Metode Miyawaki: Si ‘Angin Segar’ Kala Deforestasi Merebak

Rama Swahuda
Sarjana Kriminologi
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2019 0:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Swahuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi deforestasi. Foto: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi deforestasi. Foto: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melanda Indonesia merupakan isu deforestasi atau kegiatan penebangan hutan yang cukup serius. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terdapat 18.895 titik panas di wilayah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang berpotensi karhutla. Titik panas ini membuat hutan rentan terbakar. Dengan demikian, ini menjadi ancaman serius mengingat banyaknya kasus pembukaan lahan dengan cara dibakar.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Karhutla Monitoring System, dari 36 provinsi di Indonesia, total hutan dan lahan yang sudah terbakar pada tahun 2019 mencapai 135.749 hektare. Angka ini lebih kecil ketimbang dua tahun lalu, yakni tahun 2018 sebesar 510.564 hektare, dan tahun 2017 sebesar 165.483 hektare. Namun, tidak menutup kemungkinan angka pada tahun 2019 akan bertambah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada tahun 2017 mencatat 24,3 juta hektare lahan di Indonesia sudah kritis dan butuh penghijauan. Tahun 2018, jumlah lahan kritis di Indonesia turun menjadi 14 juta hektare. Melihat jumlah tersebut, kemampuan pemerintah dalam melakukan rehabilitasi lahan kritis dinilai masih kurang efektif.
Berdasarkan fakta di atas, isu rehabilitasi hutan dan lahan menjadi menarik. Upaya rehabilitasi umumnya dilakukan dengan cara menanam kembali pohon endemik wilayah yang terdeforestasi, yang dikenal dengan konsep reforestasi. Salah satu upaya pemerintah dalam melakukan reforestasi adalah dengan cara air seeding atau menebar benih menggunakan helikopter.
ADVERTISEMENT
Namun, ada sejumlah kendala yang membuatnya kurang efektif dalam menanggulangi deforestasi. Untuk menjawab permasalahan tersebut, reforestasi bukanlah satu-satunya jalan keluar. Aforestasi, mungkin menjadi salah satu alternatif yang dapat menstimulus program rehabilitasi lahan kritis pemerintah.
Aforestasi dan Metode Miyawaki, Si ‘Angin Segar‘ di Lahan Tandus
Mengacu pada infografis Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia edisi VIII tahun 2015 perihal reforestasi hutan Indonesia, penyebab lahan kritis di Indonesia ialah deforestasi hutan yang disebabkan oleh eksploitasi hutan dan tanaman industri, pembangunan tanaman industri, illegal loging, dan tentunya pembakaran hutan. Seluruh faktor tersebut disebabkan oleh ulah tangan manusia dalam memenuhi kebutuhan komersialnya.
Ilustrasi hutan. Foto: pixabay
Dalam jurnal yang ditulis oleh Justin Phillips yang berjudul Afforestration, aforestasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan komersial manusia. Secara sederhana aforestasi adalah upaya membuat lahan baru di wilayah yang sebelumnya bukan merupakan hutan atau lahan. Dalam jurnalnya, Phillips menjelaskan sebuah program penanaman pohon dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu manusia.
ADVERTISEMENT
Philips menjelaskan bahwa aforestasi menciptakan hutan yang biasanya ditanami satu spesies pohon saja yang diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan komersial manusia. Metode ini menunjukkan bahwa terdapat alternatif untuk memenuhi kebutuhan manusia, khususnya yang diambil dari hutan.
Beralih pada metode penanaman benih tumbuhan. Tahun 1950, Akira Miyawaki, seorang ahli ekologi dari Jepang, berhasil mengembangkan metode yang menjadi terobosan dalam menciptakan hutan.
Miyawaki menggabungkan konsep potential natural vegetation (PNV) dengan phytosociology—ilmu yang menjelaskan interaksi antar tumbuhan—dengan meneliti vegetasi di Jepang, khususnya di Sacred Shrine Forest. Miyawaki berhasil menemukan bahwa vegetasi hutan memiliki empat level tumbuhan yang menunjang pertumbuhan hutan secara alami, yakni: Spesies pohon utama, sub-spesies, semak, dan tanaman penutup tanah.
ADVERTISEMENT
Menurut Miyawaki, dengan menggabungkan benih keempat level tumbuhan tersebut di sebuah lahan, maka tumbuhan dapat tumbuh secara alamiah tanpa membutuhkan banyak campur tangan manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut, yang harus dilakukan sebelumnya ialah mengidentifikasi tanah dan jenis tumbuhan yang cocok. Setelah dilakukan identifikasi, maka benih tumbuhan ditanam dengan formasi menyesuaikan dengan keempat level tumbuhan yang sebelumnya disebutkan (spesies pohon utama, sub-spesies, semak, dan tanaman penutup tanah).
Hasilnya, metode Miyawaki ini berhasil mendorong pertumbuhan tanaman 10 kali lebih cepat. Bahkan tanpa banyak campur tangan manusia. Dengan metode ini, ia telah berhasil menanam 40 juta pohon di 15 negara, termasuk negaranya sendiri.
Ilustrasi pohon yang ditebang. Foto: pixabay
Aforestasi sebagai Solusi
Melihat kasus kebakaran hutan yang terjadi akhir-akhir ini, menambah catatan panjang soal rehabilitasi hutan. Pemerintah perlu memperhatikan faktor deforestasi yang juga mengancam kelestarian hutan. Musim kemarau yang membuat hutan menjadi rentan terbakar tentu menjadi ancaman di luar ancaman deforestasi.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, metode Miyawaki mungkin dapat menjadi alternatif solusi dalam reforestasi hutan di Indonesia. Sebelumnya, metode Miyawaki sudah diadaptasi di Indonesia, salah satunya di Gunung Gede Pangrango. Hingga kini, metode Miyawaki masih diketahui oleh sedikit orang.
Menanggapi kasus deforestasi di Indonesia, apakah mungkin aforestasi menjadi salah satu jawaban untuk meminimalisasi deforestasi terhadap hutan-hutan konservasi? Asumsinya adalah, dengan menciptakan hutan buatan yang khusus untuk memenuhi kebutuhan komersial manusia, diharapkan hutan-hutan yang menjadi habitat ribuan flora dan fauna dapat dilindungi. Terlebih, jika menggabungkan metode Miyawaki dengan aforestasi, maka proses menciptakan hutan buatan dalam rangka memenuhi kebutuhan komersial manusia dapat lebih cepat dilakukan.