Partai Islam Baru, PA 212: Potensi Politik Identitas Tahun 2024

Randy Davrian Imansyah
Junior Media Analyst -- Political Science Bachelors Degree at UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
9 Desember 2021 19:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Randy Davrian Imansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana aksi reuni 212 di kawasan Monas, pada Desember 2019. ARUNA/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Suasana aksi reuni 212 di kawasan Monas, pada Desember 2019. ARUNA/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Agenda reuni PA 212 tahun ini dan tahun mendatang bisa jadi adalah upaya test the water untuk tahun 2024 dan usaha untuk merapatkan barisannya kembali. Tidak ketinggalan, terdapat indikasi terselip kepentingan partai islam baru yang beberapa kadernya tidak lain merupakan simpatisan PA 212.
ADVERTISEMENT
Reuni Presidium Alumni (PA) 212 yang direncanakan digelar pada tanggal 2 Desember 2021 akhirnya gagal dilaksanakan karena tidak mendapat izin dari Polda Metro Jaya. Massa reuni PA 212 dibarikade untuk memasuki patung kuda Jakarta.
PA 212 memiliki sejarah di perpolitikan Indonesia yang ditandai dengan Aksi Bela Islam terkait reaksi pernyataan kontroversial Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.
Reaksi dari PA 212 itu menjegal langkah Ahok dengan politik identitas pada agenda Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang memenangkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Saat itu, Anies Baswedan disokong oleh Partai Gerindra, PKS, Partai Perindo, dan Partai Idaman.
Pergerakan politik PA 212 tidak berhenti pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Pada kontestasi Pilpres tahun 2019, PA 212 menjadi motor dukungan bagi pasangan calon nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. selain dimotori oleh PA 212, Prabowo Subianto juga diusung oleh Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya. Namun kali ini Prabowo bersama PA 212 dan partai pengusungnya tidak bisa menghancurkan dominasi Joko Widodo sebagai inkumben Presiden Republik Indonesia pada gelaran Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
Menuju agenda Pemilu tahun 2024, hingga saat ini belum terdapat bakal calon presiden dan partai politik yang sudah ajek terang-terangan mendekati dengan PA 212. Termasuk partai-partai yang pernah berkolaborasi dengan PA 212 seperti Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan Partai Perindo. Nama tokoh seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Parekraf Sandiaga Uno bahkan dimusuhi oleh PA 212. Sedangkan Anies Baswedan memilih bungkam menanggapi PA 212.
Sikap lain ditunjukkan oleh PKS yang mendukung adanya reuni PA 212 pada 2 Desember 2021, Bukan tidak mungkin PKS akan membutuhkan kekuatan PA 212 untuk mengarungi ajak Pemilu tahun 2024 seperti di pertarungan Pilkada DKI tahun 2017 dan Pemilu tahun 2019. Terlebih ideologi PKS dan PA 212 tidak beda jauh yaitu nuansa agama islam.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kontestasi politik lalu tersebut, tentunya perjalanan politik PA 212 masih menjadi perhatian dan juga konstituen yang menarik bagi partai-partai islam untuk mendapatkan sponsor politik. Tahun 2024 menjadi tahun politik yang tentunya akan diwarnai wajah-wajah baru partai islam sebut saja partai politik baru seperti Partai Ummat dan Partai Masyumi yang juga memiliki sejarah kuat dengan PA 212.
Sebagai Partai politik baru yang berideologi islam, Partai Ummat dan Partai Masyumi memiliki kedekatan dengan PA 212 yang dibuktikan dengan pengurus Partai itu yang pernah menjadi penggerak PA 212. Di Partai Ummat, sebut saja Amien Rais selaku Ketua Majelis Syuro partai berlambang bintang emas itu. Amien Rais salah satu tokoh yang vokal di PA 212. Di barisan Partai Masyumi, terdapat Ahmad Yani sebagai ketua Partai politik itu. Ahmad Yani pernah menyatakan bahwa Partai Masyumi siap menampung suara PA 212.
