Kekerasan di Tanah Rantau: Komunitas Diaspora Eritrea di Ibu Kota Belanda

Naufal Rasendriya Apta Raharema
Graduate Student of Conflict and Development Studies at Ghent University
Konten dari Pengguna
24 Februari 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Rasendriya Apta Raharema tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Belanda. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Belanda. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sabtu lalu, konfrontasi politik terjadi di ibu kota Belanda, Den Haag, antara pendukung dan oposisi dari rezim yang berkuasa di Eritrea. Kelompok pendukung rezim Isaias Afewerki ini mengadakan pertemuan di suatu pusat konferensi yang mana pada akhirnya menarik kedatangan kelompok tandingan.
ADVERTISEMENT
Sebagai dampak dari konfrontasi yang berujung menjadi kerusuhan antar dua kelompok ini, 8 personel polisi terluka, 2 kendaraan polisi dibakar, beberapa mobil hancur akibat lemparan batu, serta pusat konferensi juga mengalami kerusakan berat.
Hingga kini, ada 13 tersangka berusia antara 19 dan 36 tahun yang ditahan pihak kepolisian karena diduga melakukan kekerasan di muka umum dan memiliki senjata.

Dua Kelompok Diaspora

Secara umum, Eritrea memiliki pemerintahan yang keditaktoran di mana kebebasan pers serta kebebasan berekspresi dan beragama dinilai sangat terbatas atau hingga tidak ada oleh Amnesty International, suatu organisasi yang berfokus kepada hak asasi manusia.
Selain itu, penghilangan paksa, penyiksaan, serta hukuman penjara dapat terjadi terhadap mereka yang mengkritisi rezim maupun partai yang kini memegang kekuasaan. Karenanya, banyak orang Eritrea yang melarikan diri ke luar negeri, dari Sudan, Mesir, Libya, hingga menyeberangi Laut Mediterania demi mencapai negara-negara Eropa, termasuk Belanda yang kini telah menjadi rumah bagi kurang lebih 25.000 orang Eritrea.
ADVERTISEMENT
Secara historis, orang-orang Eritrea telah melarikan diri ke luar negeri, termasuk Belanda, sejak tahun 1980-an pula, di saat perang kemerdekaan Eritrea dari Ethiopia sedang berkecamuk. Di antara orang-orang tersebut, banyak juga yang merupakan pendukung dari Presiden Afewerki, pemimpin perlawanan Marxis yang aktif pada perang kemerdekaan hingga pada akhirnya menjadi presiden Eritrea pertama sejak 1993 hingga kini.
Janji-janji demokratis Afewerki, yang kini juga memiliki hubungan dengan Rusia dan Cina, berubah menjadi omong kosong belaka, seperti sudah disebutkan sebelumnya.
Salah satu pihak dari kerusuhan ini adalah organisasi diaspora Eritrea bernama Brigade Nhamedu. Para demonstran tandingan ini adalah pemuda Eritrea dari pihak oposisi, yang melarikan diri dari rezim Afewerki dan menamakan diri mereka Brigade Nhamedu sejak tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Organisasi ini melihat pertemuan para pendukung rezim sebagai target utama, oleh karena itu mereka akan mencoba untuk melakukan apa saja untuk mengacaukannya. Intervensi yang mana pada akhirnya menyebabkan kerusuhan di Den Haag kemarin juga terjadi di pertemuan lain di Swedia, Jerman, Amerika Serikat, dan Kanada beberapa waktu lalu.
Brigade Nhamedu menginginkan pemerintah di negara-negara tersebut untuk melarang festival dan pertemuan para pendukung rezim Eritrea dan mengambil sikap yang lebih tegas. Festival-festival maupun pertemuan antara para pendukung rezim ini dinilai mempromosikan dan melanggengkan kediktatoran.
Selain menjadi ajang menggalang dukungan bagi rezim yang kini sedang dalam kesulitan akibat banyaknya sanksi, acara-acara tersebut juga dilihat sebagai titik penekan bagi diaspora Eritrea secara keseluruhan, di mana orang-orang yang melarikan diri dari rezim tersebut masih diperas untuk membayar pajak.
ADVERTISEMENT

