Soe Hok Gie: Mendayung di Antara Dua Rezim

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
1 Juli 2023 8:00 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Soe Hok Gie ketika di puncak Gunung Pangrango tahun 1967. Foto: dok. di dalam buku Catatan Seorang Demonstran
zoom-in-whitePerbesar
Soe Hok Gie ketika di puncak Gunung Pangrango tahun 1967. Foto: dok. di dalam buku Catatan Seorang Demonstran
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan Tionghoa yang sering dijadikan panutan oleh para mahasiswa era sekarang. Keberaniannya dalam memberontak, serta mengoyak-ngoyak ketidakadilan dan kemunafikan menyelimuti perjalanan hidupnya. Anak muda yang penuh idealisme dalam menyuarakan keresahan terhadap kebobrokan Indonesia di bawah komando rezim Sukarno dan rezim Soeharto.
ADVERTISEMENT
Ugal-ugalan, koruptif, dan munafik, gambaran yang bisa kita lihat dan rasakan ketika membaca catatan-catatan yang ditulis oleh Soe Hok Gie mengenai roda pemerintahan Indonesia ketika itu. Catatan-catatan Gie bisa kita temukan di dalam buku berjudul Catatan Seorang Demonstran dan Zaman Peralihan.
Selain itu, karya Gie yang lain, yang bisa kita baca dan selami adalah Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan dan Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917—1920 yang diambil dari skripsinya semasa beliau kuliah. Dari tulisan-tulisannya, kita bisa mengetahui bahwa sosok Gie merupakan pemuda yang idealis, jujur, dan pemberani.

Sekilas tentang Soe Hok Gie

Buku Soe Hok Gie ... Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya. Foto: Iwan Yuswantoro/Shutterstock
Pada 17 Desember 1934, Bapak Bangsa, H.O.S. Tjokroaminoto wafat. Delapan tahun kemudian, pada tanggal yang sama, tepatnya 17 Desember 1942—ketika dunia sedang terjadi konflik Perang Dunia II dan Indonesia masih dalam genggaman penjajah—lahir pemuda keturunan Tionghoa bernama Soe Hok Gie.
ADVERTISEMENT
Gie lahir di Jakarta dari pasangan bernama Soe Lie Piet dan Nio Hoe An. Gie gemar membaca, serta sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggiran jalan Jakarta. Bahkan, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Gie sudah membaca karya-karya sastra yang berat, seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Gie pernah bersekolah di SD Shin Hwa School, SMP Strada, dan SMA Kolese Kanisius. Gie sering bertengkar, serta melakukan kenakalan-kenakalan lainnya, terkadang pun beliau bolos sekolah supaya bisa berkunjung ke perpustakaan, seperti di British Council, atau pergi ke toko buku. Semasa sekolah, Gie juga dikenal kritis, ketika kelas dua, beliau sering mengkritisi gurunya (prestasinya juga buruk ketika itu).
Akibatnya, beliau tidak naik ketika kelas dua. Gie merasa ada ketidakadilan, sehingga tidak mau mengulang kelas, akhirnya Gie memutuskan untuk pindah sekolah. Semasa remaja, beliau sudah memperlihatkan kemuakannya dengan ketidakadilan sehingga sewot karena nilai yang semestinya 8 kemudian dipotong menjadi 5. Padahal, Gie berpandangan bahwa murid yang paling pandai pada bidang itu adalah dirinya.
ADVERTISEMENT
Saking muaknya dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh gurunya, Gie kemudian menuliskannya ke dalam catatannya,
Setelah lulus dari SMA, Gie kemudian melanjutkan studi ke Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya [FIB]), Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. Beliau juga merupakan pelopor berdirinya wadah Unit Kegiatan Mahasiswa bernama Mapala UI pada 12 Desember 1964. Gie mengusulkan untuk membentuk suatu organisasi yang bisa menjadi wadah berkumpulnya pelbagai kelompok mahasiswa.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya, beliau berhasil lulus pada 1969 setelah menyelesaikan skripsinya tentang sejarah PKI di Madiun dengan judul Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah Pemberontakan PKI Madiun September 1948 (yang kemudian dijadikan sebuah buku dengan judul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan).

