Tak Sekadar Jualan Foto, NFT Bisa Atasi Sengketa Tanah di Masa Depan

Konten Media Partner
10 April 2022 19:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tak Sekadar Jualan Foto, NFT Bisa Atasi Sengketa Tanah di Masa Depan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Teknologi Non-Fungible Token (NFT) bukan sekadar foto yang bisa dijual. Lebih dari itu, NFT disebut-sebut dapat mengatasi permasalahan sengketa, baik itu tanah, rumah, dan lain sebagainya. Sebab, bukan sekadar karya seni yang bisa di-NFT-kan, sertifikat kepemilikan seperti sertifikat tanah juga bisa dijadikan NFT.
ADVERTISEMENT
Deputy Executive Vice President (EVP) Telkom Digital Technology and Platform Business PT Telkom Indonesia, Ery Punta Hendraswara, bahkan mengatakan bahwa di ranah pemerintahan sudah mulai ada pembicaraan untuk melakukan sertifikasi tanah digital. NFT yang berbasi pada blockchain, menurut Ery sangat mungkin untuk mengaplikasikan rencana digitalisasi sertifikat ini.
“Jadi enggak hanya yang di Metaverse saja yang bisa jual tanah digital, tanah yang ada ini yang berwujud fisik juga bisa didigitalkan,” kata Ery Punta di sela-sela menghadiri Indo NFT Festiverse, sebuah festival NFT terbesar di Indonesia yang digelar di Galeri R.J. Katamsi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sabtu (9/4).
Dua pengunjung secara seksama memperhatikan satu sisi deret layar tampil. Foto: Dok. Indo NFT Festiverse
Digitalisasi sertifikat tanah ini menurut dia nantinya akan sangat memudahkan semua pihak. Dengan adanya sertifikat elektronik, inventarisasi tanah menjadi lebih mudah serta bukti kepemilikannya jadi jelas. Sebab, ketika sertifikat tanah dijadikan NFT, maka data kepemilikan dan transaksi bisa diakses secara transparan oleh publik dan tidak dapat dihapus.
ADVERTISEMENT
“Sehingga tidak ada lagi nanti yang namanya sengketa tanah, karena di situ nanti jelas siapa yang punya dan setiap tanah itu dijual akan tercatat siapa pemilik barunya,” ujarnya.
Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), Nyoman Adhiarna, dalam sebuah diskusi yang diadakan dalam rangkaian acara Indo NFT Festiverse awal April ini, mengatakan bahwa pemanfaatan NFT untuk mengarsipkan berbagai jenis sertifikat sudah mulai diterapkan oleh Uni Emirat Arab, khususnya di Dubai.
“Di Emirat Arab, mereka dalam waktu dekat mungkin sekarang sudah menerapkan namanya digital contract untuk tanah, properti, dan seterusnya,” kata Nyoman Adhiarna.
Meski begitu, pengadopsian teknologi ini ke dalam sistem pemerintahan seperti melakukan digitalisasi sertifikat tanah ini menurut dia masih cukup berat untuk dilakukan. Biasanya, proses adopsi teknologi ini terkendala oleh regulasi yang belum bisa mengaturnya.
ADVERTISEMENT
“Kita ingin menerapkan itu, tetapi regulasi existing misalnya di BPN atau di kementerian lain, itu belum memungkinkan itu sehingga kita belum bisa menerapkan,” lanjutnya.
Masalah itulah yang menurut Nyoman jadi tantangan setiap negara yang ingin mengadopsi teknologi NFT maupun Blockchain ke dalam sistem pemerintahan.
“Emirat Arab bukan negara besar, dan jangan-jangan hanya Dubai saja, satu kota yang menerapkan itu, tapi di anggota Emirat lain mungkin belum menerapkan,” kata Nyoman.
Hal serupa disampaikan oleh Penasihat Indo NFT Festiverse, Rain Rasidi. Menurut dia, ketika suatu sertifikat dijadikan NFT memang jadi lebih transparan, lebih tahan tidak seperti sertifikat fisik yang sangat rentan misalnya jika ada bencana banjir atau kebakaran, serta perjalanan sertifikat akan lebih jelas kemana dia berpindah kepemilikan.
ADVERTISEMENT
“Kalau itu bisa diterapkan, sangat mungkin akan menghilangkan masalah-masalah sengketa,” kata Rain Rasidi.
Namun, menurutnya untuk mengadopsi sistem itu Indonesia masih membutuhkan proses yang panjang. Sebab, secara legalitas hal itu baru bisa diwujudkan jika diproduksi oleh pemerintah dengan dasar hukum tertentu. Masalahnya, saat ini belum ada regulasi yang mengatur hal tersebut.
Sejauh ini, NFT baru dilakukan oleh marketplace-marketplace yang bersifat privat dan dimiliki oleh pihak swasta atau komunitas yang nyaris tidak ada kaitannya dengan negara.
“Kalau sistem itu dibikin oleh negara, dengan regulasi yang berlaku, itu sangat mungkin teknologinya dipakai. Jadi negara bikin marketplace sendiri, tidak pakai marketplace yang komersial,” ujarnya.