Pengalaman Saya: Jokowi Malah Tak Suka saat Calon Menteri Di-'Endorse'

Rahmat Sahid
Konsultan Media & Komunikasi, Penulis Buku Biografi & Sosial Politik
Konten dari Pengguna
8 Juli 2019 10:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Sahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi dan Kabinet Kerja. Foto: Yudhistira Amran/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Kabinet Kerja. Foto: Yudhistira Amran/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia konsultan dan media komunikasi saat ini sedang diramaikan dengan endorsement tokoh yang diproyeksikan atau dinilai layak menjadi menteri di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari nama-nama yang muncul, jika itu bukan berasal dari pimpinan partai koalisi, maka hampir semuanya adalah bagian dari upaya endorse agar dilirik oleh Presiden Jokowi, yang telah ditetapkan sebagai presiden terpilih bersama pasangannya, yakni KH Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden terpilih untuk periode 2019-2024.
ADVERTISEMENT
Meng-endorse atau endorsement tokoh dalam ranah politik untuk menempati suatu jabatan tak ubahnya mempromosikan suatu produk dalam dunia periklanan. Diksi atau narasi yang mengarah pada pesan yang mengesankan menjadi 'Kecap Nomor Satu' dengan berbagai argumentasinya, diharapkan akan memunculkan daya tarik. Demikian juga dengan endorse tokoh. Para pengamat misalnya, yang menyebut seseorang dengan berbagai track record dan kompetensinya, punya tujuan agar Presiden Jokowi, selaku pemegang hak prerogatif, terpengaruh untuk menunjuk seseorang yang di-endorse tersebut.
Pertanyaannya: Apakah Presiden Jokowi akan terpengaruh? Dan akan manggut-manggut kemudian menunjuk orang yang di-endorse itu sebagai pembantunya di kabinet?
Penulis pernah mendapatkan cerita menarik dari salah satu staf khusus (stafsus) presiden, di seputaran Istana Negara sekitar dua tahun. Tepatnya ketika sedang ramai isu reshuffle kabinet. Stafsus menceritakan, ibaratnya Presiden Jokowi saat mau belanja barang, sudah punya bidikan dari rumah atau sebelum berangkat ke pasar. Artinya, dalam menentukan kabinet, Presiden Jokowi sudah punya preferensi, yang dilacak track record-nya oleh tim khusus. Bukan menjaring sekian nama yang dipromosikan via endorsement.
ADVERTISEMENT
Diceritakan juga, bahwa seseorang yang sudah masuk radar Presiden Jokowi untuk menduduki jabatan menteri, justru bisa mental karena ada endorse yang menyampaikan puji dan puja atas orang tersebut. Katanya, Presiden Jokowi menjadi ragu terhadap orang tersebut karena tidak bersandar pada kemandirian kapasitas dan integritasnya ketika dipercaya menjadi menteri di kabinetnya.
Jadi, ketika berbicara mengenai suatu produk atau branding seorang tokoh, terkandang endorse memang perlu. Tetapi, analoginya, ketika seseorang memilih obat sakit kepala, ia sudah punya preferensi dari rumah sehingga saat pergi ke apotek tinggal menyebut nama oba apa yang mau dibeli. Demikian juga dengan Presiden Jokowi, tentu tidak sekadar menjaring nama berbasis endorse, karena sejatinya siapapun yang sudah masuk radar Presiden Jokowi sudah diketahui langsung kapasitas, kompetensi, dan juga integritasnya.
ADVERTISEMENT
Pembaca tahu kan, bagaimana respons publik ketika menyaksikan suatu iklan produk yang berlebihan? Maka, siapapun tokoh yang merasa dirinya layak sebagai menteri, tidak perlu berlebihan menggerakkan jaringannya untuk meng-endorse. Bisa jadi Presiden Jokowi juga akan bergumam: Sing ngebet dadi menteri malah aku ora sudi!