Keresahan Pangan, Pemilu, dan Masa Depan Manusia

Rully Raki
Pengajar Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula
Konten dari Pengguna
24 Januari 2024 16:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rully Raki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buruh tani menanam padi di area persawahan Tamarunang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (16/6/2022). Foto: Arnas Padda/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Buruh tani menanam padi di area persawahan Tamarunang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (16/6/2022). Foto: Arnas Padda/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Spanduk berisi tulisan lieber tod als Sklave (lebih baik mati sebagai budak) termuat pada salah satu traktor dari deretan traktor-traktor itu berbaris rapi di jalan antara kota Berlin menuju pinggiran Barat Kota Berlin-Jerman. Barisan ratusan traktor itu muncul sebagai aksi protes dari para petani akibat dipotongnya Subsidi bagi Sektor Pertanian oleh Pemerintah Jerman (dw.com).
ADVERTISEMENT
Keresahan ini muncul akibat dipotongnya anggaran pangan dari pemerintah Jerman. Namun keresahan yang paling jauh adalah dengan pemotongan subsidi ini tentu akan berpengaruh pada produksi pertanian Jerman, mengingat negara ini merupakan salah satu negara yang cukup banyak mendatangkan bahan pangan dengan mekanisme impor.
Berbicara mengenai pangan, permasalahan mengenai keresahan pangan dan terkonsentrasinya akan isu ini sudah muncul sejak tahun 1970-an. Isu ini beberapa kali dibahas di level Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengadakan beberapa kali Conference of the Food and Agriculture Organization yang diawali pada bulan Desember tahun 1974 di Roma.
Seiring berjalannya waktu, beberapa negara seperti China, Thailand dan vietnam sudah mengambil langkah seperti membangun Bank for Agriculture dan Agricultural Cooperatives (BAAC), sementara di China terdapat Agricultural Bank of China (ABC) dan Vietnam mengembangkan Bank for Agricultural Development (Agribank). Hasilnya adalah organisasi-organisasi finansial itu memberikan suntikan dana untuk mengembangkan pertanian di mana angka serapannya berkisar antara 14% untuk China, 24% untuk Vietnam dan 17% untuk Thailand (Sara, 2024)
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, isu pangan sudah banyak dibicarakan, terutama pada pertengahan tahun 2023, di mana Presiden memberikan wawasan mengenai kekeringan panjang akibat El Nino yang akan menimpa Indonesia. Namun sebenarnya isu mengenai pangan ini sudah dibicarakan.
Bahkan jauh sejak masa Orde Baru, efek green revolution (Revolusi Hijau) telah mempengaruhi Soeharto untuk mencanangkan program Swasembada Pangan dalam Repelita (rencana pembangunan lima tahun) rezim saat itu, sehingga pada tahun 1969 Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras.
Sampai saat ini, Presiden Jokowi dalam pemerintahannya juga mencanangkan program Food Estate yang menggunakan ruang seluas 2,3 juta hektare di wilayah Sumatera Utara, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua, yang belum juga membuahkan hasil atau diprediksikan belum terealisasi secara baik (Tempo, 31/12/2023). Hal inilah yang banyak dibicarakan kemudian dalam dalam debat Pilpres 2024 baik untuk Capres maupun Cawapres beberapa hari yang lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap lokal, keresahan akan ketersediaan pangan bukan cuma menjadi wacana semata, karena daerah-daerah di Indonesia pada tahun ini memang mengalami kekeringan. Beberapa wilayah lokal di Nusa Tenggara Timur seperti di pulau Flores bagian barat, khususnya di Kabupaten Manggarai Barat, tepatnya di daerah Lembor, mengalami kekeringan sehingga mengganggu produksi beras.
Selain itu, di wilayah Flores bagian tengah pun, curah hujan yang datang terlambat, membuat banyak tanaman yang sudah tumbuh menjadi kering karena kekurangan air. Di daerah Kecamatan Nangaroro dan Mauponggo di Kabupaten Nagekeo, banyak petani mengeluhkan karena gagal tanam dan tentu ini berpengaruh secara ekonomi dan biaya pendidikan anak-anak.
Keresahan soal ketersediaan pangan merupakan isu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemanasan global dan kekeringan merupakan ancaman nyata dan bukan hanya sekadar wacana. Namun hal ini sebenarnya bisa diatasi apabila beberapa langkah bisa dijalankan secara konsisten. Di tahun Pemilihan Umum ini, di mana terdapat pemilihan calon pemimpin dan calon wakil rakyat, rakyat mesti bisa melihat secara jelas dan memilih para pemimpin yang punya visi dan perencanaan serta eksekusi yang mantap mengenai pangan ini.
ADVERTISEMENT
Hal ini sangat diperlukan sebab kebijakan secara masih memang perlu diambil untuk mengarahkan negara ini menjadi negara yang tidak diselenggarakan di atas kondisi rawan pangan. Selain di level pimpinan yang lebih tinggi, di level pimpinan daerah pun, kebijakan-kebijakan untuk mencintai dan melestarikan pangan lokal perlu digalakkan dan ditumbuhkan sampai pada masyarakat di level lokal.
Kecintaan ini penting untuk ditumbuhkan, sebab dengan mencintai atau bangga akan pangan lokal bisa membuat masyarakat menjaga dan melestarikan pangan lokal. Hal itu pada gilirannya menjadi langkah awal untuk menjaga eksistensi pangan di kantong-kantong masyarakat lokal, sehingga bisa berkontribusi untuk menjaga stabilitas bangsa.
Program untuk mencintai dan menjaga eksistensi pangan lokal menjadi program basis untuk pengembangan program pemberdayaan pangan lokal. Program pemberdayaan untuk pangan lokal itu pada gilirannya bukan hanya akan mendukung ketersediaan pangan yang dapat menyelamatkan manusia di wilayah tertentu tetapi juga memungkinkan terciptakan surplus pangan untuk jadi komoditi dagang yang dapat menggenjot secara perlahan perekonomian di wilayah tertentu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemberdayaan pangan lokal dapat contoh bagi orang-orang di lain di wilayah mana pun bahwa proyek pengembangan dan pembangunan melalui pemberdayaan pangan lokal bisa bukan sebuah wacana belaka, tetapi menjadi fakta yang bisa menyelamatkan umat manusia dari kepunahan di masa depan
Food is Weapon, begitulah kata-kata Earl Butz (1974) Menteri Pertanian Amerika Serikat (Yamaguchi, 2011). Kata-kata ini merupakan peringatan serius bahwa pangan bukan hal sepele. Pangan bisa menjadi senjata untuk menciptakan keonaran atau sebagai senjata untuk menguasai, termasuk menjadi isu demokrasi dan politik untuk mengelola kekuasaan.
Untuk itu perlu langkah untuk menjaga ketersediaan dan keamanan pangan agar tetap jadi bangsa berdaulat, negara yang merdeka dan sejahtera. Hal itu bisa dimulai dengan menentukan pemimpin yang tepat untuk menahkodai bangsa dan negara Indonesia.
ADVERTISEMENT