Refleksi 25 Tahun Reformasi: Sudahkah Negara Berbenah?

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
23 Mei 2023 13:11 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Foto: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Foto: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 21 Mei 1998, atau 25 tahun yang lalu, para mahasiswa dan masyarakat berhasil mengoyak-ngoyak hegemoni rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun, rezim Orde Baru. Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dipicu karena mulai goyahnya ekonomi Indonesia sejak awal 1998 akibat pengaruh krisis finansial Asia sejak 1997 dan menuntut Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden RI.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa di penjuru Indonesia melakukan aksi demonstrasi dan menuntut enam hal: penegakkan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amendemen UUD NRI 1945, hapuskan dwifungsi ABRI, dan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.
Reformasi di Indonesia telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam bidang politik dan sosial. Akan tetapi, proses perbaikan dan transformasi negara tidak selalu berjalan lancar dan masih terdapat banyak tantangan yang harus diatasi. Salah satu pencapaian yang dapat diamati adalah munculnya kebebasan berpendapat dan ruang demokrasi yang lebih luas. Terbukti dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil, penghapusan larangan terhadap partai politik, serta kebebasan pers.
Selain itu, pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel telah didirikan dengan berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman Republik Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa aspek yang perlu diperbaiki. Korupsi masih menjadi masalah yang mengkhawatirkan, meskipun upaya telah dilakukan untuk memeranginya. Pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan pengentasan kemiskinan juga menjadi fokus perbaikan yang belum sepenuhnya tercapai.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan merata perlu menjadi prioritas. Ketimpangan sosial dan ekonomi antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara masyarakat kaya dan miskin, harus diatasi melalui kebijakan yang inklusif. Reformasi juga harus terus berlanjut dalam bidang hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Penguatan lembaga peradilan, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, serta penegakan hak asasi manusia tetap menjadi tugas yang penting. Secara keseluruhan, setelah 25 tahun Reformasi, terdapat perubahan positif yang memberikan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Namun, upaya berkelanjutan masih diperlukan untuk memperbaiki masalah yang masih ada. Negara terus melakukan perbaikan, tetapi perjalanan ini membutuhkan kerja keras, komitmen, dan partisipasi aktif dari semua pihak untuk mencapai kemajuan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi masih banyak permasalahan yang terjadi pada masa sekarang yang masih menjadi PR negara, khususnya bagi pemerintah sebagai penguasa.

