Mencermati Perlambatan Ekonomi Singapura, Negeri Surga Belanja

18 April 2017 19:11 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ion Orchard, Orchard Road (Foto: Wikimedia Commons)
Dari Hermes hingga Louis Vuitton menempatkan gerai eksklusifnya di sini. Seri terbaru ponsel pintar iPhone terbit pertama kali di sini. Ragam barang murah impor dari China juga tersedia di sini, di Singapura --surga belanja dunia yang digandrungi sebagian orang Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, paras cantik Singapura yang menarik hati para shoppaholic kini berubah lebam.
Singapura yang dibanjiri investasi 10 miliar dolar AS selama 5 tahun terakhir gagal mempertahankan kedigdayaannya. Perdagangan di Singapura lesu akibat melemahnya ekonomi dalam negeri dan turunnya minat belanja wisatawan yang berkunjung ke sana.
Negeri yang kerap menjadi surga belanja di Asia Tenggara itu pun tertusuk tepat di jantung.
“Pengunjung di toko ini tak lebih dari 10 orang per harinya. Bahkan di hari-hari tertentu, kami benar-benar tidak menjual barang apapun. Kami cuma duduk dan harus membayar sewa,” ucap Ho, penyewa lapak di Orchard Gateway dikutip dari SBS.
Ilustrasi Singapura (Foto: Pixabay)
Tingginya investasi properti tak diikuti oleh jumlah properti yang laku. Vacancy rate atau angka properti yang tidak digunakan, meningkat di Singapura dari 5 persen menjadi 7,3 persen, dan angka tersebut diprediksi terus naik.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kekhawatiran akan kebangkrutan telah merasuk ke pengusaha ritel dan pemilik toko. Lembaga konsultan utang SG Debt Buster menyebutkan bahwa dalam setahun terakhir, angka kliennya meningkat tajam sejumlah 23 persen. Semuanya adalah pemilik toko di pusat kota Singapura.
Orchard Road (Foto: Wikimedia Commons)
Ketika Orchard Road goyah, Singapura ikut goyah. Menurut DBS Research Group, sektor jasa yang mencangkup sepertiga ekonomi menyebabkan Singapura mengalami resesi.
“Performa ekonomi yang lemah terjadi akibat jatuhnya sektor manufaktur dan jasa. Yang sejauh ini paling terkena dampaknya adalah sektor jasa,” beber penelitian tersebut.
Melemahnya sektor jasa disebabkan oleh konsumsi domestik dan melambatnya pertumbuhan dalam negeri. Ini membuat investor luar negeri yang telah lama mengandalkan Singapura sebagai etalase produk mereka di Asia, berpikir ulang.
ADVERTISEMENT
Penjualan produk fashion di Singapura terjun bebas 14,6 persen pada Februari 2016. Bulan Maret, rerata penurunan dari tahun 2015 ke 2016 mencapai 3,5 persen. Beberapa merk seperti New Look dan Celio bahkan mengatakan akan angkat kaki dari Singapura.
Ion Orchard Road (Foto: Wikimedia Commons)
Jika merk eksklusif disebut jadi magnet wisatawan untuk datang ke Singapura, kini strategi bisnis para produsen global tidak lagi demikian. Barang-barang mewah telah masuk ke Kuala Lumpur, Jakarta, dan Bangkok sepanjang 2016.
Faktor lainnya datang dari luar negeri, yaitu kebijakan ekonomi dari China dan Amerika Serikat.
Data Singapore Tourism Board Januari-September 2016 menyebutkan betapa pariwisata Singapura begitu bergantung pada China yang menempatkan jumlah dan sumbangan perputaran uang tertinggi dibanding negara lain. Sebanyak 2,3 juta wisatawan China pergi berlibur ke Singapura. Jumlah tersebut menyumbang belanja senilai 1,1 juta dolar AS.
ADVERTISEMENT
Namun angka tersebut konon lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebab, China kini membangun sendiri kompleks wisata dan properti-properti --yang selama ini dicari turis China ke Singapura. Ekonomi yang lesu yang tengah terjadi di China juga menjadi penghambat.
Kebijakan AS memengaruhi ekonomi Singapura dengan peningkatan suku bunga the Fed pada Desember 2016. Peningkatan suku bunga itu menahan konsumsi domestik.
Selain itu, langkah pemerintah Singapura yang memprioritaskan penyediaan lapangan kerja bagi warganya, menurunkan jumlah ekspatriat yang bergaji bagus di negeri itu. Konsekuensinya adalah penurunan daya beli konsumen 2,5 hingga 3 persen pada 2016. Padahal sebelumnya, selama 10 tahun terakhir, daya beli konsumen di Singapura rata-rata meningkat 3,6 persen.
Di luar catatan ekonomi makro yang buruk, warga Singapura memang tengah mengalami himpitan. Salah satu potret keresahan Singapura ada di wajah Dino Ahmari, manajer toko berusia 50 tahun. "Dahulu keluarga kami bisa belanja cukup sering, minimal sekali seminggu. Tapi tidak untuk sekarang ini. Kami hanya berbelanja sekali dalam dua bulan," ujarnya ketika diwawancarai Reuters.
ADVERTISEMENT