Rezim Sukarno

Presiden Sukarno pada tahun 1961. Foto: IPPHOS
Pada era sistem pemerintahan Sukarno (khususnya era demokrasi terpimpin), banyak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh Sukarno, yang mana justru bertentangan dengan Pancasila dan cita-cita bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa hal yang dikritisi Gie, di antaranya penyelenggaraan GANEFO, perencanaan CONEFO, pembredelan surat kabar (kebebasan pers dibatasi), pemberontakan PKI, penahanan tokoh-tokoh tanpa proses pengadilan, konfrontasi terhadap Malaysia, dan lainnya.
Dalam tulisannya, Gie terlihat sangat muak dengan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden Sukarno ketika itu, dikutip dari tulisannya, beliau berpandangan,
Dalam tulisannya, Gie memang terlihat amat kesal terhadap pemerintahan Sukarno, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dikritisi olehnya.
Dalam mengkritik, beliau memang sangat berani, tulisan-tulisannya terhadap kebobrokan yang terjadi tentu bisa langsung menusuk ke hati, perlu kelapangan dada yang besar untuk bisa menerima sepenuh hati, serta harus menghayati tulisan-tulisan yang ditulis olehnya karena tulisan-tulisan tersebut bukan tanpa dasar dan alasan.
Dalam tulisannya pun sangat jujur terhadap kondisi bangsa Indonesia ketika itu, manusia-manusia hipokrit "ditampar" oleh Gie dengan setiap kata-katanya yang dituangkannya ke bentuk tulisan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada saat itu, melalui catatannya, Gie menggambarkan keadaan Istana Kepresidenan,
Beliau juga pernah menuliskan secara frontal di dalam buku hariannya,
Gie juga telah beberapa kali bertemu dan berdiskusi dengan Sukarno. Pada saat itu juga, beliau menilai banyak menteri yang gemar menjilat kepemimpinan Sukarno.
Gie selalu sedih dan kecewa ketika ke luar dari Istana Presiden. Beliau kecewa dan marah kepada Sukarno, serta marah kepada para penjilat yang ada di sekitar Presiden Sukarno, dan geram kepada para koruptor dan mahasiswa yang hipokrit. Marahnya Gie akibat dari keresahan dan kekecewaan terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi ketika itu.
Pada era itu, kondisi Indonesia memang belum stabil, harga beberapa kebutuhan pokok melambung, serta terdapat pejabat yang korupsi. Ketika itu, Indonesia mengalami hiperinflasi sekitar 600 persen yang membuat perekonomian Indonesia terombang-ambing yang menyebabkan defisit anggaran semakin luas.
ADVERTISEMENT
Defisit anggaran ini diatasi dengan mencetak uang, yakni kebijakan yang malah membuat ekonomi makin ambruk. Indonesia juga dililit utang yang cukup tinggi. Peredaran uang yang sangat gesit merupakan salah satu terjadinya ledakan inflasi ketika itu.
Pada era Sukarno, banyak tokoh yang dipenjara tanpa proses pengadilan, seperti Sjahrir, Mochtar Lubis, dan masih banyak lagi yang lainnya. Gie kemudian mengkritisinya lewat tulisannya, beliau berpandangan bahwa tindakan tersebut telah melanggar hak asasi manusia (HAM)—bagaimana bisa negara yang diklaim sebagai demokrasi, tetapi tidak menerapkan sikap demokratis?—sehingga tidak bisa dibenarkan.
Jenazah Sutan Sjahrir. Foto: Wikimedia Commons
Beliau pun berpandangan bahwa Sutan Sjahrir merupakan tokoh idealis dan humanis, tetapi sayangnya nasibnya sangat tragis, hidup dalam masyarakat yang kurang menghormati nilai kemanusiaan, sampai akhirnya wafat sebagai status seorang tahanan.
ADVERTISEMENT
Gie juga merupakan mahasiswa yang paling vokal mengkritik rezim Sukarno, dan menjadi salah satu yang menakhodai aksi demonstrasi pada tahun 1966 yang dikenal dengan Tritura (Tri tuntutan rakyat) atau tiga tuntutan rakyat.
Ketika itu situasinya digambarkan dalam buku Zaman Peralihan (2005: 4—5), terjadi kepanikan yang luar biasa dalam masyarakat—terlebih lagi ketika itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa—harga melambung tinggi hingga ratusan persen dalam kurun waktu sepekan.
