Memandang Hujan Bulan Juni dari Kedai Bulan Purnama

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
4 Juni 2023 15:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber; Koleksi Pribadi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber; Koleksi Pribadi Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bergegas-gegas saya menapaki pelataran parkir kedai buku itu menerobos hujan yang lumayan deras di sore yang terlihat murung. Meskipun saya menyukai bau hujan, namun di umur-umur seperti ini bermain-main di bawah hujan deras hanya akan mengundang flu yang kemudian akan menyiksa beberapa hari.
ADVERTISEMENT
Tukang parkir yang sudah sangat hafal dengan jadwal kedatanganku berlari-lari memberikan payung yang entah didapatnya dari mana, karena ojek payung bukan hal lumrah di kotaku. Mungkin saja payung itu miliknya atau punya temannya, mungkin juga sebagian orang sudah mahfum bahwa yang Juni adalah bulan yang identik dengan hujan.
Saya langsung naik ke lantai dua. Kedai buku itu kecil saja. Nekat, pikirku pertama kali melihat kedai buku itu. Hanya beberapa meter dari sana berdirilah toko buku megah yang sudah sangat termashyur di penjuru Indonesia. Jalas saja orang lebih tertarik ke toko buku besar itu.
Saya kemudian kenal pemiliknya secara tidak sengaja. Ada pertemuan para penerima beasiswa yang pernah kuliah di luar negeri di Taman Kota. Sekadar membahas kemajuan pendidikan di daerahku. Dia penerima beasiswa ke Belanda beberapa tahun silam.
ADVERTISEMENT
Ketika namanya disebut, mahfumlah saya dan peserta lain kalau dia teryata sultan tajir melintir yang perusahaan orang tuanya hampir mencakup semua bidang. Namun orangnya sangat sederhana, dia menjelaskan bahwa dia jatuh bangun berburu beasiswa karena yang kaya itu bapaknya dan dia adalah dosen non-ASN di kampus swasta di kotaku.
Kemudian ketika sesi ngobrol-ngobrol rupanya dia sudah membaca tulisan-tulisanku di beberapa media. Diundanglah saya main ke kedainya. Demikianlah sedikit story mengapa saya kemudian bisa menjadi pengunjung tetap kedai buku Bulan Purnama.
Buku-buku yang dijualnya juga hampir tidak ada di toko besar yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya. Kebanyakan buku-buku dari Jepang, Mesir, India, dan bahkan penulis Afrika. Ada juga yang terjemahan dan juga motivasi agama.
ADVERTISEMENT
Ayahnya sebelum menjadi pengusaha memang salah satu agen koran dan majalah di daerah saya. Mungkin itulah salah sebab dia mendirikan kedai buku ini.
Kedai, katanya. Karena kalau toko terlalu mewah untuk tempat sekecil itu lagipula di toko buka mana bisa ngopi-ngopi di antara rak-rak buku? Kedai buku itu menyiapkan tempat-tempat duduk dari bantalan-bantalan dan juga tempat minum dan makanan ringan dengan tulisan-tulisan mohon agar tetap memperhatikan kebersihan demi kenyamanan.
Sore yang diliputi hujan deras itu, tidak banyak pengunjung. Hanya ada beberapa. Lagipula, hujan-hujan begini, orang lebih milih di rumah sambil makan sup atau indomie yang menghangatkan badan dan mengusir dingin.
Ilustrasi hujan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Saya mampir untuk menyelesaikan buku saya yang tidak rampung-rampung. Ada suasana magis untuk menulis kalau dikelilingi buku-buku bagus.
ADVERTISEMENT
Baru saja saya membuka laptop, masuk perempuan yang kelihatannya masih umur anak kuliahan dan duduk tepat di hadapan saya. Dia duduk dan mengeluarkan alat-alat menulis.
Aneh juga ini orang. Di antara space-space kosong mengapa memilih duduk mengganggu di hadapan saya? Saya malas pindah dan bergeser ke tempat lain.
Tempat saya duduk di samping jendela yang langsung mengarah ke jalan. Bunyi-bunyi air hujan yang jatuh menimpa tingkap-tingkap jendela membuat inspirasi menulis saya menjadi lancar. Itu tempat duduk favorit saya.
Tiba-tiba dia menatap buku notes saya yang ada tulisan tempat saya kerja. Dia langsung berbinar-binar.
"Kerja di situ?"
"Iya," jawabku pendek.
"Kenal si ini dong?"
ADVERTISEMENT
Giliran saya yang langsung berbinar-binar. Maklum saja nama yang dia sebut adalah teman saya dengan vibes yang sangat positif di antara yang toxic-toxic.
Mulailah kami ngobrol-ngobrol.
"Jadi kamu yang teman penulisnya itu?" katanya sambil senyum sukacita.
Dia sering cerita. Dia juga jadi suka membaca sekarang.
"Biasa saja, semua orang bisa menulis," kata saya.
Dari percakapan itulah saya tahu ternyata mereka sepupuan. Mulailah tanya-tanya dan formalitas-formalitas lainnya.
Ternyata hidupnya berat juga. Sudah honorer bertahun-tahun belum juga ada perubahan nasib. Gajinya yang tidak seberapa, tidak diumbarnya dengan keluhan. Malahan dia lagi S2 di satu-satunya kampus besar di sini.
Dia ke sini mau mengerjakan tugas membuat tulisan. Karena kebetulan dia minta tolong dikoreksi, sudahlah saya koreksi. Kurang lebih dua jam kami ngobrol dan memutuskan pulang karena sebentar lagi magrib.
ADVERTISEMENT
Saya suka dengan anak ini. Tidak ada satu pun keluhan yang mengalir dari bibirnya selama perbincangan kami. Saya tahu, betapa repotnya jadi honorer di instansi pemerintah. Semua pekerjaan yang berat-berat ditransfer kepada mereka. Saya melihat itu tiap hari.
Meskipun saya urung menyelesaikan satu bagian tulisan saya, saya mendapat satu pelajaran untuk tidak menjadikan beban yang tidak perlu jadi beban. Bahkan, di tengah-tengah keterbatasan finansial anak itu mau melanjutkan studi master.
Lagipula ngobrol-ngobrol santai saat ini dengan orang adalah hal langka. Biasanya orang-orang hanya akan menatap ke layar gadget apapun yang terjadi. Hubungan manusia sudah sedemikian keringnya.
Ketika saya menawari untuk sekadar uang trasnportnya, ditolaknya dengan halus.
ADVERTISEMENT
"Saya bawa motor," katanya.
Di Juni ini, di kedai buku Bulan Purnama ini, saya mendapat satu lagi pelajaran selain hujannya yang selalu membawa kenangan. Bahwa di dunia menemukan orang baik itu semudah menemukan orang jahat.
Menjadi baik memang susah. Tapi itu tidak mustahil karena hal itu adalah pilihan yang disuguhkan kepada kita setiap hari. Juni memang selalu menyimpan kejutan-kejutan kecil, pantas saja Sapardi mengabadikan Juni dengan "Hujannya" dengan kenangan-kenangan yang terus terpatri.