Feminisme: Aborsi dalam Perspektif Tightness dan Looseness Culture

Rany Aprilia Utami
Mahasiswa Magister Psikologi, Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
31 Maret 2024 9:20 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rany Aprilia Utami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi aborsi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aborsi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Feminisme diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kesejahteraan perempuan, membahas isu-isu perempuan, dan mengutuk ketidakadilan terhadap perempuan. Istilah feminisme berasal dari bahasa latin “femina” yang berarti “wanita” atau “memiliki kualitas perempuan”. Ada beberapa isu dalam feminisme yang sering mengandung polemik, salah satunya isu aborsi. Aborsi dalam pandangan feminisme disepakati sebagai hak atas tubuh perempuan berkaitan dengan konteks ideologi, politik, dan sosial budaya yang berkembang di lingkup masyarakat sebagai bagian dari warga negara (Deyis, 2021). Beberapa waktu lalu tepatnya pada 4 Maret 2024, anggota parlemen Prancis menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memasukkan hak aborsi ke dalam konstitusi negaranya. Sehingga Prancis tengah menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara gamblang menjamin hak perempuan untuk mengakhiri kehamilannya secara sukarela. Sedangkan Indonesia memandang aborsi dengan lebih moderat di mana aborsi pada dasarnya dilarang dalam Pasal 299, 346, 347, dan 348 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan memperbolehkan aborsi dalam keadaan tertentu (Savira & Novianto, 2014).
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara di dunia, pandangan tentang aborsi berbeda-beda karena dipengaruhi oleh faktor sosialnya. Misalnya di Greenland, anak mudanya sudah mulai berhubungan seks pada usia 14-15 tahun, dan statistik nasionalnya menyebutkan 63% anak berusia 15 tahun berhubungan seks secara rutin. Selain itu, perdebatan terkait seks bebas, kehamilan di luar nikah dan aborsi bukanlah hal yang tabu dan bersifat non-etis. Sedangkan di Indonesia, masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang melarang tindakan aborsi, kecuali jika janin yang dipertahankan akan membahayakan nyawa ibu atau keduanya. Masyarakat Indonesia umumnya memandang hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diharapkan sampai praktik aborsi secara sukarela sebagai suatu tindakan yang tercela (Deyis, 2021).
ADVERTISEMENT
Studi oleh Cheng et al., (2024) terhadap 294 orang dewasa di Amerika Serikat mengemukakan bahwa terdapat faktor psikologi selain faktor sosial yang berpengaruh tentang pandangan terhadap aborsi, pertama; empati, semakin besar empati terhadap perempuan yang mengandung, semakin besar dukungan terhadap tindakan aborsi, dan sebaliknya, semakin besar empati terhadap janin, dukungan terhadap tindakan aborsi akan semakin minim. Kedua, Locus of Control (LoC), internal LoC secara positif erat kaitannya dengan kepercayaan keagamaan, dan berhubungan dengan empati terhadap janin yang belum lahir. Sedangkan external LoC berhubungan positif dengan aborsi elektif-aborsi berdasarkan keinginan pribadi tanpa ada dasar urgensi medis. Ketiga, need for cognition, kebutuhan akan berpikir berhubungan positif dengan dukungan terhadap aborsi, mengingat ideologi liberal berkorelasi positif terhadap kebutuhan untuk selalu beprogresif.
ADVERTISEMENT
Aborsi dalam Perspektif Tightness dan Looseness Culture
Faktor-faktor tersebut menandakan terdapat dua pandangan berbeda di tengah masyarakat global dalam menyikapi persoalan aborsi ini, yaitu Pro-Life dan Pro-Choice. Kubu Pro-Life tidak menyetujui adanya tindakan aborsi melalui pendekatan moral dan religius sebagai dasar argumennya karena bayi yang belum lahir merupakan subjek moral yang memiliki hak untuk hidup sehingga harus dilindungi. Sedangkan Pro-Choice menyetujui dilakukannya aborsi berdasar pada hak reproduksi perempuan yang mengalami Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya untuk melanjutkan atau menghentikan kehamilan dengan alasan apa pun (Savira & Novianto, 2014).
Kubu Pro-Life dalam Tightness Culture
Tightness culture adalah kelompok sosial masyarakat yang budayanya ketat akan norma yang kuat dan memiliki toleransi yang rendah terhadap perilaku menyimpang (Dangl et al., 2011). Dalam budaya yang ketat ini, nilai religiusitas masyarakatnya cenderung tinggi sehingga memperkuat kepatuhan terhadap konvensi dan aturan moral yang bisa memfasilitasi tatanan sosial. Misalnya Gereja Protestan Evangelis maupun Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa aborsi dan pengendalian kelahiran adalah dosa—keyakinan yang juga dapat membatasi perempuan dan peran gender tradisionalnya (Qin et al., 2023). Selain itu, Islam juga menetapkan aturan hukum bagi pelaku aborsi, yaitu Qisas dan Dfyat sebagai upaya melindungi nyawa manusia, di mana para ahli hukum Islam sepakat bahwa haram hukumnya bila melakukan aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin (Mardani, 2021).