Usut Tuntas Pelanggaran HAM

FOTO ARSIP:Sekitar 40 buah bangkai mobil milik salah satu show room mobil di Jakarta, Jumat (15/5/1998), setelah dibakar massa, Kamis (14/5/1998) malam. Foto: Hadiyanto/ANTARA FOTO
Perjalanan menuju reformasi bukan tanpa hambatan, tidak sedikit memakan korban jiwa, khususnya dari kalangan mahasiswa. Empat mahasiswa gugur tertembak peluru tajam aparat dalam Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Kemudian, 13-15 Mei 1998 juga terjadi kerusuhan (biasa dikenal Kerusuhan Mei 1998) terhadap etnis Tionghoa di sejumlah kota. Koordinator Investigasi dan Pendataan Tim Relawan, Sri Palupi, pernah menganalisis peristiwa rusuh tersebut dan berkesimpulan bahwa Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh sentimen anti-Tionghoa yang telah lama berlangsung yang kemudian dimanfaatkan untuk memicu kerusuhan akibat krisis moneter.
ADVERTISEMENT
Sampai hari ini, negara (dalam hal ini pemerintah) belum mengusut tuntas para pelakunya. Tidak hanya peristiwa-peristiwa di atas, tetapi kasus penculikan, penghilangan paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti Tragedi 1965; Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Talangsari di Lampung (1989); Kasus Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998); dan peristiwa lainnya harus diusut tuntas.
Bahkan, pada era sekarang pun menyimpan noktah hitam dalam pelanggaran HAM. Pada akhir tahun 2020, terjadi pelanggaran HAM oleh pihak kepolisian kepada anggota Front Pembela Islam (FPI). Dari hasil investigasi, Komisi Nasional (Komnas) HAM menyimpulkan bahwa empat dari enam individu yang tewas mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Keempat korban tersebut ditembak mati dalam sebuah mobil polisi ketika sedang dalam perjalanan menuju Polda Metro Jaya.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasus kekerasan aparat negara yang mencolok adalah penembakan oleh Satuan Tugas Tinombala terhadap tiga warga sipil di Poso, Sulawesi Tengah. Dua di antaranya adalah petani yang sedang berada di kebun mereka, sementara satu lagi adalah seorang warga sipil yang awalnya diduga sebagai teroris, tetapi kemudian ternyata bukan.
Pada September 2021, ada peristiwa yang juga menjadi perbincangan luas, yakni kebakaran yang terjadi di Lapas Kelas I Tangerang. Dalam kejadian ini, sebanyak 41 narapidana meninggal dunia dan beberapa puluh lainnya mengalami luka. Komnas HAM menganggap kebakaran ini sebagai tragedi yang melanggar hak asasi manusia. Diduga adanya niat jahat, kelalaian, dan pembiaran dari aparat negara yang bertanggung jawab yang menyebabkan insiden tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada awal tahun 2022, terjadi peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap penduduk di desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Kekacauan dan kekerasan oleh polisi ini terjadi saat proses pengukuran lahan penduduk untuk kegiatan penambangan batu andesit di desa tersebut pada tanggal 8 Februari 2022.
Selain itu, puluhan warga juga ditangkap dan ditahan oleh polisi. Akibat kejadian ini, penduduk mengalami trauma. Setelah kejadian tersebut, beberapa orang bahkan tidak berani kembali ke rumah dan memilih untuk bersembunyi di hutan karena rasa ketakutan.

Korupsi Masih Menjamur

Ilustrasi korupsi. Foto: Shutterstock/Pixel-Shot
Kasus korupsi sepertinya sudah mendarah daging di negeri kita, khususnya pada zaman sekarang. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, tingkat kegilaan korupsi saat ini melebihi masa pemerintahan Soeharto. Hal ini tidak terkait dengan jumlah uang yang dikorupsi, tetapi lebih kepada penyebaran yang semakin meluas dari pelaku kejahatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Mahfud, dalam era saat ini atau era reformasi, siapa pun mulai dari masyarakat biasa hingga para elite memiliki kemampuan untuk melakukan korupsi. Sementara itu, pada masa Orde Baru, korupsi hanya terjadi oleh Soeharto dan kelompok yang dekat dengan dirinya.
Mengutip data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pada tahun 2004, KPK mengungkap kasus korupsi yang melibatkan gubernur, pejabat tingkat eselon I/II/III, dan pihak swasta. Tahun berikutnya, menteri, kepala lembaga, komisioner, dan pengacara juga terjerat dalam kasus tersebut. Berdasarkan data yang disediakan oleh KPK, pelaku korupsi meliputi 274 anggota DPR/DPRD, 28 kepala lembaga/menteri, 21 gubernur, dan 122 wali kota/bupati/wakil. Selain itu, terdapat 22 hakim, 10 jaksa, 2 polisi, 12 pengacara, 4 duta besar, 7 komisioner, serta 230 pejabat eselon I/II/III, 308 pihak swasta, 6 perwakilan korporasi, dan 157 orang lainnya yang terlibat dalam kasus korupsi menurut data KPK.
ADVERTISEMENT
Selain melibatkan berbagai pelaku, kasus korupsi pasca Orde Baru juga beragam. Contohnya termasuk pengadaan barang dan jasa sebanyak 236 kasus, perizinan 23 kasus, penyuapan 739 kasus, pungutan/pemerasan 26 kasus, penyalahgunaan anggaran 50 kasus, TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) 38 kasus, dan menghalangi proses penyidikan sebanyak 10 kasus.
Kita bisa melihat bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, kekuasaan terpusat dan hal ini mengakibatkan korupsi dengan karakteristik yang sering kali melibatkan pembuatan peraturan atau kebijakan negara yang bertujuan untuk menguntungkan penguasa atau orang terdekatnya.
Kemudian, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 memburuk dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan terbaru dari Transparency International, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mencapai 34 poin dari skala 0 hingga 100 pada tahun 2022. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 4 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Penurunan IPK ini juga berdampak pada peringkat IPK Indonesia secara global. Pada tahun 2022, IPK Indonesia menempati peringkat ke-110. Sementara itu, pada tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global. Penurunan IPK Indonesia tersebut menunjukkan adanya pemburukan persepsi publik terhadap tingkat korupsi di jabatan publik dan politik di negara ini sepanjang tahun lalu.
Tentu hal ini menunjukkan ada kemunduran bagi Indonesia. Lalu, banyak pejabat yang melakukan korupsi, termasuk banyak menteri pada era Jokowi yang ditangkap karena berkaitan dengan kasus korupsi. Mereka semua merupakan kader partai politik (parpol) koalisi pemerintah.
Adapun kelima menteri tersebut, yakni Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara, dan Johny G. Plate. Hal ini menunjukkan rendahnya integritas pejabat bangsa kita. Sehingga perlu adanya upaya untuk mencegah dan membasmi koruptor supaya tidak menggerogoti Indonesia. Oleh karena itu, perlu disahkan segera RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang.
ADVERTISEMENT

