Jerat Hukum Joki Tugas Akhir

Asis
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Member of Surabaya Academia Forum, Center for Research and Humanity
Konten dari Pengguna
13 September 2023 16:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara kecurangan, rasanya bukan lagi menjadi fenomena baru di lingkungan akademik. Bahkan tak jarang beberapa mahasiswa juga melakukan praktik demikian. Selain untuk memperoleh nilai bagus, beberapa mahasiswa berpendapat hal itu juga lebih mudah hanya dengan membayar dengan beberapa uang saja mahasiswa dapat dengan mudah memperoleh nilai yang di inginkan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari hal di atas, kemudian ada fenomena sejenis yakni perjokian oleh beberapa akademisi yang gagal memperoleh pekerjaan yang di inginkan pasca lulus studi yang akhirnya memanfaatkan kemampuannya untuk menjadi joki tugas harian, tugas akhir, skripsi, tesis, dan artikel penelitian lainnya.
Kondisi tersebut kemudian dianggap lumrah karena menjual jasa, tapi secara hukum dan etik, jelas itu melanggar etika kejujuran dan hukum yang berlaku. Mengapa tidak Pendidikan yang harusnya memberikan nilai-nilai kejujuran dan moral justru harus dinodai dengan perilaku yang melanggar etika akademik.
Pentingnya pendidikan dalam membentuk nilai-nilai moral dan etika kejujuran seringkali terabaikan dalam lingkungan akademik yang terfokus pada persaingan dan prestasi. Mahasiswa yang melibatkan diri dalam kecurangan akademik seringkali merasakan tekanan untuk mencapai nilai tinggi tanpa mempedulikan proses belajar yang sebenarnya. Mereka mungkin berpendapat bahwa dengan membayar sejumlah uang, mereka dapat menghindari upaya keras dan kesulitan dalam menyelesaikan tugas akademik.
ADVERTISEMENT
Namun, fenomena ini juga mencakup praktik yang lebih merusak, yaitu perjokian oleh beberapa akademisi yang gagal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan setelah menyelesaikan studi.
Mereka mungkin merasa terdorong untuk memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan akademis mereka dengan menjadi joki tugas harian, tugas akhir, skripsi, thesis, dan artikel penelitian. Ini adalah tindakan yang tidak hanya merugikan diri mereka sendiri, tetapi juga melecehkan nilai-nilai etika akademik yang seharusnya dijunjung tinggi.

Sanksi Etik bagi Pengguna Jasa Joki

Ilustrasi menulis skripsi. Foto: justplay1412/Shutterstock
Sanksi etika akademik yang paling berdampak dalam konteks penggunaan jasa joki untuk tugas akhir adalah pembatalan pemberian gelar. Ini adalah tindakan serius yang dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk menjaga integritas akademik dan memastikan bahwa gelar yang diberikan kepada lulusan adalah hasil dari usaha, pengetahuan, dan kejujuran yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Pembatalan gelar adalah langkah yang drastis, tetapi sangat penting untuk mengirimkan pesan kuat tentang pentingnya integritas akademik dalam dunia pendidikan. Tidak hanya melindungi nama baik institusi pendidikan, tetapi juga menciptakan deterensi yang kuat bagi mereka yang berpikir untuk menggunakan jasa joki tugas akhir.
Dalam kasus pengguna jasa joki, pembatalan gelar adalah hukuman yang proporsional karena tindakan mereka telah merusak integritas pendidikan tinggi. Ini juga memberikan efek jera yang kuat kepada individu lain yang mungkin mempertimbangkan praktik serupa.
Selain itu, ini adalah langkah proaktif dalam membersihkan citra pendidikan tinggi dari praktik-praktik yang merugikan. Namun, penting untuk memastikan bahwa proses pembatalan gelar dilakukan dengan cermat dan adil.

Sanksi Pidana Praktik Perjokian

Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Sanksi pidana adalah instrumen hukum yang digunakan untuk menindak tindakan ilegal yang merugikan individu atau masyarakat. Dalam konteks praktek perjokian tugas akhir, yang melibatkan pengguna jasa dan penyedia jasa, terdapat beberapa delik pidana yang relevan yang dapat dikenakan. Salah satunya adalah delik pidana pemalsuan surat, yang diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 263 KUHP mengatur tentang pemalsuan surat. Berikut adalah bunyi Pasal 263 KUHP:
ADVERTISEMENT
"Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun."
Dalam konteks praktik perjokian tugas akhir, Pasal 263 KUHP menjadi relevan karena praktik tersebut melibatkan pembuatan atau pemalsuan dokumen atau surat, seperti laporan penelitian, skripsi, tesis, atau tugas akhir, yang kemudian digunakan untuk memperoleh gelar akademik atau keuntungan lainnya secara tidak sah.
Selanjutnya yakni, Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia yang mengatur tentang praktik jiplakan atau plagiasi dalam lingkup pendidikan. Pasal ini menetapkan sanksi yang dapat diterapkan terhadap lulusan yang terbukti menggunakan karya ilmiah yang merupakan jiplakan atau plagiarisme untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 25 ayat 2 Undang-Undang tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketika seorang lulusan terbukti melakukan praktik jiplakan atau plagiasi, sanksi yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut:

1. Pidana Penjara

Lulusan yang terlibat dalam praktik jiplakan dapat dikenakan pidana penjara dengan durasi paling lama dua tahun. Ini berarti bahwa individu yang terbukti melanggar ketentuan tersebut dapat dihukum dengan penjara selama dua tahun sebagai konsekuensi dari tindakan plagiasi yang mereka lakukan.

2. Pidana Denda

Selain pidana penjara, individu yang terlibat dalam jiplakan juga dapat dikenakan pidana denda. Batas maksimum denda yang dapat diterapkan adalah paling banyak Rp 200 juta. Denda ini merupakan sanksi finansial yang harus dibayar oleh individu yang melanggar ketentuan tentang plagiasi.
Sanksi yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) tersebut dimaksudkan untuk memberikan sinyal keras bahwa plagiasi adalah tindakan yang melanggar hukum dan etika dalam dunia pendidikan. Hal ini juga bertujuan untuk mendorong integritas akademik dan mencegah praktik jiplakan yang merugikan kualitas pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dengan mengenakan sanksi pidana penjara dan denda, Undang-Undang ini berusaha menjaga kualitas gelar akademik, profesi, atau vokasi yang diberikan kepada lulusan.
Ini juga menjadi peringatan bagi seluruh anggota komunitas pendidikan, termasuk mahasiswa dan akademisi, tentang pentingnya menjaga kejujuran dan integritas dalam pengembangan karya ilmiah dan penelitian.