Menghancurkan Algoritma Pemilu 2024

Randy Davrian Imansyah
Junior Media Analyst -- Political Science Bachelors Degree at UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
25 Juli 2023 14:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Randy Davrian Imansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Surat suara yang digunakan untuk pelatihan tata cara pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di GOR Bulungan, Jakarta, Sabtu (6/4). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Surat suara yang digunakan untuk pelatihan tata cara pencoblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di GOR Bulungan, Jakarta, Sabtu (6/4). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu tahun 2024 yang terdiri dari pilpres dan pileg akan diselenggarakan secara serentak pada 14 Februari 2024. Namun pemilu serentak telah menciptakan algoritma bagi kecenderungan pilihan oleh pemilih yang dapat mengancam terselenggaranya demokrasi di Indonesia yang hanya menguntungkan elite politik.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu serentak pada tahun 2019. Penyelenggaraan pemilu serentak didesain oleh para elite politik yang bertujuan untuk menghadirkan coattail effect atau efek buntut jas.
Coattail effect menciptakan algoritma bagi pemilih untuk memilih calon anggota legislatif (caleg) atau partai politik yang selaras dengan pilihan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang dipilih oleh pemilih tersebut.
Contohnya, apabila pemilih memilih capres X, maka algoritma pikiran dari mayoritas pemilih ini akan memilih partai politik yang mendukung capres X.
Kita ambil contoh seperti pada pemilu tahun 2019. Pemilih yang memilih pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, maka algoritma pikiran mayoritas dari mereka juga akan memilih caleg atau partai politik yang mendukung Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
Hal ini juga berlaku bagi pasangan Prabowo-Sandi saat itu. Dari algoritma coattail effect tersebut—umumnya apabila pasangan capres-cawapres menang dalam kontestasi politik—maka akan berdampak langsung terhadap kemenangan partai politik pendukung.
ADVERTISEMENT
Kehadiran algoritma pilihan pada pemilu serentak ini menghasilkan pemerintahan yang tidak ideal. Sejatinya, demokrasi menghendaki adanya check and balance. Hal ini sesuai dengan prinsip dari fungsi lembaga legislatif dalam hal ini ialah DPR untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
Apabila mayoritas parlemen dikuasai oleh partai politik pendukung capres pemenang, maka pengawasan terhadap pemerintah akan tidak berjalan dengan ideal, sebab tidak hadirnya oposisi yang kuat di parlemen terhadap pemerintah.
Hal ini telah Indonesia alami pada era pemerintahan Presiden Jokowi pada periode 2019-2024. Sebab, komposisi pada kursi parlemen mayoritas diisi oleh partai pendukung pemerintah dibanding partai oposisi.
Lembaga legislatif terasa satu suara dengan pemerintah dibanding menyikapi dengan kritis terhadap kebijakan pemerintah agar tercipta check and balance. Pada DPR RI periode 2019-2024, hanya terdapat dua partai politik oposisi, yaitu PKS dan Partai Demokrat.
Surat suara pemilu 2019. Foto: Fadjar Hadi/kumparan
Selain dipengaruhi oleh perpindahan partai politik yang bergabung dengan pemerintah pasca pemilu tahun 2019—seperti Partai Gerindra dan PAN—faktor yang menjadi akar permasalahan ialah perolehan suara yang mempengaruhi komposisi perolehan kursi terhadap partai politik pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
ADVERTISEMENT
Komposisi mayoritas DPR RI dikuasai oleh partai politik pendukung Jokowi dan Ma'ruf Amin. Bahkan PDI Perjuangan yang mengusung Joko Widodo sebagai presiden telah menjadi partai politik pemenang pemilu tahun 2019.
Hal yang diperoleh oleh PDI Perjuangan dan koalisi pendukung Joko Widodo dan Ma'ruf Amin yang menjadi partai politik mayoritas dipengaruhi oleh algoritma pemilu serentak yang berasal dari coattail effect.
Pemilu serentak tahun 2024 merupakan momentum untuk menciptakan pemerintahan yang ideal yang tidak tersandera dengan algoritma pemilu serentak, yaitu coattail effect. Pemilih harus menyikapi secara ideal pilihan atas pasangan capres dan cawapres serta pilihan caleg atau partai politiknya.

Memilih Pasangan Capres dan Cawapres Ideal

Sang Surat Suara si Maskot KPU Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Pemilih perlu sadar, bahwa presiden dan wakil presiden ialah pemegang keputusan atas kebijakan strategis yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sehingga kualitas dan kapabilitas dari seorang capres dan cawapres perlu dipertimbangkan secara matang untuk dipilih oleh pemilih.
ADVERTISEMENT

Memilih Caleg/Partai Politik yang Tak Mendukung Pasangan Capres-Cawapres yang Dipilih

Selain pemilih memilih caleg atau partai politik yang dirasa dapat mewakili aspirasi pemilih, pilihan anda terhadap caleg atau partai politik ini akan sangat menentukan untuk menghancurkan algoritma Pemilu serentak tahun 2024.
Dengan memilih caleg atau partai politik yang tidak berkoalisi dengan pasangan capres dan cawapres yang anda pilih. Maka diharapkan dapat tercipta check and balance yang lebih baik.
Yang terpenting ialah algoritma yang menghasilkan dominasi partai politik atas komposisi lembaga legislatif dapat diminimalisasi, sehingga parlemen dapat menjalankan tugasnya dengan semestinya.