Review Film 'Tenet': Nolan Memutarbalikkan Alur Waktu

Konten Media Partner
17 Desember 2020 10:58 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Film Tenet (Foto: Warner Bros)
zoom-in-whitePerbesar
Film Tenet (Foto: Warner Bros)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Play Stop Rewatch, Jakarta - Christopher Nolan kembali bermain-main dengan konsep waktu lewat film terbarunya, Tenet. Setelah melambankan, menumpuk, hingga mempercepat waktu, sekarang ia memutarbalikkan alur waktu lewat film ini. Sayangnya, dibandingkan film-film ia sebelumnya, Tenet lebih seperti sebuah presentasi konsep dibanding sebuah film dengan cerita yang compelling.
ADVERTISEMENT
Sempat tayang terbatas di bioskop pada Agustus lalu, sebelum rilis umum via Premium Video on Demand pada Desember ini, kisah Tenet berfokus pada upaya karakter utamanya, Protagonist (John David Washington), mencegah kiamat. Namun, kiamat di sini bukan disebabkan oleh ledakan yang terjadi di akhir masa, tetapi akibat diputarbalikkannya alur waktu alias Time Inversion.
Bergabung dengan divisi khusus CIA bernama Tenet, Protagonist mendapat tugas untuk menyelidiki seorang oligarki Rusia bernama Andrei Sator (Kenneth Branagh). Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan Tenet, Andrei Sator berniat mengkonstruksi sebuah senjata pemusnah massal bernama the Algorithm yang bisa memutarbalikkan waktu hingga ke tiitik ledakan besar. Jika benar, maka tugas Protagonist selanjutnya adalah memastikan Sator gagal menyusun the Algorithm yang terpecah menjadi 9 bagian.
ADVERTISEMENT
Sator ternyata bukan penjahat biasa. Berbekal pengetahuan yang didapat dari peneliti-peneliti di masa depan, ia bisa melakukan Time Inversion dalam skala terbatas. Caranya, dengan meradiasi objek, baik benda maupun manusia, untuk melakukan Reverse Entropy. Alhasil, objek yang seharusnya berjalan maju, seperti halnya energi panas berpindah dari suhu tinggi ke rendah, menjadi berjalan ke arah sebaliknya. Sebagai contoh, peluru bukannya ditembakkan, tetap ditangkap. Manusia bukan menghembuskan karbon dioksida, tetapi menghirupnya.
Hal itu membuat tindakan Sator menjadi sulit ditebak. Ia akan selalu selangkah "lebih maju" dengan "berjalan mundur". Ia akan selalu tahu apa yang bakal terjadi kepadanya. The Protagonist tidak memiliki pilihan lain selain ikut bermain di ranah yang sama.
Rumit? Tentu. Akurat? Tidak juga. Tenet, seperti kebanyakan film Nolan, tetaplah fiksi. Ia menggunakan ilmu fisika sebagai bumbu, bukan kerangka keseluruhan. Hal itu yang membuat filmnya selalu terkesan jenius. Bagi mereka yang mempelajari Hukum Kedua Thermodinamika dan Entropy, tentu tahu bahwa Reverse Entropy bukan berarti memutarbalikkan waktu.
ADVERTISEMENT

