PMKRI: Serius Revisi UU ITE dan Terbitkan UU Perlindungan Data Pribadi

PP PMKRI
PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN MAHASISWA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA (PP PMKRI)
Konten dari Pengguna
18 Februari 2021 13:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PP PMKRI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Alvin Aha, Presidium Riset dan Teknologi PP PMKRI
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Alvin Aha, Presidium Riset dan Teknologi PP PMKRI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wacana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik pertama kali dilempar oleh Presiden Jokowi. Terkait wacana ini, Presiden gundah karena melihat rakyatnya saling adu lapor melapor perihal ujaran kebencian maupun berita hoax yang menimpa sesama warga di media sosial.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya pemberitaan terkait UU ITE dikeluarkan dari Presiden Jokowi karena gaduhnya media sosial. Presiden melihat, UU ITE banyak digunakan publik untuk saling lapor ke kepolisian. Akibat UU ITE, banyak orang yang sebenarnya merupakan korban dan tidak bersalah justru dilaporkan.
Harapannya, jika wacana revisi UU ITE ini terealisasi, hal-hal yang berkaitan dengan hasutan, hoaks, hingga ujaran kebencian akan dipertajam. Dengan demikian tidak lagi menimbulkan perbedaan interpretasi.
Berbeda dengan perintah Presiden, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) justru menyebutkan pemerintah akan segera menyusun pedoman interpretasi resmi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) melihat tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menangani konflik yang terjadi pada rakyatnya. Dengan adanya pasal-pasal karet pada tubuh UU ITE akan terus memberikan efek panjang saling adu antar warga sekalipun adanya pedoman resmi dari UU tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Alvin Aha, Presidium Riset dan Teknologi PP PMKRI, pasal-pasal yang terdapat di UU ITE seperti pasal 27 Ayat (1) soal Kesusilaan, pasal 27 Ayat (3) soal Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran Kebencian memiliki interpretasi yang berpeluang menutup ruang demokrasi. Pasal-pasal ini cenderung disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang merugikan publik. Pun, pasal ini juga sering dipakai oleh pengambil kebijakan untuk membungkam kritikan–kritan dari para aktivis, mahasiswa dan lain sebagainya.
Adapun beberapa korban dari UU ITE yang telah menyeret beberapa nama ke jeruji besi, seperti Prita Mulyasari (2008), Muhammad Arsyad, Ervani Handayani (2014), Fadli Rahim (2014), Baiq Nuril (2015), Dandhy Laksono (2019).
Lanjut Alvin, PMKRI mendukung upaya Presiden untuk segera merevisi UU ITE dengan upaya pemerintah segera menyurati DPR RI untuk membahas ulang atau merivisi terkait pasal-pasal karet yang menjadi keresahan publik. Berhubung karena UU ini tidak masuk dalam Prolegnas, maka mulai saat ini pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk mengkaji dan merumuskan kembali pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan rawan disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Sembari menanti UU ITE direvisi, pemerintah dalam hal ini Presiden harus membebaskan korban – korban ITE yang dikriminalisasi akibat tindakan-tindakan mereka yang melontarkan kritik terhadap pemerintah, serta dalam penyusunan interpretasi pasal-pasal dalam UU ITE perlu dilakukan secara terbuka dan melibatkan akademisi dan juga masyrakat luas.
Selain pemerintah fokus merivisi UU ITE, di era transaksi elektronik dimana banyak masyarakat telah beralih ke teknologi digital, PMKRI melihat begara perlu hadir memberikan kenyamanan dan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Maka, PMKRI juga mendorong Pemerintah untuk membuat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sebagai upaya perlindungan bagi masyarakat pengguna media sosial dan teknologi digital.