ADVERTISEMENT
Individu dalam masyarakat struktural budaya yang ketat cenderung memiliki regulasi diri terhadap pencegahan berbagai perbuatan yang dianggap menyimpang secara norma, sehingga mereka akan lebih berhati-hati dan fokus pada perilaku yang tepat karena tidak ingin dikucilkan oleh masyarakat. Jika hal-hal menyimpang telah terjadi, individu yang bersangkutan khawatir akan diskriminasi sosial, misalnya di Kenya, perempuan-perempuan yang melakukan aborsi memilih untuk pindah sementara atau permanen ke lingkungan baru yang menyebabkan kehidupan mereka menjadi termarginalkan. DI sisi lain, jika masyarakat mengetahui bahwa seorang perempuan telah melakukan aborsi hal ini akan mengurangi nilai dan kesempatan perempuan tersebut di “pasar” pernikahan karena institusi pernikahan sangat berharga, dan menurut mayoritas masyarakatnya, pernikahan didefinisikan sebagai “ritus peralihan” yang penting ke dalam kehidupan keluarga (Ushie et al., 2019)
ADVERTISEMENT
Kubu Pro-Choice dalam Looseness Cultures
Looseness culture adalah kelompok sosial masyarakat yang budayanya memiliki norma sosial yang lemah dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perilaku menyimpang (Dangl et al., 2011). Kelompok budaya yang longgar jarang memiliki konsensus moral sehingga keputusan aborsi diserahkan kepada individu, dan bagi para relativis argumen ini dapat meyakinkan dan mengarahkan pada dukungan agar aborsi yang dilegalkan (Emerson & Emersont, 2016). Di negara berkebudayaan longgar (loose) terjadi sosialisasi yang luas, seperti demonstrasi, boikot dan aksi mogok karena kebebasan berperilaku sangat dijunjung tinggi. Misalnya dalam sebuah aksi perempuan untuk keadilan aborsi di Washington DC 2 Oktober 2021 silam, para demonstrannya memegang berbagai poster, bertuliskan "Mind Your Own Womb", "Legalize Abortion!” atau sejenisnya.
ADVERTISEMENT
Budaya yang longgar memberikan sedikit saja batasan eksternal pada individu namun memberikan ruang untuk keleluasaan individu, sesuai dalam konteks feminist jurisprudence, perempuan memiliki hak atas tubuhnya dan menolak tubuhnya dikendalikan oleh orang luar yang dalam perspektif feminis adalah dunia patriarkal laki-laki (Savira & Novianto, 2014)
Dari pro-kontra terhadap aborsi tersebut hendaknya kita sebagai masyarakat Indonesia yang cenderung pada tightness culture harus bisa mempertahankan cara berpikir holistik (dialectical thinking) agar tatanan sosial kita tidak mudah tergerus oleh budaya yang tidak sesuai yang sudah dibuktikan dari berbagai studi ilmiah para akademisi. Meskipun ada pengecualian terhadap tindakan aborsi disebabkan beberapa alasan khusus, sepatutnya sebelum hal itu terjadi, tindakan preventif dari negara harus ditegakkan terlebih dahulu misalnya penerapan kurikulum pendidikan seksualitas berlandaskan agama di sekolah-sekolah, penutupan situs porno, filterisasi konten sosial media dengan ketat, pelarangan minuman keras atau zat-zat terlarang lainnya dengan tegas, serta membatasi ruang interaksi antara perempuan dan laki-laki yang berpotensi terjadi pelecehan seksual. Tidak hanya itu, tanggung jawab selaku individu manusia yang berakal pun harus selalu kita maksimalkan dengan mengimplementasikan nilai-nilai religiusitas dan norma sosial budaya Indonesia kita yang terhormat.
ADVERTISEMENT
Referensi
Cheng, J., Xu, P., & Thostenson, C. (2024). Psychological traits and public attitudes towards abortion: the role of empathy, locus of control, and need for cognition. Humanities and Social Sciences Communications, 11(1). https://doi.org/10.1057/s41599-023-02487-z
Dangl, J. L., Raaijmakers, J. M., Gardener, B. B. M., Thomashow, L. S., Handelsman, J., Consortium, M., Scheper, R. W. A., Schilder, M. T., Silby, M. W., Raaijmakers, J. M., Levy, S. B., Boer, W. D., Pangesti, N., Milliano, M. De, Sharma, N., Vries, R. De, & Schoone, A. H. L. (2011). Cultures : A 33-Nation Study. May.
Deyis, M. R. S. (2021). Polemik Kebijakan Aborsi Berdasarkan Perspektif Feminisme : Studi Komparatif Greenland dan Indonesia. October, 0–11.
ADVERTISEMENT
Emerson, M. O., & Emersont, M. (2016). Through Tinted Glasses : Religion , Worldviews , and Abortion Attitudes Published by : Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL : http://www.jstor.org/stable/1386394 Through Tinted Glasses : Religion , Worldviews , and Ab. 35(1), 41–55.
Mardani, M. (2021). Aborsi dalam Perspektif Hukum Islam. Indonesian Journal of International Law, 4(4). https://doi.org/10.17304/ijil.vol4.4.163
Qin, X., Chua, R. Y. J., Tan, L., Li, W., & Chen, C. (2023). Gender bias in cultural tightness across the 50 US states, its correlates, and links to gender inequality in leadership and innovation. PNAS Nexus, 2(8), 1–17. https://doi.org/10.1093/pnasnexus/pgad238
Savira, V., & Novianto, W. T. (2014). Korban Perkosaan Di Indonesia. Recidive, 9(2), 512–513.
ADVERTISEMENT
Ushie, B. A., Juma, K., Kimemia, G., Ouedraogo, R., Bangha, M., & Mutua, M. (2019). Community perception of abortion, women who abort and abortifacients in Kisumu and Nairobi counties, Kenya. PLoS ONE, 14(12), 1–13. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0226120