ADVERTISEMENT
Kedekatan antara Partai Ummat dan Partai Masyumi dengan PA 212 dapat dikorelasikan dengan kepentingan elektabilitas kedua partai politik tersebut. Sebagai partai politik baru pastinya partai baru berideologi islam itu memerlukan pamor dan elektabilitas yang baik untuk mengarungi Pemilu tahun 2024.
Dari hasil survei Indikator Politik Indonesia per 5 Desember 2021 pada simulasi 18 nama partai semi terbuka, Partai Ummat mendapatkan 0,1% respons sedangkan nama Partai Masyumi tidak muncul pada survei tersebut. hasil respons survei tersebut bagi Partai Ummat dan Partai Masyumi dapat menjadi tanda peringatan yang berarti pamor dan elektabilitas Partainya belum baik dimata publik.
Hasil survei ini dapat menjadi indikasi kedua partai itu memerlukan dukungan dari massa 212 di kemudian hari, seperti PA 212 mendukung Anies Baswedan di Pilkada DKI tahun 2017 dan Prabowo Subianto di Pilpres tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin PA 212 akan memainkan permainan politik yang sama yaitu politik identitas di Pemilu 2024 mendatang. Politisasi isu identitas masih menjadi narasi yang dominan, seperti pada Pilkada Kota Depok tahun 2020. Perilaku pemilih dapat menunjukkan indikasi bahwa mobilisasi pemilih berdasarkan isu-isu keagamaan masih laris dalam pemilu tahun 2024.
Sebagian pihak menilai taktik politik identitas menimbulkan sentimen dan tensi politik yang negatif di tengah kehidupan masyarakat yang berkemajemukan. Politik identitas tersebut akan mengakibatkan perpecahan di masyarakat dan nantinya politik identitas akan berpolarisasi dalam masyarakat dan di takutkan tidak bersifat temporer namun akan berlangsung lama dan permanen. Kecenderungan pemilih seharusnya bahwa pilihan publik terhadap pasangan calon, sangat ditentukan oleh faktor kredibilitas, integritas dan program dalam pasangan calon tersebut, bukan dilihat hanya melalui identitas yang sama.
ADVERTISEMENT
Bukti keretakan sosial di tengah kehidupan bermasyarakat akibat politik identitas dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Polmark pada tahun 2018. Dari survei itu ditemukan terdapat 5,7% responden yang menyatakan pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menghasilkan keretakan pertemanan. Angka ini naik dari kontestasi sebelumnya yaitu Pemilu tahun 2014 yaitu 4,3% responden.
Persentase 5,7% hasil residu politik identitas pada Pilkada 2017 tidak boleh dianggap remeh atau anggapan angka tersebut kecil. Karena di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen, keretakan kecil dapat menghasilkan jurang pemisah yang lebih lebar lagi.
Polarisasi di tengah masyarakat yang kian masif tersebut seakan tidak lepas dari berbagai sentimen di dalamnya. Sebut saja istilah seperti “cebong”, “kampret”, dan yang tidak kalah familiar yang melekat pada mereka yang memiliki keturunan etnis arab yaitu “kadrun” dan etnis tionghoa "cukong". Sentimen-sentimen tersebut menghiasi ruang digital dan bahkan tercermin di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Praktik politik identitas menjadikan minimnya pertarungan ide atau gagasan yang sudah sepatutnya menjadi pertunjukan utama yang menghiasi kontestasi politik.
Lantas bagaimana dengan partai politik? Pragmatisme partai semakin terlihat di mana yang seharusnya partai menjadi wadah untuk mengelola konflik namun justru seakan menikmati situasi ini. Konstituen menjadi arena perebutan yang menggiurkan untuk melenggang dan menduduki kursi nyaman sebagai anggota dewan. Alhasil situasi diperburuk dengan lahirnya perwakilan yang tidak merepresentasikan masyarakat umum.
RANDY DAVRIAN IMANSYAH | MOCHAMAD ATAMI RIDWAN | FARID ABIYYU NAUFAL | RAHMAT HIDAYAT | MUHAMMAD APRILIANSYAH