Urgensi Keadilan Restoratif dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Regina Dita Pradnyasari R
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
19 November 2020 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Regina Dita Pradnyasari R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengakomodasi keadilan restoratif dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“RKUHP”) sudah sewajarnya menjadi suatu urgensi. Keadilan restoratif merupakan suatu bentuk penyelesaian perkara yang memberikan win-win solution kepada korban beserta keluarganya dan pelaku tindak pidana sebab keadilan restoratif tidak berorientasi pada penjatuhan hukuman kepada pelaku tindak pidana melainkan berfokus pada pemberian reparasi bagi korban dan rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana. Dalam keadilan restoratif, pemberian ganti kerugian kepada korban serta unsur pemaafan dari korban menjadi hal yang diperhitungkan. Keadilan restoratif sendiri di Indonesia sudah diterapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan pidana, contohnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang memperkenalkan diversi dan keadilan restoratif sebagai pranata baru sistem peradilan. Diversi merupakan salah satu bentuk upaya penyelesaian perkara melalui pendekatan restoratif yang menekankan terciptanya perdamaian antara korban dan anak sebagai pelaku tindak pidana dengan cara mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
ADVERTISEMENT
Banyak pendapat pro dan kontra mengenai keadilan restoratif dalam RKUHP apakah sudah diakomodasi atau belum. Tidak dapat dipungkiri bahwa Buku II RKUHP telah meningkatkan sanksi pidana dan jenis tindakan yang dapat dipidana. Hal tersebut tentu mengundang pemikiran publik bahwa seolah-seolah setiap permasalahan harus diselesaikan dengan hukum pidana. Pemikiran tersebut merujuk pada hukum pidana sebagai primum remedium.
Untuk menilai RKUHP tidaklah bijak jika kita hanya berfokus pada satu bab saja. RKUHP harus dikaji secara keseluruhan sebab RKUHP adalah suatu kesatuan yang tiap babnya saling berkesinambungan. Dalam RKUHP, keadilan restoratif dapat ditelisik melalui Buku I tentang Aturan Umum. Melalui Buku I RKUHP dapat diketahui bahwa RKUHP menganut konsep rechterlijke pardon atau pemaafan hakim sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 dimana hakim dengan alasan yang telah ditentukan seperti ringannya perbuatan, keadaan pribadi, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan sanksi pidana atau mengenakan tindakan kepada pelaku dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanusiaan. RKUHP juga mendesain sanksi pidana dari yang ringan ke yang paling berat. Hal ini menandakan bahwa RKUHP mencoba mengakomodasi prinsip keadilan restoratif dengan membuka kemungkinan bahwa pidana berat adalah upaya terakhir yang ditempuh. Salah satunya dibuktikan dalam Pasal 70 RKUHP yang mengalternatifkan pidana penjara dengan pidana denda, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial karena kondisi tertentu yang salah satunya apabila terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban.
ADVERTISEMENT
Secara historis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") merupakan warisan dari Belanda yang sudah diterapkan sejak tahun 1918 hingga sekarang sehingga tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat saat ini. Perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan & teknologi berbanding lurus dengan meningkatnya angka kriminalitas. Jika melihat kondisi Lembaga Permasyakatan (“LAPAS”) di Indonesia yang mengalami over capacity maka keadilan retributif atau keadilan yang hanya berfokus pada pembalasan dan penghukuman seperti yang diterapkan dalam KUHP saat ini cenderung tidak lagi relevan. Ironisnya, hampir seluruh tindak pidana kejahatan selalu berakhir di LAPAS. Banyak aparat penegak hukum yang terburu-buru menerapkan upaya penal bagi pelaku tindak pidana padahal terdapat banyak alternatif pemidanaan di luar penjara. Namun, karena kapasitas narapidana yang berlebihan LAPAS yang seharusnya berfungsi sebagai tempat pembinaan untuk menyiapkan narapidana menjadi pribadi yang lebih baik untuk kembali ke masyarakat menjadi sulit diwujudkan. Tak jarang narapidana yang sudah habis masa tahanan dan keluar dari LAPAS menjadi residivis karena melakukan kejahatan lagi. Oleh karena itu, dengan mengakomodasi keadilan restoratif dalam pembaharuan Hukum Pidana Nasional Indonesia melalui RKUHP yang menawarkan pemidanaan non penjara sebagai upaya non penal dapat menjadi solusi.
ADVERTISEMENT
Regina Dita Pradnyasari R.
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada