salah tangkap.jpg

Sepotong Stigma, Bejibun Derita bagi Korban Salah Tangkap

Rama Swahuda
Sarjana Kriminologi
1 Agustus 2019 23:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi tahanan. foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan. foto: pixabay
Korban ‘Salah Tangkap’: Menelan Stigma dan Kekerasan
ADVERTISEMENT
Kejahatan dan stigma. Dua variabel yang saling memengaruhi. Michalowski dalam bukunya yang berjudul Perspective and Paradigm Structuring Criminological Thought, menjelaskan kejahatan muncul akibat respons masyarakat akan perbuatan tersebut.
Ini menjelaskan perihal adanya relativitas kejahatan bahwa perilaku jahat adalah apa yang dianggap jahat oleh masyarakat. Premis tersebut mengungkapkan bahwa kejahatan merupakan ‘label’ yang diberikan oleh masyarakat atas sebuah perilaku. Label atau stigma yang telah melekat pada sebuah perbuatan memengaruhi perlakuan pihak lain terhadap si pemilik stigma.
Ini menjadi landasan argumen bahwa sepotong stigma mampu memberikan dampak yang krusial bagi pemiliknya. Sejumlah teori sosial menjelaskan bahwa stigma setidaknya berperan pada dua hal, yakni produksi tindak kejahatan dan respons terhadap pemilik stigma.
ADVERTISEMENT
Mari ambil contoh kasus. Pertama, pengamen dianggap sebagai pengganggu oleh sebagian masyarakat yang menganggap mereka sebagai pengganggu. Pasal 504 KUHP mengamini pandangan tersebut, di mana pasal tersebut menjelaskan mengenai larangan mengemis di tempat umum. Secara implisit, sebagian masyarakat yang terganggu mendefinisikan bahwa pengamen merupakan pelanggar aturan. Maka produksi kejahatan terjadi.
Kedua, karena sebagian masyarakat menyematkan stigma negatif dengan setuju bahwa pengamen merupakan pengganggu, maka respons terhadap mereka pun jelas berbeda dengan non pengganggu. Dalam konteks penghukuman, mereka pantas dihukum. Bahkan, kekerasan dianggap pantas dilakukan.
Bagaimana dengan korban ‘salah tangkap’? Seseorang yang dituntut mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan seakan harus merasakan hukuman dua kali lipat. Sudah harus menjalani hukuman formal, masih harus menerima stigma negatif.
ADVERTISEMENT
Mereka yang Jadi Korban Salah Tangkap
Lain kisah, lain derita dengan kasus Richard Phillip. Kasus ‘salah tangkap’ juga dialami enam orang pengamen asal Indonesia. Mereka menjadi korban salah tangkap atas kasus pembunuhan sesama pengamen yang diduga saling berebut lapak. Empat orang remaja pengamen tersebut berumur di bawah 17 tahun saat mereka ditangkap oleh Subdit Jatrans Polda Metro Jaya 2013. Atas tuduhan tersebut, mereka divonis 3 tahun penjara.
Ada beberapa hal yang perlu disoroti dari kasus tersebut. Pertama, dugaan kekerasan yang dilakukan terhadap enam korban salah tangkap agar mereka mengaku bersalah. Kedua, terbukti bahwa mereka tidak bersalah. Ketiga, status sosial korban salah tangkap sebagai pengamen memiliki stigma negatif di mata sebagian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Status ini seakan diamini oleh hukum di Indonesia dengan pernyataan yang tertuang dalam KUHP Pasal 504 yang melarang mengemis di depan umum (meski ada perbedaan antara pengemis dan pengamen, mereka kerap disamakan). Keempat, Stigma negatif masyarakat terhadap profesi pengamen tersebut. Kelima, kepantasan menerima kompensasi yang kemudian dipertanyakan.
Ilustrasi kekerasan. foto: pixabay
Antara Kekerasan, Stigma, dan Hukuman Retributif
Saya mendengar sebuah pernyataan “pengamen tidak pantas mendapat ganti rugi karena profesinya sendiri telah melanggar secara hukum.”
Lantas, apakah karena dia seorang pengamen, maka mereka tidak pantas mendapat kompensasi? Sebaliknya, mereka pantas mendapat kekerasan dalam proses penghukumannya. Padahal ia merupakan korban salah tangkap?
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut seakan menjelaskan bahwa pengamen pantas dihukum, pantas mendapat kekerasan, dan pantas untuk tidak menerima kompensasi—meski mereka menjadi korban salah tangkap—karena stigma yang melekat pada mereka sebagai seorang pengamen.
Bicara soal kepantasan dalam penghukuman, telah banyak dibahas dalam diskursus penghukuman sebelumnya. Secara sederhana, gagasan penghukuman telah berubah dari retributif menjadi reformatif. Retributif merupakan penghukuman yang menghukum pelaku kejahatan karena mereka pantas dihukum, sedangkan dalam paradigma reformatif memposisikan hukuman sebagai media untuk mereformasi pelaku kejahatan menjadi individu yang lebih baik.
Dalam masyarakat retributif, mereka seakan ‘gila’ akan penghukuman yang mana melihat pelaku memang ‘pantas’ setimpal dengan tindak kejahatannya. Dalam paradigma masyarakat modern, tidak ada yang salah dengan ini apabila mayoritas menyetujui hal ini.
ADVERTISEMENT
Namun, perlu diketahui bahwa paradigma penghukuman yang umum berlangsung di Indonesia saat ini ialah paradigma reformatif—yang mengusung perbaikan pada pelaku kejahatan agar menjadi manusia yang lebih baik. Paradigma penghukuman reformatif ditandai dengan adanya institusi koreksional, atau lazimnya disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Dengan argumen di atas, kekerasan bukanlah hal yang relevan dalam kasus salah tangkap ini, terlebih karena stigma yang melekat pada mereka. Kekerasan merupakan tindakan yang berlebihan, di luar konteks penghukuman itu sendiri, bahkan di luar dari paradigma penghukuman retributif itu sendiri. Sebuah tindakan ‘improvisasi’ yang kelewat batas, apalagi jika mengingat mereka adalah korban salah tangkap.
Sebenarnya, jika mengacu pada paradigma penghukuman retributif tadi, antiesis dari pernyataan soal ‘pengamen tidak pantas mendapat kompensasi’ sederhana: apabila pengamen yang salah tangkap ini harus dihukum, maka hukuman berupa kekerasan dan bui tidak setimpal dengan ‘profesi’ pengamen. Apabila harus ditambah bahwa ia adalah korban salah tangkap dan masih harus menerima stigma negatif, sungguh, ini sangat tidak setimpal. Dengan ini, apakah ia tidak layak mendapat kompensasi?
ADVERTISEMENT
Urgensi Kompensasi
Korban salah tangkap harus mempertanggungjawabkan apa yang tidak ia lakukan, masih harus menerima kekerasan karena stigma yang melekat padanya, masih harus merasakan stigma negatif sebagai mantan narapidana setelah bebas. Lantas pertanyaannya, apakah setimpal?
Bila ada yang tidak setuju kompensasi diberikan pada seorang korban salah tangkap—terlebih apabila mereka adalah pengamen yang masih remaja—coba kaji ulang pernyataan Anda. Umur mereka terbuang sia-sia di dalam penjara, kebebasan mereka direnggut, dan mereka masih harus menelan pahitnya stigma masyarakat atas statusnya sebagai mantan narapidana.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten