Memperluas Akses Keadilan di Jakarta Melalui Perda Bantuan Hukum

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law. Public Interest Lawyer Assistant at Jakarta Legal Aid Institute.
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2023 14:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Per 27 Oktober 2023, UU Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dalam hitungan hari akan berusia 12 tahun sejak ia disahkan. Berdasarkan konsiderannya, semangat UU Bankum tak lepas dari kewajiban negara dalam menghadirkan sarana perlindungan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Termasuk untuk menjamin hak konstitusional setiap warga untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan dan harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan.
Tertinggal oleh daerah-daerah lain, Jakarta hingga hari ini belum memiliki peraturan daerah tentang bantuan hukum. Padahal jika ditilik sejarahnya, Jakarta merupakan pionir sekaligus pelopor konsepsi legal aid pertama kali di Indonesia. Ketiadaan peraturan daerah ini tentu memiliki dampak signifikan bagi penerapan bantuan hukum sesuai dengan semangat sedari awal kehadiran UU Bankum.

Urgensi Perda Bankum di Jakarta

Merujuk pada Policy Brief Urgensi Perda Penyelenggaraan Bantuan hukum di DKI Jakarta 2022, heterogenitas penduduknya secara konkuren menimbulkan potensi dan risiko kerawanan sosial dan hukum di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Perbandingan luas lahan yang tetap dengan jumlah penduduk yang terus bertambah di DKI Jakarta mengakibatkan kerawanan seperti peningkatan kepadatan penduduk, lokasi rentan konflik, dan kesenjangan sosial. Kerawanan tersebut berpotensi besar merugikan rasa keamanan, kenyamanan, ketenteraman, dan hak asasi masyarakat di mana mereka bisa mempertahankan haknya sesuai dengan Pasal 28D ayat UUD 1945.
Legitimasi oleh konstitusi ternyata tidak cukup menafikan fakta di lapangan bahwa peningkatan jumlah permasalahan hukum warga tidak diiringi sarana atas akses keadilan yang mumpuni baik kuantitas maupun kualitasnya.
Sarana tersebut kebanyakan hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat kelas menengah yang tidak masuk kategori kelompok miskin dan rentan. Padahal warga miskin dan kelompok rentan tidak mudah dalam membela dirinya saat berhadapan dengan proses hukum. Hal itu karena keterbatasan finansial dan juga masih terbatasnya jumlah OBH (Organisasi Bantuan Hukum) yang ada.
ADVERTISEMENT
Data Kemenkumham menunjukkan terdapat 524 OBH terverifikasi di seluruh Indonesia hingga 2021, dengan DKI Jakarta memiliki 41 OBH yang telah terakreditasi. Dengan jumlah penduduk DKI Jakarta yang mencapai 10,64 juta, maka setiap OBH harus melayani sekitar 258.536 jiwa, tentu tidak ideal. Hal tersebut menunjukkan ketimpangan akses keadilan.

Ketersediaan Anggaran Bantuan Hukum di DKI Jakarta

Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Dari 1.178 kasus yang masuk di LBH APIK Jakarta pada 2020, hanya ada 21 kasus yang bisa dilakukan reimbursement ke BPHN. Sepanjang tahun 2020, dari 735 kasus yang masuk, hanya 2 persen yang dapat LBHM berikan bantuan hukum secara penuh.
Beberapa OBH lainnya pun memiliki kendala yang sama, yaitu kesulitan mengakses dana bantuan hukum. Berdasarkan perhitungan sebaran kebutuhan bantuan hukum, sekiranya 71 persen dari warga yang mengalami masalah hukum akhirnya tidak melakukan apapun, termasuk mencari informasi lebih jauh mengenai masalah yang mereka hadapi.
ADVERTISEMENT
Selama ini, penganggaran bantuan hukum telah dilakukan melalui APBN. Apabila kita merujuk pada alokasi anggaran bantuan hukum yang dialokasikan untuk DKI Jakarta melalui pos bantuan hukum di Kemenkumham, maka hanya sekitar 396 kasus dari total potensi kasus sebanyak 57.920 kasus yang dapat ditangani. Hal ini berarti ada 57.524 kasus lainnya yang tidak dapat menerima bantuan hukum karena keterbatasan sumber daya anggaran.
Padahal berdasarkan UU Bankum, terdapat tiga pihak yang saling terkait dalam proses pemberian bantuan hukum ini kepada masyarakat miskin. Pertama, pemerintah sebagai penyedia anggaran. Kedua, organisasi bantuan hukum sebagai penyedia jasa bantuan hukum. Ketiga, masyarakat miskin sebagai penerima manfaat bantuan hukum. Untuk itu, permasalahan ini tentu dapat dijawab dengan menghadirkan turunan UU Bankum dengan perda di DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT

Jaringan Advokasi Bantuan Hukum DKI Jakarta

Atas permasalahan bantuan hukum di Jakarta ini, Jaringan Advokasi Bantuan Hukum DKI Jakarta hadir mendorong Pemerintah dan DPRD DKI Jakarta untuk membuat Perda DKI Jakarta Tentang Bantuan Hukum sejak 10 tahun silam.
Jaringan ini telah melakukan advokasi mulai dari penyusunan naskah akademik serta policy brief yang terus diperbaharui setiap tahunnya, hingga menyampaikan secara tidak langsung dan langsung kepada para pemangku kebijakan agar niat baik ini tersampaikan.
Sayangnya, sampai saat ini belum ada itikad baik atau progress baik dari Pemda maupun DPRD untuk mengesahkan Perda Bankum. Beberapa dari tim mereka pun masih belum bisa menangkap dan memahami kekhususan dan karakteristik bantuan hukum di LBH Jakarta
ADVERTISEMENT

Harapan dari Kehadiran Perda Bankum di DKI Jakarta

Perda Bantuan Hukum DKI Jakarta nantinya bisa memastikan kesetaraan akses bantuan hukum untuk semua warga. Tidak lagi membedakan anggaran antara litigasi, non-litigasi, atau layanan hukum lainnya.
Anggaran mencakup kegiatan yang belum didukung pemerintah pusat serta biaya operasional di luar jasa hukum. Kemudian yang tak kalah penting juga adalah dengan Perda Bankum, bisa menerapkan kebijakan afirmasi dan memperkuat peran paralegal.