Kisah Pesugihan Warnet: Kuntilanak yang Buat Pengunjung Lupa Waktu

Konten dari Pengguna
24 Juni 2020 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pesugihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kuntilanak. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kuntilanak. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari semakin malam. Namun, ruangan dingin ber-AC ini tak kunjung sepi dari teriakan anak-anak yang sedang asyik-asyiknya menatap layar. Terhitung dari pukul empat sore tadi, aku telah duduk di kursi ini selama hampir tujuh jam.
ADVERTISEMENT
Bermain game memanglah kesenanganku. Lantaran hobi yang sejatinya cuma membuang-buang waktu itu, setiap harinya, uang saku yang diberikan ibu hanya kuhabiskan dengan pergi ke warnet.
Desa tempatku tinggal memanglah tempat yang sederhana. Tak ada pilihan muluk soal kesenangan yang juga tak semua anak menyukainya itu. Di desaku, hanya ada satu-satunya warnet tempat aku dan teman-teman biasa bermain, dan itu ialah milik Pak Salman.
Hampir setiap hari, bersama teman-temanku, kudatangi warnet itu. Kami patungan untuk bisa bermain game di sana selama beberapa jam. Dan setelah mata kami pusing karena menatap layar terlalu lama, barulah kami akan pulang ke rumah masing-masing.
*
“Jadi kamu beneran mau nraktir kami?”
Iya… Aku kan hari ini ulang tahun.”
ADVERTISEMENT
Awang sedang berulang tahun. Dan untuk merayakan kegembiraan di hari bagusnya itu, ia berniat membayari kami bermain di warnet. Maka, di malam itu, kami berencana akan bermain game hingga subuh. Warnet Pak Salman memang buka 24 jam setiap hari.
Seperti biasa, kami memilih game andalan kami: PUBG. Ketika mendapat giliran untuk main—kami memang hanya menyewa satu komputer yang digunakan bergantian, hal menyebalkan memaksaku berhenti duduk di kursi warnet yang empuk itu: aku lantas kalah.
Berbekal kekalahan itu dan tak tahu lagi hendak berbuat apa di sana, kuputuskan untuk pulang ke rumah, mendahului teman-temanku. Kubiarkan mereka bersenang-senang untuk menatap layar hingga subuh: jika mata mereka benar-benar kuat. Saat itu, jam baru menunjukkan pukul 11 malam. Kulangkahkan kaki ku menuju rumah seorang diri.
Ilustrasi warnet. Foto: kumparan
*
ADVERTISEMENT
Pagi harinya, ibu mengejutkanku dengan membangunkanku dari tidur lewat kalimat yang tergesa-gesa, juga gelisah. Ia bercerita, tak ada satu pun teman-temanku yang telah pulang ke rumah mereka hingga siang. Kupikir, seharusnya mereka telah sampai di rumah masing-masing ketika azan subuh berkumandang, atau yang paling parah, jam enam pagi.
Namun, sekali lagi, sesuatu yang aneh pastilah terjadi. Dan yang lebih tak masuk akal, semua temanku di warnet itu yang berjumlah enam orang mengalami hal yang sama—mereka belum pulang ke rumah. Maka di pagi itu, desaku dipenuhi dengan kegaduhan tentang kabar teman-temanku yang ilang—para orang tua telah mendatangi warnet dan keenam-enamnya taka da di sana.
Di tengah kegaduhan, belum ada seorang pun yang bisa memecahkan masalah ini.
ADVERTISEMENT
Namun, ketika malam datang, aku merasa diriku seperti dirasuki keberanian tiba-tiba. Di dalam hati, ingin sekali rasanya untuk mengungkap apa yang terjadi pada teman-temanku, meskipun rasanya terlalu berlebihan: aku masihlah seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa. Maka, berbekal kenekatan dan keberanian tak berdasar itu, kuberanikan diri untuk mendatangi Warnet Pak Salman.
Dan sampai di sana, betapa terkejutnya.
Dengan tenangnya, keenam temanku masih terlihat asyik masyuk dengan apa yang ada di depan mereka. Kutanyai mereka apa yang terjadi sehingga membuat mereka tak pulang ke rumah. Mendengar jawaban salah satu temanku, pikiranku kaget bukan kepalang.
“Kenapa kamu balik ke sini lagi? Katanya mau pulang?” Tanya salah seorang temanku.
“Loh, memang sekarang jam berapa?” Tanya kawanku yang lain.
ADVERTISEMENT
Aku lalu menjawab, “Kalian sudah enggak pulang seharian.”
Mendengar jawaban itu, kusadari bahwa mereka sejatinya telah lupa waktu. Namun, kelupaan itu bukan hanya lantaran mereka terlalu asyik dalam dunia game. Akan tetapi, itu berurusan dengan hal yang amat mengerikan: dan kengerian itu terjawab sesaat setelah aku memalingkan mata dari komputer-komputer warnet yang berjejer.
Memandangku dengan wajah yang amat mengerikan, gigi ompong, dan bibir yang meringis, seekor kuntilanak tampak terbang mendekat ke tempat aku berdiri.
Melihatnya, aku berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak: pada saat itu pula aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, bapakku merangkulku. Itu membuatku penasaran tentang apa yang terjadi.
“Untung kamu langsung pulang. Kamu pasti baru saja melihat sesuatu?”
ADVERTISEMENT
Aku hanya mengangguk kecil. Belakangan ku tahu, kepergianku ke warnet itu ialah selama hampir selama tiga jam, dan itu tentu tak masuk akal: aku hanya merasa berada di sana selama belasan menit.
“Pak Salman ternyata memakai pesugihan di warnetnya. Di sana, berjaga seekor kuntilanak. Kuntilanak itu membuat teman-temanmu lupa waktu.” Jelas ayah. Badanku merinding. “Untung kamu selamat,” tambahnya.
“Lalu sekarang, apa yang harus kita lakukan?”
“Para warga sedang menghubungi Kyai Johar untuk menolong mereka.”
Tulisan ini merupakan rekayasa. Kesamaan nama dan tempat kejadian hanya kebetulan belaka.