Gambar Tritura Express '66. Foto: IPPHOS
Kekacauan ini juga ditambah dengan politik menaikkan harga oleh pemerintah, tarif kendaraan umum naik antara 500 persen sampai dengan 1.000 persen, tarif-tarif yang lainnya juga ikut naik. Tindakan pemerintah ketika itu merugikan masyarakat—terutama rakyat kecil—karena kebutuhan pokok, seperti beras naik rata-rata 300 persen sampai dengan 500 persen.
ADVERTISEMENT
Gie berpandangan bahwa tujuan dari tindakan ini untuk mengacaukan masyarakat untuk mengalihkan dari Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh).
Mahasiswa pun sangat keberatan dengan kenaikan-kenaikan harga yang dilakukan oleh pemerintah, akibatnya mereka bersama masyarakat lainnya menggalang kekuatan untuk meminta peninjauan kembali terhadap peraturan yang telah diterbitkan, tetapi sudah berkali-kali dilakukan tetap tak membuahkan hasil—bahkan delegasi pemuda diejek oleh Menteri-menteri yang bersangkutan.
Dikisahkan juga dalam buku Zaman Peralihan (2005), pada 10 Januari 1966 para mahasiswa dari pelbagai almamater melakukan aksi demonstrasi ke Sekretariat Negara dengan tujuan memprotes kenaikan harga kemudian pada tanggal 12 Januari 1966, puluhan ribu mahasiswa jalan kaki dari Kampus UI, Salemba menuju ke Gedung DPR-GR (jaraknya sekitar 15 km) untuk menyuarakan aspirasi kepada wakil-wakil rakyat.
ADVERTISEMENT
Ketika itu mahasiswa terus melakukan manifestasi umum yang diakibatkan oleh pelbagai macam hal, para mahasiswa menuntut pembubaran PKI, rombak kabinet Dwikora dari menteri-menteri yang tidak berkompeten, dan cabut peraturan-peraturan pemerintah yang menyulitkan hidup rakyat. Pelbagai aksi dilakukan oleh mahasiswa untuk dapat menyuarakan aksi terhadap pemerintah, seperti yel-yel, menempel plakat, orasi, dan sebagainya.
Mahasiswa yang tergabung ke dalam KAMI (Koalisi Aksi Mahasiswa Indonesia) itu kemudian dituduh oleh front anti-KAMI yang didalangi oleh PKI. KAMI dituduh sebagai anti-Sukarno, antek CIA (badan intelijen Amerika Serikat), ditunggangi Nekolim (neokolonialisme dan imperialisme), dan lain-lain. Pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Sukarno mengumumkan adanya perombakan kabinet dalam pemerintahannya.
Hal tersebut membuat para mahasiswa marah, kemudian untuk meningkatkan aksi demonstrasinya, pada tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru yang dilakukan presiden tersebut.
ADVERTISEMENT
Karena Tritura dianggap tidak mendapat respons yang baik dari Presiden Sukarno, demonstrasi-demonstrasi semakin deras dilaksanakan, hingga akhirnya terdapat Surat Perintah 11 Maret 1966 atau biasa disebut Supersemar.
Surat tersebut menandai dibubarkannya Partai Komunis Indonesia, mundurnya Sukarno dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia, serta Soeharto naik menjadi "Nakhoda" Republik Indonesia yang baru.
Rezim Soeharto
Foto Presiden Soeharto. Foto: AFP
Setelah Gie dan kawan-kawannya berhasil mengoyak-ngoyak rezim Sukarno hingga runtuh, akhirnya rezim berganti menjadi rezim Soeharto. Pada awal pemerintahan Soeharto, Gie berpandangan bahwa Soeharto lebih baik diterima secara wajar, yang dibiarkan supaya melihat sisi kelam Indonesia pada masa sebelumnya (era Sukarno).
Gie pun menulis bahwa setelah pergantian rezim terdapat kemajuan dalam pers, dari yang sebelumnya dibatasi dan media massa dibredel, pada era ini sudah menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Zaman Peralihan (2005: 80), Gie berpandangan bahwa setelah tahun 1966 pemerintah mencoba untuk merumuskan kembali tata masyarakat Indonesia, rumusan tersebut yang kemudian dikenal dengan rezim Orde Baru (Orba), yakni sikap mental terhadap pembaruan.
