Kado Pahit Hardiknas

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
5 Mei 2023 7:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masih banyaknya guru yang bergaji jauh di bawah UMR menjadi satu kado pahit Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Banyak guru yang masih bergaji Rp 200 ribu, bahkan ada yang di bawah itu.
ADVERTISEMENT
Guru—meskipun statusnya honorer—adalah tenaga kerja terdidik yang paling mensyaratkan keterampilan dan ijazah setelah dosen. Mengapa kemudian gajinya tidak bisa setara dengan profesi lain? Bahkan lebih rendah dari gaji buruh-buruh pelabuhan yang tidak berijazah?
Apakah pekerjaan mengajar dianggap gampang? Kalau ada sekolah yang tidak bisa menggaji layak guru, dalam hal ini guru honorer, sebaiknya sekolahnya ditutup saja atau tidak usah mencari guru.
Bukan rahasia umum, Indonesia kekurangan sejuta guru. Kebijakan pemerintah beberapa tahun belakangan untuk tidak mengangkat ASN mengakibatkan defisit guru yang tidak main-main. Guru-guru secara massal pensiun tidak diikuti oleh pengangkatan ASN guru untuk menutup lubang-lubang kekosongan tersebut.
Mengapa pemerintah tidak bisa membuat kebijakan melalui BKN untuk memantau jumlah guru yang akan pensiun setiap tahun dan dibuka formasi guru sejumlah ASN guru yang mau pensiun? Bagaimana mau meningkatkan kualitas pendidikan, model rekrutmen guru saja tidak ada cetak birunya?
ADVERTISEMENT
Masalah paceklik guru akan terus berlangsung jika tidak ada program jangka panjang dalam rekrutmen guru. Sehingga sekolah terpaksa merekrut guru-guru honorer yang pembiayaannya tidak jelas. Guru honorer digaji seadanya saja.
Siswa SDN 01 Alasbayur belajar di ruang kelas yang rusak di Desa Alasbayur, Mlandingan, Situbondo, Jawa Timur, Rabu (15/12/2021). Foto: Seno/ANTARA FOTO
Sorotan rendahnya kualitas pendidikan Indonesia yang gencar dilakukan berawal dari rendahnya mutu kompetensi guru. Tentu saja rendahnya kompetensi guru berbanding lurus dengan kesejahteraan, dalam hal ini guru-guru honorer yang menjadi tulang punggung di sekolah-sekolah yang tidak terjamah tangan guru ASN.
Banyak lembaga pendidikan, baik yang di dalam maupun luar negeri, merekomendasikan peningkatan mutu dan kompetensi guru kalau mau pendidikan Indonesia maju. Yang paling konsisten adalah OECD.
Organisasi penyelenggara tes PISA tersebut dalam setiap laporannya selalu merekomendasikan peningkatan mutu guru seiring dengan hasil tes PISA Indonesia yang sejak tahun 2000 sampai tahun 2018, di mana Indonesia selalu ada di sepuluh peringkat terbawah.
ADVERTISEMENT
Namun, yang dilakukan pemerintah untuk merespons saran OECD selalu saja mengganti kurikulum. Walaupun kurikulumnya setara Camridge tetapi jika eksekutor di lapangan yaitu para guru belum sejahtera, maka mereka tidak akan mengajar dengan maksimal. Terlebih Kurikulum Merdeka, menuntut guru-guru berinovasi dengan digitalisasi dalam proses belajar mengajar.
Saat ini, guru-guru berlomba-lomba mengumpulkan sertifikat bukti karya nyata yang diunggah di Platform Merdeka Mengajar. Berbagai model inovasi mengajar mereka lakukan untuk mendapat sertifikat-sertifikat tersebut.
Apakah guru-guru honorer dengan dana yang terbatas bisa melakukan hal itu? Belum lagi waktu yang digunakan di luar jam sekolah akan sangat terkuras dengan model mengajar seperti ini. Apakah mereka mau meninggalkan kerja sampingan yang menghidupi mereka?
