Pemilu 2024 dan Keterwakilan Perempuan yang Makin Minim

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
Konten dari Pengguna
7 Desember 2023 15:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam menghadapi Pemilu 2024, peraturan terkait keterwakilan perempuan dalam pencalonan legislatif menjadi pusat kontroversi yang memicu keprihatinan di berbagai kalangan. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023, khususnya Pasal 8 ayat 2, mendapat sorotan karena berpotensi mengurangi peluang ribuan politisi perempuan untuk mencalonkan diri. Desakan untuk merevisi aturan tersebut semakin memanas, seiring dengan khawatirnya distorsi dan eliminasi keterwakilan perempuan dalam proses demokrasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek yang menjadi fokus perdebatan adalah penerapan pembulatan ke bawah dalam perhitungan keterwakilan perempuan. Dalam konteks ini, jika hasil perhitungan menyebabkan angka desimal kurang dari 50, maka ribuan politisi perempuan bisa tereliminasi secara tidak adil. Hal ini menjadi tantangan serius dalam menciptakan lingkungan politik yang inklusif dan setara.
Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 secara langsung mempengaruhi proses pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Keterwakilan perempuan yang seharusnya menjadi cerminan keragaman masyarakat dapat terdistorsi, mengakibatkan perempuan kehilangan kesempatan berkompetisi dalam kancah politik. Simulasi perhitungan menunjukkan bahwa persentase keterwakilan perempuan pada tingkat daerah pemilihan bisa turun di bawah 30%, merugikan aspirasi untuk mencapai kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT

Keterwakilan Perempuan Semakin Turun

Melihat tren dari pemilu sebelumnya, persentase keterwakilan caleg perempuan sebenarnya telah mengalami peningkatan sejak pemilu 2004. Namun, ironisnya, jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi di parlemen belum pernah mencapai ambang batas 30%. Aturan yang kontroversial ini menghadirkan hambatan baru dalam upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di ranah politik.
Penting untuk diakui bahwa partisipasi perempuan dalam arena politik membawa kontribusi positif terhadap pembentukan kebijakan yang lebih holistik dan representatif. Oleh karena itu, revisi segera terhadap peraturan tersebut menjadi keniscayaan. KPU harus bersedia mendengarkan suara masyarakat dan memastikan bahwa setiap perubahan aturan mencerminkan semangat kesetaraan gender dan inklusi.
Mendorong perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam politik bukan sekadar wacana, melainkan sebuah komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang mewakili seluruh lapisan masyarakat. Pemilu 2024 menjadi momentum krusial untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar melangkah menuju kesetaraan gender, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam tindakan nyata yang merajut keberagaman sebagai kekuatan bersama.
ADVERTISEMENT

Keterwakilan Perempuan Bukan Hanya Tentang Memenuhi Kuota

Dalam melangkah menuju Pemilu 2024, perlu dipahami bahwa keterwakilan perempuan bukan hanya tentang memenuhi kuota atau mematuhi regulasi, melainkan juga sebuah langkah strategis untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan yang mendukung penuh peran perempuan dalam dunia politik, tanpa adanya hambatan atau distorsi yang dapat menghambat partisipasi mereka.
Revisi terhadap Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 menjadi langkah awal yang harus diambil oleh KPU. Dalam proses revisi ini, KPU harus melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk aktivis hak perempuan, kelompok advokasi gender, dan anggota parlemen yang progresif. Keterlibatan semua pihak ini akan memberikan perspektif yang lebih luas dan memastikan bahwa setiap perubahan aturan benar-benar mencerminkan semangat kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa revisi aturan tidak hanya mengandalkan pada persentase numerik semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek kualitatif. Artinya, penilaian terhadap kualifikasi, integritas, dan kompetensi calon caleg perempuan harus tetap menjadi faktor penentu dalam seleksi politik.
Penting juga untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat tentang pentingnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan politik. Edukasi ini dapat dilakukan melalui kampanye publik, seminar, dan program-program lain yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan manfaat kehadiran perempuan di dalam arena politik.
Sejalan dengan itu, partai politik juga memiliki peran besar dalam memastikan keterwakilan perempuan. Mereka perlu aktif mencari, mendukung, dan mempromosikan perempuan yang berkualitas sebagai calon caleg. Keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan partai akan membantu menciptakan budaya politik yang inklusif dan menghargai kontribusi semua anggotanya.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 seharusnya menjadi panggung bagi kesetaraan gender, memungkinkan perempuan memiliki peran sentral dalam membentuk masa depan negara ini. Oleh karena itu, revisi aturan terkait keterwakilan perempuan harus menjadi langkah progresif yang membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, di mana hak dan potensi setiap warga negara, tanpa memandang gender, diakui dan dihargai sepenuhnya dalam proses demokrasi.