Dalam bidang politik dirumuskan pemurnian konstitusi dengan demokrasi Pancasila, dalam bidang ekonomi dirumuskan stabilitas dan pembangunan yang targetnya adalah pembangunan pertanian.
Dalam bidang hukum dirumuskan prinsip rule of law (negara mesti diperintah oleh hukum, dan bukan sekadar keputusan pejabat-pejabat secara individual). Gie menilai bahwa Orba berbeda dengan sistem pemerintahan era Sukarno.
Saat Orba, Presiden Soeharto yang berkepentingan untuk meraih kekuasaan penuh sedang berusaha menarik simpatisan dewan legislatif. Tak cuma orang partai dan tentara yang dirangkul Soeharto untuk menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi juga mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI menjadi salah satu target utama Soeharto untuk mencari dukungan.
Gie menuliskan juga menuliskan:
Gie tidak tertarik dengan politik karena baginya politik itu kotor, serta mahasiswa cuma bakal dijadikan alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, tetapi sebagian kawan-kawannya dari KAMI menerima dengan alasan bahwa suara mahasiswa diperlukan untuk voting anti-Sukarno dan menyusun UU Pemilihan Umum.
Akan tetapi, pada kenyataannya berbeda, mereka yang sudah menjadi anggota DPR-GR tidak berbicara atas nama mahasiswa, melainkan berbicara atas nama kelompoknya sendiri.
Gie berpandangan bahwa kekuasaan Sukarno akhirnya jatuh, dan mahasiswa yang ada di DPR-GR juga jatuh martabatnya di mata mahasiswa biasa. Gie menganggap teman-temannya yang duduk menjabat di DPR-GR sebagai pengkhianat, Gie kemudian menuliskan,
ADVERTISEMENT
Gie juga sempat mengirim sebuah paket yang di antara isinya ada gincu, cermin, bedak, dan sebagainya kepada wakil-wakil mahasiswa di parlemen. Beliau juga menulis pesan di harian Nusantara pada 15 Desember 1969 yang isinya menyindir rekan-rekannya tersebut.
Meskipun lahirnya Orba ada campur tangan dari Gie dan kawan-kawan, Gie tetap vokal dan kritis terhadap sistem pemerintahan Soeharto. Beliau aktif menuliskan keresahan dan idenya di harian Sinar Harapan dan Kompas untuk melayangkan kritikannya kepada rezim Soeharto.
Gambar Presiden Sukarno dan Mayjen Soeharto ketika mengumumkan Surat Perintah Sebelas Maret. Foto: Bernay/Getty Images
Gie merupakan orang yang menentang kejadian Gestapu/PKI (G30S/PKI), tetapi cara yang dilakukan untuk menghabisi PKI juga tidak bisa dibenarkan dan justru melanggar HAM. Gie mengecam tindakan-tindakan pemerintah Soeharto yang bersikap otoriter dalam menghabisi PKI.
Banyak tawanan-tawanan (yang dituduh) simpatisan PKI yang ingin langsung dibunuh karena mereka berpandangan bahwa hidupnya hanya tinggal hitungan jari. Mereka yang ingin dibunuh berbuat demikian karena takut dengan siksaan dan cara-cara pembunuhan yang tak masuk akal pada kalangan manusia waras atau mengaku dirinya ber-Tuhan.
ADVERTISEMENT
Gie menuliskan bahwa terdapat sekitar kurang lebih 80.000 tawanan politik yang ditangkap pasca-G30S/PKI—jumlah terbanyak ada di Jawa Tengah sekitar 55.000—dan tersebar di seluruh penjuru negeri.
Tidak pernah dijelaskan berapa lama mereka harus ditahan oleh pemerintah Orba—tampaknya pemerintah dendam dengan PKI yang telah melakukan pemberontakan-pemberontakan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi TNI AD dan sejumlah polisi—dari jumlah sekitar 80.000 tawanan politik, cuma beberapa ratus yang diadili oleh Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) dan Mahmildam (Mahkamah Militer Daerah Militer).
