Sumbu Filosofi Yogya: Warisan Kota Tradisional Jawa Terakhir dan yang Terbaik

Konten Media Partner
20 September 2023 16:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Miniatur Sumbu Filosofi Yogyakarta. Foto: Kraton Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Miniatur Sumbu Filosofi Yogyakarta. Foto: Kraton Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasultanan Yogyakarta yang dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada 1755 disebut sebagai kota tradisional Jawa terakhir, sekaligus menjadi yang terbaik.
ADVERTISEMENT
Setelah 268 tahun, Yogyakarta masih bertahan bukan hanya sebagai simbol kebudayaan, tapi juga memiliki sistem pemerintahan yang eksis dan diakui sebagai bagian dari wilayah NKRI.
“Jogja itu the latest but the finest. Jogja itu kota tradisional Jawa yang terakhir, karena setelah itu tidak ada lagi kota Jawa, tapi the finest, yang terbaik,” kata Bakti Setiawan, pada Selasa (19/9).
Bobi, sapaan akrab Bakti Setiawan, adalah Guru Besar Bidang Perencanaan Kota dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Kebudayaan DIY. Kiprahnya sebagai pakar perencanaan kota diakui oleh dunia internasional. Saat ini dia menjabat sebagai Presiden Asosiasi Sekolah Perencanaan se-Asia sekaligus Komite Eksekutif Asosiasi Sekolah Perencanaan se-Dunia.
Guru Besar bidang Ilmu Perencanaan Kota UGM, Bakti Setiawan. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Bukan tanpa alasan bagi Bobi menyebut Yogya sebagai kota tradisional Jawa yang terakhir sekaligus terbaik. Dalam perencanaannya, Pangeran Mangkubumi menurut dia belajar dan mengadopsi pada kasus-kasus pengembangan kota di kerajaan-kerajaan terdahulu yang ada di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Mulai dari Majapahit, Kartasura, Demak, Mataram Lama, dan sebagainya.
“Tampaknya itu semua, preseden-preseden itu dipelajari oleh Pangeran Mangkubumi dan diwujudkan cukup ideal di Kota Yogyakarta,” ujarnya.
268 tahun setelah dibangun oleh Pangeran Mangkubumi, tepatnya pada 18 September 2023, Sumbu Filosofi Yogya yang menjadi dasar perencanaan pembangunan Kasultanan Yogyakarta ini ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
“Kita harus ingat sekali lagi bahwa itu (penetapan Sumbu Filosofi sebagai warisan budaya dunia) adalah jasa Pangeran Mangkubumi sebagai Raja pertama Yogyakarta,” ujarnya.
Ilustrasi Sumbu Filosofi Yogyakarta. Foto: Visiting Jogja
Kawasan Sumbu Filosofi terdiri atas beberapa bangunan utama yang membentuk garis lurus, mulai dari Panggung Krapyak di sisi selatan, Keraton Yogyakarta di tengah, dan Tugu Golong Gilig atau Tugu Yogyakarta di sisi utara.
ADVERTISEMENT
Sumbu Filosofi Yogya juga membentuk garis imajiner yang lurus dengan Laut Selatan Jawa di selatan, dan Gunung Merapi di utara. Sumbu ini menjadi desain dasar penataan kota Yogyakarta yang masih bertahan sampai saat ini.
Yang menarik dari Sumbu Filosofi adalah digunakannya konsep hamemayu hayuning bawana (memperindah dunia yang sudah indah), yang pada akhir abad 19 atau awal abad 20 dikenal oleh dunia Barat sebagai konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development.
Miniatur Sumbu Filosofi Yogya dalam tampilan 3D. Foto: Widi RH Pradana/Pandangan Jogja
Pembangunan berkelanjutan ini salah satunya adalah penentuan wider setting pada Sumbu Filosofi adalah dari Sungai Code dan Sungai Winongo.
“Itu sebenarnya ada aspek yang menggambarkan kawasan pusat Kota Yogyakarta itu satu sistem ekologi yang menarik, bagaimana sungai berperan dalam sistem kota,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi sebetulnya ada prinsip-prinsip sustainable development, kesimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan itu sejak awal Pangeran Mangkubumi sudah pikirkan,” kata Bobi.
Karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan yang dimiliki oleh Yogya bukanlah konsep yang dipinjam dari Barat, tapi diperoleh dengan cara menggali kembali makna-makna filosofi lama yang sudah ada untuk merespons kondisi aktual saat ini.