Entropy yang ada di film Tenet

Film Tenet (Foto: Warner Bros)
Entropy, dalam penjelasan yang paling sederhana, adalah derajat ketidakteraturan. Entropy, dalam sebuah sistem tertutup seperti bumi, akan selalu meningkat seiring berjalannya waktu dan tidak sebaliknya. Dalam sistem-sistem yang lebih kecil, Entropy bisa saja terlihat seperti diputarbalikkan misalnya lemari es yang membekukan cairan sehingga secara molekular lebih teratur. Namun, apa yang terjadi sesungguhnya hanyalah Entropy dipindahkan, bukan diputarbalikkan.
Christopher Nolan sadar betul bahwa otak penonton akan ngebul jika Time Inversion dan Reverse Entropy dijelaskan secara teknis. Setidaknya dibutuhkan pemahaman fisika dan termodinamika untuk bisa memahaminya hingga ke detil-detil terpentingnya.
"Segala hukum fisika itu simetris. Mereka bisa berjalan maju ataupun mundur dan tidak berubah wujudnya. Pengecualian berlaku untuk Entropy."
ADVERTISEMENT
"Teorinya, jika kita bisa memutarbalikkan alur Entropy dari sebuah objek, berarti kita bisa memutarbalikkan juga alur waktu dari objek tersebut. Saya tidak mencoba membuat film ini seakurat mungkin secara sains, tetapi ia berdasar pada ilmu fisika sungguhan," ujar Nolan dalam salah satu wawancaranya.
Lucunya, film Tenet mengakui masalah tersebut saat salah satu karakternya, Barbara (Clemence Posey), mengatakan kepada The Protagonist untuk tidak mencoba memahami konsep Time Inversion ataupun Reverse Entropy. "Rasakan, jangan pahami," ujarnya kepada The Protagonist.
Agar penonton bisa lebih merasakan kedua konsep tersebut dibanding memahaminya, Nolan menggunakan keahliannya membuat adegan-adegan laga megah di mana konsep waktu atau Entropy jadi alat pertunjukkan. Film Tenet kaya akan adegan-adegan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu sekuens, The Protagonist, yang berjalan maju, bertarung dengan sosok yang berjalan mundur akibat Entropy-nya sudah diputarbalikkan. Hal itu menyajikan adegan pertarungan yang unik di mana gerakan-gerakan lawan menjadi tidak natural sehingga sulit ditebak ke mana ia akan menyerang.
Di sekuens lain, The Protagonist ikut dalam sebuah pertempuran di mana divisi Tenet melakukan apa yang disebut sebagai Temporal Pincer. Pada formasi tersebut, dua pasukan berjalan maju dan mundur untuk mempemainkan konsep sebab dan akibat (paradox). Alhasil, gedung yang sudah hancur bisa mereka balikkan lagi untuk kemudian mereka hancurkan dengan cara yang berbeda. Gila.
Adegan-adegan tersebut ditampilkan dengan direksi khas Nolan yang dinamis, stylish, dan tampak realistis berkat kegemarannya menggunakan practical effect. Kami bisa menjamin penonton akan dimanjakan oleh banyaknya laga yang mempermainkan konsep waktu dan Entropy di Tenet. Namun, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, hanya di situlah kelebihan Tenet. It's a spectacle over a story.
ADVERTISEMENT
Terlalu fokus pada upaya untuk mempresentasikan konsep Time Inversion dan Reverse Entropy membuat kisah Tenet tumpul. Walau ceritanya dipresentasikan dengan cara yang relatif rumit, ide besarnya tidaklah rumit sama sekali. Seperti apa yang dijelaskan di sinopsis, Tenet adalah film di mana seorang hero mencoba mencegah villain menghancurkan dunia.
Tenet bisa dikatakan sebagai film Nolan yang paling mendekati film Superhero dibanding film-film ia lainnya. Temporal war, pertarungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, menjadi latarnya.
Film Tenet (Foto: Warner Bros)
Cerita yang tidak compelling diperburuk dengan karakter-karakter Tenet yang one dimensional. Karakternya lurus-lurus saja sesuai fungsi mereka, tidak ada emotional attachment atau motivasi yang compelling. Protagonis ya protagonis, bertugas melawan antagonis. Antagonisnya jahat hingga ke akar-akarnya hingga tidak bisa lagi ditebus. Sungguh ironis di saat filmnya mempermainkan konsep waktu dan Entropy di mana karakter-karakternya bisa berjalan maju dan mundur di alur waktu.
ADVERTISEMENT
Untungnya, karakter-karakter di film Tenet tetap terasa membumi. Walau mereka bisa memutarbalikkan waktu atau Entropy, mereka tidak terasa seperti makhluk super yang bisa bertindak sesuka hati. Mereka tetap terasa seperti manusia. Segala tindakan mereka memiliki konsekuensi serta resiko yang bisa merusak segalanya jika dilakukan tanpa kehati-hatian.
Sungguh disayangkan kisah Tenet berakhir tumpul. Padahal, jika Nolan tidak terlalu berfokus pada presentasi konsep Time Inversion dan Reverse Entropy, ada perdebatan-perdebatan filosofis yang bisa dikembangkan dari kisah film ini. Takdir, eksistensi, dan free will adalah hal-hal yang bisa digali lebih jauh di Tenet.
Film ini, sesungguhnya, beberapa kali menyinggung hal-hal itu secara subtle. Ketika The Protagonist pertama kali dihadapkan pada konsep Time Inversion, di mana Akibat terjadi lebih dulu dipanding Sebab, ia mulai mempertanyakan apakah berarti dirinya tak lagi memiliki kemampuan untuk menentukan masa depannya. Sebab, dengan Akibat menjadi permulaan, berarti hasil dari segala hal sudah ditentukan sejak awal dan free will menjadi sesuatu yang sifatnya sia-sia. Di sisi lain, jika dirinya berupaya mengubah Sebab, maka yang akan terjadi adalah paradox. Perdebatan itu tidak pernah tuntas hingga film berakhir.
ADVERTISEMENT