Diplomasi Kuliner Zaman Now

Pupuk Indonesia
Akun Resmi PT Pupuk Indonesia Holding Company
Konten dari Pengguna
25 Februari 2019 20:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pupuk Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diplomasi Kuliner Zaman Now
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penggunaan makanan sebagai alat diplomasi publik – atau istilah kerennya gastrodiplomacy (diplomasi kuliner) bukanlah hal baru. Istilah gastrodiplomacy pertama kali dipopulerkan oleh The Economist pada Februari 2002 yang mengulas diplomasi Thailand dalam mempromosikan kulinernya ke dunia.
ADVERTISEMENT
Mengikuti jejak Thailand, Indonesia pun gencar melakukan diplomasi kuliner di manca negara. Kementerian Pariwisata bersama Kementerian Luar Negeri telah menjadikan promosi kuliner sebagai salah satu program prioritas.
Upaya mempromosikan kuliner ke luar negeri terus dipertajam. Dari ribuan jenis makanan yang ada, Kementerian Pariwisata untuk pertama kalinya telah menetapkan 5 makanan nasional Indonesia, yaitu soto, sate, rendang, nasi goreng dan gado-gado, sebagai makanan andalan untuk dipromosikan di manca negara. Sejumlah chef ternama dan pakar gastronomi dalam dan luar negeri pun kerap dilibatkan dalam diplomasi kuliner.
Makanan adalah industri yang tidak akan punah, namun akan terus berevolusi sesuai perkembangan jaman. Begitupun dengan diplomasi kuliner.
Sebagaimana diplomasi lainnya, diplomasi kuliner juga mensyaratkan analisis keberlanjutan mengenai pasar, termasuk tren, guna memastikan efektivitas dan efisiensi diplomasi.
ADVERTISEMENT
Sejumlah penelitian terkini menyebutkan bahwa generasi millennial secara umum memiliki snacking habit tinggi. Semakin banyak millennial yang memilih snack over meal. Mereka juga cenderung memilih take-away shop, coffee shop, food delivery dibanding restoran karena alasan waktu dan biaya. Tren menarik lainnya adalah millennial, khususnya di negara-negara maju, juga lebih peduli dan memilih makanan yang cepat saji, bersih, sehat dan terjangkau.
Perubahan-perubahan ini perlu disikapi dengan cermat dan ditindaklanjuti dengan langkah adaptif guna penyesuaian strategi. Diplomasi kuliner harus segera dipertajam dengan fokus sasaran utama adalah kelompok millennial – sebagai mayoritas dan motor penggerak tren ekonomi saat ini dan ke depan.
Promosi kuliner di manca negara hendaknya tidak lagi terpusat pada makanan berat (meal), melainkan mulai diarahkan ke makanan Indonesia yang cepat saji, sehat, terjangkau dan mampu dijual di toko kecil (convenient store) dan coffee shop di jalan, mall maupun perkantoran.
ADVERTISEMENT
Tren ini sebenarnya meringankan dan memudahkan promosi kuliner, baik dari sisi biaya, bahan makanan maupun tenaga masak terampil. Namun memang tantangannya adalah menentukan jenis makanan yang memenuhi dan dapat disesuaikan dengan tren tersebut dengan tetap menjaga cita rasa Indonesia. Tantangan berikutnya adalah mencari mitra usaha kuliner cepat saji yang tepat untuk menjual dan mempopulerkan makanan tersebut di negara setempat.
Beberapa toko makanan sehat cepat saji di banyak negara, termasuk Indonesia, menjual makanan berat (meal) dalam bentuk cepat saji dengan porsi kecil dan kemasan lebih compact serta isi (termasuk bahan makanan) yang lebih sehat dan ringkas (simple) - sebagian bahkan cukup dihangatkan dan siap disantap. Makanan sehat cepat saji Itali, Jepang, Korea dan Thailand semakin banyak dijual di berbagai supermarket, toko kecil dan kedai kopi di manca negara.
ADVERTISEMENT
Strategi diplomasi kuliner lain yang juga dapat dijajaki adalah promosi makanan jajanan. Kebab, churros, crepes, takoyaki, hotdog, bubble tea antara lain adalah makanan jajanan yang sudah mendunia, termasuk di Indonesia.
Makanan jajanan tetap memiliki pangsa pasar yang cukup menjanjikan di tengah-tengah tren millennial yang cenderung memilih makanan cepat saji yang ringkas dan sehat. Banyak dari kalangan generasi X dan Y (sebagian millennial) yang masih menyukai makanan jajanan “kurang sehat”, khususnya di kala senggang.
Indonesia memiliki beragam makanan jajanan, baik yang bersifat tradisional maupun yang dikembangkan menjadi “kekinian”. Martabak, surabi, batagor, otak-otak, beragam kue (cubit, pancong, pukis), beragam tahu (petis, gejrot, pletok), aneka es (cendol, doger, podeng, teler), aneka pisang (goreng, bakar, molen), ragam gorengan hingga mie instan telor kornet antara lain jajanan yang unik dan langka ditemukan di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Menjual makanan jajanan tidak mengharuskan penjual untuk membuka restoran, melainkan cukup dengan booth kecil, food car bahkan gerobak. Biaya yang lebih rendah, bahan makanan yang lebih mudah, jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit dan pergerakan yang fleksibel memungkinkan strategi yang bersifat militan untuk mempromosikan makanan jajanan. Bergantung dengan hasil analisis pasar negara setempat, upaya mempromosikan makanan jajanan dapat disesuaikan, termasuk jenis makanan, bahan makanan, cara dan lokasi menjual.
Sambil mengakhiri tulisan ini, saya tersenyum bangga membayangan di luar negeri sana kedai martabak atau surabi bersaing dengan kedai kebab atau churro, kedai es cendol bersaing dengan bubble tea. Bahkan kedai mie instan Indonesia bersaing dengan kedai ramen Jepang.
----------
Ditulis oleh Arifianto, seorang diplomat pecinta jajanan kuliner. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.
ADVERTISEMENT