Tolak Kembalinya Dwifungsi ABRI

Foto TNI. Foto: Shutterstock/tupaiterbang
Akhir-akhir ini, ramai diperbincangkan mengenai revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), ada sejumlah pasal di dalam UU tersebut yang kontroversial, dan mengarah pada dwifungsi ABRI yang pernah ada pada masa Orde Baru.
Pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI, diusulkan ingin diubah mengenai jumlah instansi dari yang semula 10 menjadi 18. Kemudian, Revisi UU TNI melalui Pasal 7 menambah tugas anggota TNI di pelbagai sektor, seperti mengatasi aksi terorisme, mendukung pemerintah menanggulangi ancaman siber, dan mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lain. Hal ini membuat anggota TNI juga bisa terlibat dalam penumpasan teroris.
Dalam hal anggaran, pada Pasal 66 ayat (2) juga diusulkan diubah. Sebelumnya, keperluan anggaran TNI diajukan oleh Departemen Pertahanan Kementerian Pertahanan. Lalu, diubah “keperluan anggaran diajukan ke Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan”. Artinya, anggaran TNI tidak lagi melalui Kemenhan, tetapi Kemenkeu.
ADVERTISEMENT
Kemudian, revisi UU TNI tersebut nantinya juga akan memperpanjang usia prajurit aktif hingga 60 tahun. Adapun usulan revisi Pasal 53 UU TNI berbunyi, "Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58", dan dilanjutkan dengan ayat 2, "Dinas keprajuritan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang hingga usia 60 tahun, untuk prajurit yang memiliki kemampuan, kompetensi dan keahlian khusus."
Adanya dwifungsi ABRI reborn harus ditolak demi menjaga amanat reformasi. Para mahasiswa ketika memperjuangkan reformasi salah satunya adalah menghilangkan dwifungsi ABRI, sehingga tidak boleh ada lagi dwifungsi TNI. Meskipun wacana revisi UU TNI masih didiskusikan di dalam internal TNI, tentu kita lebih baik mencegah daripada mengobati. Tolak dwifungsi ABRI!
Kita sudah merayakan reformasi selama 25 tahun, tetapi masih banyak permasalahan yang terjadi, bahkan lebih parah dibandingkan sebelum reformasi. Sudahkah negara berbenah?
ADVERTISEMENT