Perpanjangan Tangan Rezim dan Potensi Deportasi

Pergulatan politik domestik ini telah diekspor secara internasional, termasuk yang terbaru ke Den Haag kemarin serta negara-negara lain beberapa waktu lalu. Menariknya, bisa saja kerusuhan-kerusuhan ini sebenarnya adalah upaya pembungkaman yang dilakukan oleh rezim Eritrea dari jarak jauh.
Rezim Afewerki dinilai memiliki tangan yang panjang. Pada tahun 2017 dan 2020, disebutkan bahwa agen-agen rahasia rezim tersebut mengintimidasi warga Eritrea di Belanda. Mereka juga ditekan untuk membayar uang dan jika menolak, ancamannya adalah keluarga mereka di Eritrea akan menderita.
Maka, bukan tidak mungkin bahwa ada peran kelompok-kelompok maupun agen rahasia dari rezim yang sengaja memulai kerusuhan tersebut. Seperti halnya yang terjadi di Tel Aviv tahun lalu di mana kelompok paramiliter Eritrea disinyalir menyulut kerusuhan antara pendukung Afewerki, pihak oposisi, serta polisi yang akhirnya menyebabkan 140 orang terluka.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, investigasi mendalam terhadap kerusuhan kemarin sangatlah penting untuk dilakukan demi mendapatkan keterangan lebih mengenai pihak-pihak yang terlibat, maupun diuntungkan.
Bisa jadi pula bahwa yang kemarin hadir di pusat konferensi di Den Haag tidak semuanya adalah pendukung rezim, namun juga individu-individu yang terpaksa untuk hadir dan berpura-pura mendukung status quo demi menghindari hal-hal terburuk yang dapat dilakukan oleh rezim terhadap dirinya maupun keluarganya di Eritrea.
Kemungkinan terburuknya, orang-orang Eritrea yang mengungsi di Belanda dipandang buruk dan Den Haag justru memutuskan untuk memulangkan mereka ke negara asalnya. Jika terjadi, mereka yang berseberangan dengan rezim akan sangat terancam sekembalinya ke Eritrea.
Pihak dari spektrum kanan Belanda sudah mengeluarkan pernyataan terkait kerusuhan ini, dan sepertinya justru bisa mengeksploitasinya menjadi keuntungan bagi mereka. Pemimpin PVV, Geert Wilders, percaya bahwa para pelaku harus ditangkap dan dideportasi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, VVD menginginkan "hukuman yang keras" dan percaya bahwa kekerasan semacam itu harus memiliki konsekuensi pada perkara izin tinggal mereka. Berbagai pihak juga menginginkan adanya investigasi atas ketegangan antara kedua kelompok tersebut.

Pembungkaman dan Mobilisasi Diaspora

Situasi ini memunculkan satu pertanyaan mengenai apa urgensinya pembungkaman maupun mobilisasi diaspora. Menurut Lyons dan Mandaville (2010), globalisasi telah membuat mobilisasi diaspora menjadi strategi politik yang semakin menarik, efektif, dan karenanya semakin umum digunakan.
Diaspora yang aktif dalam politik dapat memposisikan diri mereka sebagai aktor yang menentukan wacana dan posisi politik tertentu mengenai tanah airnya, dan hal ini dapat menjadi hal positif maupun negatif tergantung dari posisi pemerintahan negara asal.
Senada, van Naerssen (2011) juga berargumen bahwa pemerintah nasional negara asal telah menemukan bahwa mereka dapat menggunakan potensi dari (mantan) warga negara mereka yang berpindah, termasuk untuk menjalankan berbagai praktik yang menguntungkan pemerintahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Lyons dan Mandaville (2010) juga menambahkan bahwa dalam praktiknya, pemerintahan negara asal berinvestasi dalam menciptakan dan mempertahankan diaspora karena jaringan ini merupakan aset strategis yang memungkinkan mereka untuk (1) menggunakan kerangka dan kategori identitas tertentu, (2) membuat klaim atas sumber daya dan kesetiaan, dan (3) terlibat dalam berbagai kegiatan di lokasi-lokasi yang tersebar untuk memaksimalkan dampak yang menguntungkan.
Pada akhirnya, salah satu faktor terpenting yang membentuk sifat dan hasil mobilisasi tersebut berkaitan dengan pertanyaan tentang siapa aktor yang melakukan mobilisasi. Dalam hal ini, bisa dilihat bahwa pemimpin Eritrea adalah yang berupaya untuk menjangkau konstituen yang berada jauh dari negara asal untuk dimasukkan ke dalam urusan dan agenda politiknya.