Guru mengajar sejumlah siswa saat kegiatan belajar mengajar tatap muka di SD Negeri Bhayangkari Kota Serang, Banten, Kamis (12/5/2022). Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA FOTO
Guru-guru honorer yang bergaji Rp 300 ribu satu bulan, apakah bisa berinovasi di ruang-ruang kelas? Mereka sudah mumet memikirkan uang untuk beli bensin dan beras. Untuk membeli bahan-bahan dan juga memakai alat-alat edukasi modern, tak jarang mereka harus berlangganan online bahan-bahan pengajaran canggih tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk beli pulsa saja, gaji Rp 200 ribu mana cukup? Apakah ada waktu untuk memikirkan implementasi Kurikulum Merdeka dengan baik dengan gaji seperti itu? Apa masih bisa para guru itu, melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi yang merupakan inti dari Kurikulum Merdeka?
Mengajari siswa dengan segala metode agar semua siswa dengan segala level kepintaran bisa terakomodir. Bisakah guru yang dalam kondisi lapar dan memikirkan mau makan apa sebentar malam, mengajar dengan maksimal?
Sehingga, mimpi Kemendikbudristek, agar peringkat PISA kita setara dengan negara maju mungkin hanya akan tinggal mimpi. Saya yakin, seandainya OECD, penyelenggara PISA paham kasta-kasta guru di Indonesia, termasuk juga gaji guru kasta terbawah hanya 20 dolar satu bulan, saya yakin mereka akan sangat terkejut dan tidak akan percaya.
ADVERTISEMENT
Maka rekomendasi nomor satu yang akan mereka sarankan untuk pendidikan Indonesia adalah gajilah guru-guru anda dengan layak. Kalau bisa setarakan dengan UMR provinsi di mana mereka tinggal. Guru-guru honorer tersebut, adalah tamatan S1 dengan menggenggam akta mengajar sebagai legalitas bahwa mereka adalah guru.
Mengapa sampai saat ini, pemerintah masih menutup mata atas fenomena yang miris ini? Pahlawan tanpa tanda jasa, hanya slogan yang menyesatkan. Mana ada profesi yang bisa bertahan tanpa gaji yang layak?
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
Sehingga tuntutan agar guru mengajar dengan baik, bermutu, berkualitas saya rasa hanya perlu dilakukan terhadap guru-guru ASN dan sekolah-sekolah swasta yang bonafid. Mungkin saja, rangking PISA kita yang dari tahun ke tahun jeblok dan selalu duduk pada peringkat sepuluh terbawah adalah teguran dari Tuhan agar pemerintah melihat dan memperhatikan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bergerak di tempat yang senyap.
ADVERTISEMENT
Mengapa begitu sulit menggaji guru honorer dengan layak? Sementara disisi lain, uang negara dikorupsi habis-habisan. Miliaran bahkan triliunan dana APBN bocor ke mana-mana ke tempat-tempat yang tidak penting.
Jika dianggarkan untuk semua guru honorer, uang-uang itu akan sangat cukup untuk menggaji mereka. Lebih miris lagi dana abadi LPDP kemenkeu dipakai oleh awardee-awarde LPDP yang tidak mau pulang ke Indonesia selepas menyelesaikan studi. Ada 413 orang yang tidak mau pulang. Secara kasar, mereka menghabiskan Rp 413 miliar.
Uang itu sangat banyak dan bisa dibuat untuk gaji guru honorer yang sudah berkontribusi nyata ketimbang jadi dana beasiswa yang sia-sia. Hardiknas tahun ini, semoga para guru honorer tidak menyerah untuk terus menjadi guru.
ADVERTISEMENT
Bangsa ini masih sangat membutuhkan mereka. Mereka ada namun seolah tidak dianggap. Mereka mengajar namun seolah terabaikan. Merekalah “guru honorer” para pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Selamat Hari Pendidikan Nasional!