan Jurnalistik Unpad.
Konten dari Pengguna
9 November 2020 23:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizki Gaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jalan Raya (Jakarta-) Bogor adalah antitesis. Ia memadukan keindahan dan keburukan, menjadi tempat persamuhan kesejukan dan kegerahan. Berpikir "menyerah" lalu putar arah saat mengayuh sepeda melaluinya adalah alamiah karena betis sungguh akan terasa payah.
ADVERTISEMENT
Di Pasar Minggu belum jam 8 pagi pada Sabtu lalu, tapi saya tahu saya sudah harus berangkat karena perjalanan bersepeda akan memakan waktu 4 jam. Tujuan saya adalah ke Kecamatan Ciomas di Kabupaten Bogor, 50 kilometer jauhnya.
Ini akan menjadi perjalanan gowes Jakarta-Bogor saya yang kedua. Dengan celana spandeks sepaha ini, saya siap. Begitu juga Sriwedari—sepeda saya—siap. Gowesan pertama dimulai.
Saya meniti Jalan Raya Pasar Minggu terus hingga Lenteng Agung. Bila menggowes di MT Haryono di tengah-tengahnya ada jalan tol, ini di tengah-tengahnya ada lintasan kereta api (KRL). Oksigen yang disuplai dari hutan Universitas Indonesia masih terasa segar di sini.
Selanjutnya, Jalan Margonda Raya, Depok. Area ini sesungguhnya gampang dikenali: Banyak gedung, toko-toko, dan jembatan penyeberangan orang. Yang aneh adalah daerah ini panas sekali, padahal belum jauh dari hutan UI.
ADVERTISEMENT
Saya belok kiri ke Jalan Ir. H. Juanda. Ini masih di Depok, bukan di Bandung. Di Bandung ada Jalan Juanda yang lebih dikenal dengan nama Dago yang penampilannya klasik, suasananya dingin karena rindang.
Di Jalan Juanda, Depok, di atas anak Sungai Ciliwung (atau Kali Sugutamu).
Selepas Jalan Juanda saya belok kanan ke arah selatan, memasuki babak baru bernama Jalan Raya Bogor yang konon sesungguhnya namanya Jalan Raya Jakarta-Bogor.
ADVERTISEMENT
Jalan Raya Bogor jauh lebih panjang ketimbang Jalan Panjang yang ada di Jakarta Barat.
Jalan Raya Bogor adalah jalan perjuangan. Kadang menghirup oksigen segar dari pedagang tanaman, kadang menghirup asap truk kontainer. Kadang jalanan adem beraspal bagus, kadang penuh pasir dan debu. Kadang ada trotoar bagus, kadang ada gunungan sampah berbau hangus.
Jalan Raya Bogor. Ini foto perjalanan pertama kali, bukan pada Sabtu lalu.
Setiap ada plang toko saya lihat kata "Cibinong". Sudah maju amat jauh, plang toko masih juga Cibinong. Amerika Serikat punya Times Square, Cibinong punya Cibinong Square. Di Italia ada Stadion San Siro, di Cibinong ada Stadion Pakansari.
Saya amat capek, kehilangan arah, dan enggak semangat buat tengak-tengok lagi. Ingin segera tiba. Cibinong jam 11 siang panas luar biasa. Saat begini, rasanya percuma punya ban merek Schwalbe Kojak, gearset Shimano Tiagra, helm Rockbros, buff Eiger. Pokoknya letih amat letih.
ADVERTISEMENT
Tapi tiba-tiba semuanya enak. Suhu sekitar turun drastis jadi adem. Mata tak lagi silau karena banyak pepohonan rindang. Saya lihat kiri-kanan, ternyata saya ada di Jalan Pajajaran, Bogor. Ini mengingatkan saya pada Bandung. Sungguh enak. Semangat saya muncul lagi.
Lurus, lurus, lurus, dari Pajajaran itu ternyata mentok di Kebun Raya Bogor. Ada bapak-bapak pesepeda duduk santai sambil merokok, saya ikutan. Ia dari Kemayoran, Jakarta Pusat, enteng saja ketawa-tawa. Saya yang setengah terengah-engah ini jadi segan.
Saya pamit karena sudah ditunggu para sahabat di Ciomas yang jaraknya dekat. Saya sempatkan dulu mampir beli biji kopi di Jalan Semeru.
Sepeda cuma alat agar badan jadi sehat. Saya bukan adu kuat karena yang penting tiba dengan selamat.
ADVERTISEMENT
Bonus foto:
(Perjalanan pertama) ban bocor.
Yang bikin ban Sriwedari harus diganti.