Banyak masyarakat yang dituduh terlibat dalam gerakan pemberontakan PKI, Gie juga mengecam adanya surat tanda tidak terlibat G30S, beliau menilai surat tersebut sebagai surat jimat yang sudah menjadi paspor dalam sendi kehidupan masyarakat ketika itu—mulai dari masuk sekolah hingga melamar pekerjaan—sehingga masyarakat menjadi frustrasi dengan yang dilakukan oleh Orba.
ADVERTISEMENT
Gie menilai bahwa pemerintah seharusnya mengumumkan rencana-rencana strategisnya dalam melawan komunisme—perlu ada data-data konkret tentang keadaan yang mengerikan pada saat itu—sehingga tidak menimbulkan fitnah dan salah sasaran.
Ketidaksesuaian yang dilakukan pemerintah tentu malah merugikan masyarakat sehingga menimbulkan pelbagai masalah. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan pemerintah Orba adalah keliru.

Soe Hok Gie Panutan Anak Muda

Nicholas Saputra ketika memerankan Soe Hok Gie dalam film Gie ketika sedang membaca buku Albert Camus, The Rebel. Foto: Cuplikan Film Gie
Soe Hok Gie merupakan sosok yang idealis dan berani melawan arus kencang. Pemuda keturunan Tionghoa yang kritis dan cerdas, menuangkan pemikiran-pemikirannya lewat tulisan yang penuh makna, peluru (kata-katanya) yang dilontarkan sangat tajam untuk diarahkan kepada target (rezim Sukarno dan Soeharto).
Dalam melawan arus, bukan tanpa rintangan, ada saja hinaan dan cemoohan dari orang-orang yang pikirannya kerdil—sudah mengikuti arus, juga merugikan orang yang melawan arus itulah manusia berjiwa kerdil (orang yang merendahkan Gie).
ADVERTISEMENT
Dalam tulisannya, Gie memang lebih sering dan tajam mengkritik Sukarno, dibandingkan Soeharto. Hal ini dikarenakan Gie wafat pada 16 Desember 1969 dalam "dekapan" Gunung Semeru. Di puncak Gunung Semeru Gie menjemput takdirnya, sehingga tidak sampai selesai melihat kekuasaan Soeharto.
Meskipun demikian, Gie tetap lantang mengkritisi rezim Soeharto, banyak hal yang juga ditemukan dalam masa-masa awal kepemimpinan "The Smiling General". Kekritisan dan kecerdasan Gie layak ditiru generasi-generasi muda zaman sekarang, kemampuannya dalam melihat dan berempati terhadap kondisi Indonesia saat itu bisa diimplementasikan oleh generasi muda pada era sekarang—maupun era yang akan datang.
Semangat perjuangannya merupakan suplemen yang bisa dijadikan sebagai penyemangat dalam meraih masa depan yang gemilang, serta menciptakan tatanan negara Indonesia sekarang dan yang akan datang menjadi cemerlang.
ADVERTISEMENT
Gie merupakan manusia merdeka, beliau tidak berkiblat pada salah satu kelompok, kepentingan, atau kemunafikan, beliau hanya berkiblat kepada kebenaran. Idealismenya tak pernah padam, tak pernah punah pula, bahkan tak pernah mati.
Gie, intelektual muda, aset bangsa yang pernah dimiliki Indonesia, semua patut bangga kepada sikapnya: menjunjung kebenaran, membenci kemunafikan, dan berani melawan ketidakadilan.
Gie tidak berpihak kepada rezim Sukarno maupun rezim Soeharto, beliau justru terus mendayung melawan arus dengan keidealisan dan kekritisannya hingga menemukan kebenaran dan keadilan.
Ada rintangan yang berhadapan dengannya: keegoisan, ketidakadilan, dan kemunafikan dalam setiap langkahnya dalam mendayung menuju kebenaran.
Berkat anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, sang Manusia Merdeka bernama Gie mampu meninggalkan tulisan-tulisan yang tak akan pernah termakan oleh zaman: dulu, sekarang, bahkan pada masa yang akan datang, tulisannya tetap akan terkenang dan menjadi panutan.
ADVERTISEMENT
Suara kebenaran adalah suara Tuhan, hanya ada satu kata dalam menghadapi keegoisan, ketidakadilan, dan kemunafikan: Lawan!