Film 'Facing Mirrors': Penyakit Hati terhadap Transeksual

Rika Salsabilla Raya
Pernah bekerja di Komnas Anak dan Ngertihukum.id
Konten dari Pengguna
11 Mei 2020 8:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Salsabilla Raya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potongan gambar film Facing Mirrors
zoom-in-whitePerbesar
Potongan gambar film Facing Mirrors
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belum lama ini, Indonesia gempar dengan sebuah kasus klasik, yang sebenarnya sudah eksis sedari dulu yaitu, tindakan kurang menyenangkan terhadap transpuan. Perbedaannya, pelaku merekam aksinya dengan judul 'Prank', alias tipu-tipu untuk hiburan semata. Lantas, kasus ini berhasil menjerat Ferdian Paleka dengan pasal UU ITE, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara. Dilanjutkan dengan sebuah video dari dua orang santri yang mendukung tindakan Ferdian Paleka terhadap transpuan. Apakah kasus Ferdian dapat mempertegas bahwa menghina, menertawakan kesulitan, dan mencaci para transeksual adalah tindakan wajar di negeri mayoritas muslim, termasuk Indonesia? Dua hari yang lalu, sembari menunggu berbuka puasa, saya dan adik menonton sebuah film dokumenter karya Negar Azarbayzani yang merupakan sebuah karya mengenai transpuan di Iran. Pilihan ini diakibatkan kultur yang mendukung bahwa isu tentang LGBTQ begitu tabu. Asumsi untuk Iran yang 'jahat' terhadap kaum transpuan terbantahkan dengan bukti bahwa terdapat nama negara tersebut dalam peringkat mayoritas penggantian kelamin selain Thailand, dan negara lainnya. Di Iran, hal itu sudah biasa dan dilakukan secara terbuka. Pemerintah berkontribusi hingga setengah dari biaya keuangan operasi dalam bentuk tanggungan jiwa, dan mengeluarkan akta kelahiran baru untuk mengakui dan mencerminkan perubahan jenis kelamin. Walau keadaan sesungguhnya perundungan terhadap mereka jauh lebih menyakitkan daripada di negeri kita, Indonesia. Facing Mirrors berfokus pada dua orang—Rana dan Adineh (bernama asli Eddie), mereka berdua merupakan gambaran nyata seorang muslim yang disatukan dari sebuah perbedaan latar belakang dan kelas sosial di dalam sebuah taksi berjalan. Rana, yang tidak berpengalaman, religius dan terikat oleh tradisi, dipaksa untuk mengendarai taksi untuk bertahan hidup secara finansial dan mendukung keluarganya. Serta Adineh, yang kaya namun pemberontak, telah melarikan diri dari rumah mereka dan pernikahan yang diatur berikutnya. Bersama-sama mereka berbagi cerita satu sama lain. Sampai akhirnya, saling mengakui menjadi bagian integral dari pencapaian kebebasan satu sama lain. Rana, untuk mendukung keluarganya, harus menentang norma-norma dan harapan gender yang dipaksakan padanya oleh masyarakat (Melakukan pekerjaan pria) sampai berganti nama menjadi Eddie.
ADVERTISEMENT
Rana rela menentang norma-norma dan harapan-harapan gender yang diberlakukan kepadanya oleh lingkungan sekitar, menerima cacian dan dianggap hina bahkan, oleh sesama perempuan. Gambaran Rana sangat mencolok dengan kenyataan bahwa pelaku transeksual khususnya di Indonesia, didorong oleh berbagai faktor, bukan hanya faktor lahiriah sang manusia.
