Resah, Risih, Rusuh: Gambaran Sepak Bola Indonesia Akhir-Akhir Kini

Muhammad Raihan Azmi
Mahasiswa Jurusan Sejarah,Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2023 13:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Raihan Azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bentrok suporter bola. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bentrok suporter bola. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Stadion sepak bola kini jadi tempat yang tidak lagi ramah, diliputi oleh riwayat kelam yang menarik interest para individu untuk tidak lagi datang ke sana. Setelah tragedi yang terjadi di Malang lebih dari setahun yang lalu, kini sepak bola di Indonesia mulai kembali merefleksi diri.
ADVERTISEMENT
Berbagai regulasi sepak bola mulai kembali dipertegas, termasuk pada aspek infrastruktur dan pengoperasian liga. Tapi, mungkin ada satu hal yang pada akhirnya sulit diubah. Apakah itu? Yups, suporter adalah jawabannya.
Tindak-tanduk suporter sepak bola di Indonesia secara garis besar di cap sangat buruk oleh sebagian orang. Realitas di lapangan membuktikan, bahwa sepak bola adalah tempat daripada banyaknya kasus penyimpangan sosial masyarakat terjadi. Kekerasan hingga kata-kata kotor, semua diumpatkan sebagai bagian dari emosi jiwa.
Sepak bola kita kini telah menjadi suatu fanatisme yang mendarah-daging. Bahkan, taruhan hidup ataupun mati semua telah menjadi jaminan penuh dalam permainan “sepele” tersebut.
Fanatisme telah memberikan terlalu banyak celah bagi mereka untuk bertindak agresif. Keresahan masyarakat kini seiring berubah menjadi risih. Dan, keadaan ini pada kemudian hari akan berpotensi menjadi rusuh.
Ilustrasi perkelahian suporter. Foto: Tero Vesalainen/Shutterstock
Kalutnya sepak bola yang bersinggungan dengan timbulnya kekerasan di dalamnya, membuat minat untuk menonton sepak bola di stadion semakin rendah. Orang-orang tak akan mungkin lagi datang jika terus begini.
ADVERTISEMENT
Maka, revolusi harus terus digaungkan. Tak ada lagi ruang untuk kekerasan. Dan sanksi tegas harus terus dijalankan terutama oleh oknum-oknum sepak bola—baik yang di dalam maupun luar lapangan—yang mengatasnamakan sepak bola atas tindak kekerasan.
Namun, hal itu kemudian terhambat, tidak hanya pada pengaruh oknum dari para suporternya. Sepak bola kita kemudian kembali diperkeruh oleh perlakuan para oknum-oknum sepak bola yang menyelinap dalam tatanan birokrasi kita yang rumit.
Contoh kecil, misalnya pada aspek penyelenggaraan pertandingan. Berbagai macam hak itu kemudian ingkar untuk dijawab kembali, pengelolaan serta peruntungan telah jadi prioritas utama dari bisnis sepak bola ini.
Keamanan ditinggalkan, kenyamanan kemudian dibuang jauh-jauh. Penonton kini hanya jadi mainan umpan dari suatu konsep bernama “loyalitas”. Tak ada lagi profesionalisme dalam pengelolaannya.
Suporter Indonesia (Ilustrasi). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Tiket dijual tidak pada proporsi yang ditentukan. Calo hingga mafia semua telah menjadi hal yang biasa di sepak bola. Penyajian kualitas pelayanan tak lagi ada yang memuaskan, hal inilah yang pada akhirnya memperburuk citra sepak bola kita.
ADVERTISEMENT
Gambaran di atas telah membuat sepak bola kita mengalami stagnansi yang telah berlangsung berlarut-larut. Wajah suram dari sepak bola kita telah digambarkan sebagai perilaku yang tidak wajar, “resah, risih, dan rusuh”. Setidaknya tiga kata itulah yang pada akhirnya dapat memvisualisasikan realitas sepak bola kita di masa kini.
Pada akhirnya kita terus berharap akan datang waktu di mana sepak bola kita kembali membaik. Cahaya ini kemungkinan akan semakin terlihat, kekerasan pada akhirnya mulai dapat diminimalisasi, dan profesionalisme mulai ditegakkan kembali.
Konsistensi memang tetap harus dipertahankan. Tiada yang tahu kapan pastinya ini akan selalu bertahan. Kadang kita harus sesekali berbuat salah untuk mengetahui apa yang kurang. Begitu juga dengan sepak bola.
ADVERTISEMENT