Hingga akhirnya, film ini berhasil memenangkan kategori Best First Feature di San Francisco's Frameline Film Festival tahun 2012. Saya teringat betul, beberapa kasus penganiayaan, pembunuhan yang dilakukan segolongan orang terhadap kaum yang rentan tersebut. Mengapa kita selalu mencaci ataupun melakukan tindakan yang tidak dibenarkan kepada para transpuan? Pertanyaan tersebut memang sudah terjawab dari pernyataan Allah SWT terhadap sifat-sifat yang mewakili diri manusia. Beberapa di antaranya yaitu iri, dengki, hanya menuruti prasangka (sesuai Q.s Yunus:36), itu semua terwakili dengan sebutan 'penyakit hati'. Manusia di muka bumi ini mustahil bila tak memiliki penyakit tersebut, hanya orang-orang terpilihlah yang bebas maupun sembuh karena izin-Nya. Menanggapi film 'Facing Mirror' dan apa yang terjadi di Indonesia, Kaum Transeksual yang sering mendapatkan perlakuan tidak enak juga mendapatkan perhatian yang serius, khususnya dari syariat Islam. Disebabkan mereka pun termasuk manusia mualaf sebagaimana lelaki dan wanita normal. Karenanya, menurut Ustaz Sufyan Baswedan, di dalam fiqih Islam dikenal istilah mukhannats (banci/bencong/waria), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan khuntsa (interseks/berkelamin ganda). Di dalam fiqih klasik disebutkan bahwa seorang mukhannits dan mutarajjil statusnya tetap tidak bisa berubah. Hal tersebut yang membuat nantinya, kaum transpuan tetap dianggap menyalahkan kodrat semestinya. Selanjutnya, mengenai takhannuts, An-Nawawi berkata: المخنث ضربان أحدهما من خلق كذلك ولم يتكلف التخلق بأخلاق النساء وزيهن وكلامهن وحركاتهن وهذا لا ذم عليه ولا إثم ولا عيب ولا عقوبة لأنه معذور والثاني من يتكلف أخلاق النساء وحركاتهن وسكناتهن وكلامهن وزيهن فهذا هو المذموم الذي جاء في الحديث لعنه Artinya:Mukhannits ada dua, pertama orang yang terlahir dalam kondisi demikian (mukhannits) dan ia tidak sengaja berusaha berperilaku seperti perilaku para wanita, pakaian, ucapan dan gerakan-gerakannya, mukhannits semacam ini tidak tercela, tidak berdosa, tidak memiliki cacat dan tidak dibebani hukuman karena sesungguhnya ia orang yang ma’dzur (dimaafkan sebab bukan karena kesengajaan dan usaha darinya). Yang kedua, orang yang sengaja berusaha berperilaku seperti perilaku para wanita, gerakan-gerakannya, diamnya, ucapan dan pakaiannya. Mukhannits yang keduanya inilah yang dilaknat di dalam hadits.” (Lihat Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Beirut, Darul Fikr Al-Ilmiyah, cetakan kedua, 2003 M, jilid VIII, halaman 57).
ADVERTISEMENT
Yang berarti, seorang yang dikatakan transpuan/waria/bencong, dll, bisa dimaafkan apabila bukan karena sengaja melakukan sebuah 'perubahan' seperti penggantian kelamin, gerakan gemulai, tutur kata halus. Adapun, syariat dalam pernyataan di atas menegaskan laknat bagi mereka yang melakukan secara sengaja, meliputi hal yang sudah disebutkan.
Apa yang tertuang dalam film Facing Mirrors adalah sebuah tindakan yang disengaja si 'tokoh' dengan sebab yang dapat dimaklumi seorang manusia yang berperikemanusiaan. Tidak dibenarkan bahwa seorang transeksual sekalipun harus mendapatkan tindakan yang tidak semestinya karena dianggap laknat.
Ingatlah bahwa kuasa hukum tertinggi hanyalah Allah SWT saja, dan ingat juga kisah diriwayatkan oleh Abdul Wahab bin Abdul Majid Ats-Tsaqafi yang dituturkan KH Muhammad Taufik Damas. Abdul Wahab pernah bertemu dengan tiga orang laki-laki dan satu perempuan saja dalam proses salat dan penguburan. Abdul Wahab segera mensalati jenazah itu, dan menguburkannya. Selesai prosesi penguburan, dirinya bertanya pada perempuan tersebut. "Siapa jenazah itu? Mengapa hanya kalian berempat yang mengiringi penguburannya? Apakah kamu tidak punya tetangga?" Perempuan itu menjawab, bahwa putranya sering dicaci-maki karena berkelakuan seperti wanita.
ADVERTISEMENT
Abdul Wahab lantas mengajak perempuan itu untuk mampir ke rumahnya, perempuan itu lantas pulang. Malam harinya, Abdul Wahab tidur dan bermimpi. Dalam mimpi itu dia didatangi oleh sosok putih, terang bercahaya bak purnama. Sosok itu berterima kasih kepada Abdul Wahab. Abdul Wahab tertegun kemudian bertanya. "Siapa kamu?" Sosok itu menjawab, "Aku adalah roh dari jenazah yang kau kuburkan tadi siang. Allah memuliakanku seperti ini, karena manusia begitu meremehkan dan menghinaku di muka bumi."
Permasalahan di sini adalah, bahwa tidak sepantasnya kita sebagai seorang mahluk ciptaan-Nya untuk menghina/mencaci-maki seseorang yang juga hamba Allah, apalagi sampai menyakiti, dan membunuhnya.
Perkara yang seharusnya kita lakukan adalah sama-sama saling mengingatkan untuk kebenaran dan kesabaran seperti yang tertuang dalam surah Al-Ashr. Apalagi, di bulan ramadhan kali ini. Semua manusia sedang diuji oleh Allah, dan tak sepantasnya kita yang mahluk lemah juga menyulitkan sesama. Tindakan Ferdian maupun sang 'santri' yang seharusnya dapat menjalankan hukum syariat dengan kelembutan bin tablig adalah salah. Terlihat jelas para pelaku tidak memahami syariat namun, berlaku semena-mena dikarenakan terjangkit penyakit hati. Begitupun diri kita yang melaknat habis-habisan atas kesalahan pelaku. Cak Nun berkata: "Bukan manusia kalau saling menghujat". Semoga Allah menjauhi kita dari penyakit hati, Amiinn.
ADVERTISEMENT